A. Pendidikan Karakter
Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak/budi pekerti yang
membedakan seseorang dengan orang lain. Sedangkan pendidikan karakter sebagi suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk nilai-nilai
tersebut. Pendidikan karakter pada hakekatnya ingin membentuk individu menjadi seorang pribadi bermoral yang dapat menghayati kebebasan
dan tanggung jawabnya, dalam relasinya dengan orang lain dan dunianya dalam
komunitas pendidikan. Dengan demikian pendidikan karakter senantiasa
mengarahkan diri pada pembentukan individu bermoral, cakap mengambil keputusan
yang tampil dalam perilakunya, sekaligus mampu berperan aktif dalam membangun
kehidupan bersama.[1]
Atas dasar apa yang telah
diungkapkan di atas, pendidikan karakter bukan hanya sekedar mengajarkan mana
yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter adalah
usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga peserta didik mampu bersikap
dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya.
Nilai-nilai tersebut harus ditumbuhkembangkan pada setiap peserta didik hingga menjadi karakter siswa dan berkembang menjadi budaya sekolah.
B. Internalisasi Nilai
Internalisasi
(internalization) diartikan sebagai penggabungan atau penyatuan sikap, standar tingkah laku, pendapat, dan seterusnya
di dalam kepribadian.[2]
Reber, sebagaimana dikutip Mulyana mengartikan
internalisasi sebagai menyatunya nilai dalam diri seseorang, atau dalam bahasa
psikologi merupakan penyesuaian keyakinan, nilai, sikap, praktik dan aturan –
aturan baku pada diri seseorang.[3]
Pengertian ini mengisyaratkan bahwa pemahaman nilai yang diperoleh harus dapat
dipraktikkan dan berimplikasi pada sikap. Internalisasi ini akan bersifat
permanen dalam diri seseorang
Internalisasi juga diartikan sebagai upaya
yang dilakukan untuk memasukkan nilai – nilai kedalam jiwa sehingga menjadi
miliknya.[4]
Jadi masalah internalisasi ini tidak
hanya berlaku pada pendidikan tertentu saja, tetapi pada semua aspek
pendidikan.
Dengan demikian disimpulkan bahwa
internalisasi merupakan proses penanaman nilai
kedalam jiwa seseorang sehingga nilai tersebut tercermin pada sikap dan
prilaku yang ditampakkan dalam kehidupan sehari – hari (menyatu dengan pribadi).
Suatu nilai yang telah terinternalisasi pada diri seseorang dapat diketahui
ciri – cirinya dari tingkah laku.
Pelaksanaan
pendidikan karakter melalui beberapa tahapan, sekaligus
menjadi tahap terbentuknya internalisasi nilai, yaitu:
a. Tahap transformasi nilai.
Tahap ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendidik dalam
menginformasikan nilai – nilai yang baik dan yang kurang baik. Pada tahap ini
hanya terjadi komunikasi verbal antara pendidik dan peserta didik.[5]
Transformasi nilai ini sifatnya hanya pemindahan pengetahuan dari pendidik ke
siswanya. Nilai – nilai yang diberikan masih berada pada ranah kognitif peserta
didik dan pengetahuan ini dimungkinkan hilang jika ingatan seseorang tidak
kuat.
b. Tahap transaksi nilai
Pada tahap ini pendidikan nilai dilakukan
melalui komunikasi dua arah yang terjadi antara pendidik dan peserta didik yang
bersifat timbal balik sehingga terjadi
proses interaksi.[6]
Dengan adanya transaksi nilai, pendidik dapat memberikan pengaruh pada siswanya
melalui contoh nilai yang telah ia jalankan. Di
sisi lain siswa akan menentukan nilai yang sesuai dengan dirinya.
c. Tahap tran-internalisasi
Tahap ini jauh lebih mendalam dari tahap transaksi. Pada tahap ini
bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tapi juga sikap mental dan
kepribadian. Jadi pada tahap ini komunikasi kepribadian yang berperan aktif.[7]
Dalam tahap ini pendidik harus betul – betul memperhatikan sikap dan prilakunya
agar tidak bertentangan yang ia berikan kepada peserta didik. Hal ini disebabkan
adanya kecenderungan siswa untuk meniru
apa yang menjadi sikap mental dan kepribadian gurunya.
C. Problematika Penanaman Nilai
Dalam pendidikan karakter, upaya penanaman
nilai (internalisasi) pada peserta didik tidaklah segampang membuat
konsep pendidikan karakter itu sendiri. Melihat relita dilapangan tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa pendidikan marakter masih menyimpan beberapa
problematika penanaman nilai. Problematika tersebut, antara lain:
1. Siswa kurang tertarik memahami dan mengamalkan nilai karakter dan budaya
bangsa.
