Sabtu, 24 Desember 2016

MUJMAL, MUBAYYAN, MANTUQ DAN MAFHUM



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Al Qur’an dan Hadis merupakan sumber utama hukum islam, maka menjadi sangat penting bagi seorang muslim untuk memhai isi nya, karena dari kedua sumber hukum tersebutlah muncul hukum-hukum islam seperti yang kita ketahui sampai saat ini. apalagi bagi seseorang yang akan berijtihad maka wajib baginya memahami Al Qur’an dan  hadis secara baik agar tidak terjadi kesalahan dalam menggali hukum syari’at.
Dalam kaitannya menggali hukum Syari’at, maka tidak akan terlepas dari pembahasan kebahasaan, karena hampir delapan puluh persen penggalian hukum syari’at menyangkut lafazh.[1] Lafazh merupakan petunjuk (dilalah) untuk menggali hukum syara’, namun lafazh mempunyai kejelasan, kepastian dan ketegasan yang berbeda-beda dan antara lafazh satu dengan yang lainnya memiliki keterkaitan dalam menentukan hukum syari’at.
Demi penggalian hukum syari’at yang tepat, maka sangat penting sekali untuk mengetahui kaidah-kaidah penggalian hukum yang berhubungan dengan perbedaan jenis lafazhnya, misalnya mengenai Mujmal, mubayyan, mantuq dan mafhum yang akan kita bahas dimakalah ini.
B.     Rumusan Masalah
Mengingat latar belakang penulisan makalah ini, maka rumusan masalah yang kami angkat antara lain:
1.      Apa yang dimaksud dengan mujmal?
2.      Apa yang dimaksud dengan mubayyan?
3.      Apa yang dimaksud dengan mantuq?
4.      Apa yang dimaksud dengan mafhum?

C.    Tujuan Penulisan
Bertolak dari rumusan masalah yang diangkat dalam menulis makalah ini, maka penulisan ini bertujuan untuk:
1.      Mengetahui tentang mujmal.
2.      Mengetahui tentang mubayyan.
3.      Mengetahui tentang mantuq.
4.      Mengetahui tentang mafhum.
 
 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Mujmal
1.      Pengertian
Arti Al-Mujmal menurut bahasa adalah kabur atau tidak jelas, samar-samar. Maksudnya suatu perkara atau lafaz yang tidak jelas atau hal-hal yang memerlukan penjelasan.
Al-mujmal menurut istilah ushul fiqih adalah:
اِخْرَجَ الشَّىِٔ مِنْ خَيْزِ الْاِشْكَالِ اِلَى حَيِّزِ الْتَّجَلىِّ
“mengeluarkan sesuatu dari bentuk yang musykil (kabur) kepada bentuk yang terang.”[2]
Pendapat lainnya adalah
لفظ خفي المراد منه بحيث لا يدرك الا ببيان من المتكلم به
“Suatu lafal yang tersembunyi apa yang dimaksud dengannya, sehingga tidak dapat dietahui, kecuali dengan adanya keterangan dari yang mengucapkannya”[3]
Dari definisi mujmal di atas dipahami bahwa mujmal merupakan suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang menyampaikan lafazh tersebut. Kesulitan memahami lafazh ini bukan berasal dari luarnya, tetapi dari lafazh itu sendiri. Untuk dapat memahami lafazh mujmal sangat bergantung pada penjelasan yang menyampaikan lafazh tersebut.
2.      Macam-macam Lafazh Mujmal
Dilihat dari segi bentuknya lafazh mujmal dibedakan menjadi dua macam, yaitu lafazh mufrad dan lafazh murakkab.
a.       Lafazh mufrad, yakni lafazh-lafazh yang terdiri dari satu kalimat.
Lafazh-lafazh mufrad juga dilihat dari segi jenis ada tiga macam[4]:
1)      Isim artinya nama atau nama benda
Contoh:  مختارboleh sebagai pelaku (fa’il), dalam hal ini diartikan dengan “orang yang memilih”, dan boleh juga sebagai maf’ul (tujuan) atau penderita, yang dalam hal ini diartikan dengan “orang yang dipilih”.
2)      Fi’il artinya kata kerja
Contoh:   عسعسboleh diartikan dengan “datang” dan boleh juga dengan arti “kembali’ atau “pulang”. باع boleh diartikan dengan “menjual” dan boleh dengan “membeli”.
3)      Huruf  ( حرف) kalimat yang terdiri dari satu huruf, atau kalimat yang tidak akan berarti bila tidak disambung dengan yang lainnya
Contoh: و artinya ‘dan” kedudukannya boleh sebagai ataf (عطف) artinya penyambung, tetapi boleh juga sebagai al-Ibtida’ (الابتداء) artinya kata awal atau permulaan dak akan berarti bila tidak disambung dengan yang lainnya
b.      Lafazh murakkab, yakni lafazh yang terdiri dari beberapa kalimat.[5]
Sebagai contoh firman Allah yang berbunyi:
او يعفو الذي بيده عقدة النكاح. . . البقرة : ٢٣٧                                                
Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah… (QS. Al-Baqarah: 237)
Yang mempunyai ikatan perkawinan bisa diartikan wali atau suami, karena maknanya tidak tunggal, berarti hukumnya belum pasti. Oleh karena itu, tidak diamalkan sebelum ada penjelasan atau al-Bayan.
B.     Mubayyan
1.      Pengertian Mubayyan
Arti Al-mubayyan menurut bahasa adalah yang menjelaskan. Maksudnya adalah suatu lafaz yang mengandung penjelasan.
Al-mubayyan menurut istilah ushul fiqih adalah:
اِخْرَجَ الشَّىِٔ مِنْ خَيْزِ الْاِشْكَالِ اِلَى حَيِّزِ الْتَّجَلىِّ
“mengeluarkan sesuatu dari bentuk yang musykil (kabur) kepada bentuk yang terang.”[6]
Secara sederhananya mubayyan ialah suatu perkataan yang terang maksud (jelas) tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya
2.      Macam-macam Mubayyan
Mubayyan atau penjelasan dilihat dari segi jenisnya, terbagi kepada beberapa macam[7]:
a.       Penjelasan denga kata-kata (بيان بالقول)
Contoh, firman Allah yang berbunyi:
فصيام ثلاثة ايام في الحج وسبعة اذا رجعتم تلك عشرة كاملة... البقرة :١٩٦                    
“Maka wajib berpuasa tiga hari dalam waktu haji, dan tujuh hari setelah kamu kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. (QS. Al-Baqarah: 196).
Perkataan “sepuluh