Siswa mulai kurang memperhatikan aspek
karakter mulia dalam hidupnya, hal ini terbentuk seiring penanaman opini dan
informasi yang selalu mengedapankan ideologi matrealistis dan hedonis. Dalam
dunia pendidikan sendiri, ranah kognitif masih paling dominan untuk diberikan apresiasi,
sehingga siswa hanya mengejar hasil belajar ranah koognitif atau hanya mengejar
prestasi akademik semata. Hal ini terbukti sampai saat ini hasil ujian berbasis
pengetahuan masih menjadi dasar untuk menentukan prestasi siswa, menjadi syarat
masuk jenjang pendidikan selanjutnya atau suatu syarat melamar pekerjaan
sehingga siswa banyak yang rela melakukan kecurangan ataupun manipulasi demi
mencapai target tertentu.
2. Sistem internalisai nilai karakter disekolah tidak diteruskan oleh
lingkungan diluar sekolah.
Sekolah yang sudah menerapkan sistem
pendidikan karakter dengan baik dengan berbagai progamnya, dengan mudah diputar
arah dan dibalikkan oleh lingkungan keluarga maupun masyarakat dimana siswa
hidup berinteraksi sosial. Internalisasi nilai karakter belum bisa terintegrasi
dengan baik antara lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat.
3. Krisis keteladanan.
Kesadaran pendidik untuk mendidik siswa masih
termasuk langka, masih banyak seorang pendidik yang hanya menjadi pengajar dari
pada menjadi pendidik. Mereka fokus melakukan transfer pengetahuan dan
menyelesaikan materi serta kurang
memperhatikan posisi dirinya sebagai pendidik yang harus memperhatikan seluruh
kebutuhan siswa termasuk masalah internalisasi niali karakter. Keadaan yang
seperti ini belum bisa menjawab kebutuhan siswa tentang kehadiran sesosok figur
pendidik untuk diteladani. Hal ini diperparah dengan perilaku sebagian pejabat
politik, artis, dan public figure lainnya yang menyimpang dan terus menerus di
expose di media masa sehingga hal ini justru yang mudah ditirukan oleh siswa.
4.
Budaya asing yang tidak sesuai dengan karakter
dan budaya bangsa Indonesia masuk secara besar-besaran.
Arus perkembangan informasi dan teknologi memang
tidak bisa dihindari lagi, batas-batas tempat dan waktu di setip negara melebur
menjadi satu di era globalisasi ini. Budaya bangsa lain sangat mudah masuk dan
mempengaruhi perilaku siswa, padahal tidak semua budaya bangsa asing sesuai
dengan karakter dan budaya bangsa Indonesia, sehingga lambat laun akan menggeser
nilai karakter dan budaya bangsa sendiri.
D. Pendekatan Penanaman Nilai
Proses pembentukan
karakter seseorang memang dipengaruhi banyak foktor yang komplek, namun
demikian sekolah sebagai pemeran utama dan ujung tombak dari progam pendidikan
karakter tentunya mempunyai peranan yang cukup besar untuk menanamkan
nilai-nilai karakter pada siswa. Melihat dari proses internalisasi nilai pada
uraian sebelumnya, maka pendekatan penanaman nilai bisa dilakukan dengan tiga
pendekatan yang saling terkait satu sama lain, yaitu:
1.
Pendekatan
konseptual
Yaitu pendekatan yang dimaksudkan untuk memberi pemahaman utuh
tentang konsep nilai-nilai baik pembentuk karakter, arti pentingnya dan hal-hal
lain yang terkait sehingga siswa mampu mengetahui, memahami dan merasakan
nila-nilai karakter tersebut didalam jiwanya.
Pendekatan konseptual ini penting untuk menanamkan pola pikir,
keyakinan dan motifasi siswa untuk merealisasikan nilai menjadi perbuatan.
Pendekatan konseptual juga berfungsi untuk memberikan penafsiran yang tepat
atas model pendekatan yang lainnya sehingga siswa tidak salah persepsi dan salah
memaknai terhadap pendekatan penanaman nilai lainnya.
2.
Pendekatan
sistematis/pembiasaan
Pendekatan ini bisa dilakukan oleh sekolah/lembaga dengan membuat
suatu kegiatan terencana, teratur, konsisten dan berkesinambungan yang muncul
dalam kegiatan pembiasaan dan menjadi budaya sekolah. Pendekatan semacam ini
akan sangat efektif karena seluruh warga sekolah bergerak dalam sistem
pembiasaan yang sama dan membudaya di lingkungan sekolah yang secara otomatis
menginternalisasikan nilai-nilai yang dimaksud dalam pembiasaan.
3.
Pendekatan
modeling/keteladanan
Pendekatan modeling/keteladanan adalah salah satu pendekatan dalam
menanamkan nilai-nilai karakter dengan menampilkan perilaku sebagai perwujudan
nilai-nilai karakter yang ada dalam diri model (pendidik) sehingga siswa mampu
melihat secara langsung implementasi atas nilai-nilai yang ditanamkan padanya. Pendekatan
ini telah dibuktikan oleh fakta sejarah bahwa menanamkan nilai karakter dengan
memberi keteladanan sangat efektif dan cukup berhasil, bahkan sanggup mengubah
suatu budaya bangsa. seperti yang telah dilakukan Muhammad SAW dalam
memperbaiki budaya bangsa Arab.
Dalam pendekatan keteladanan pendidik dituntut untuk lebih dulu
mampu bertindak dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan
pada siswa.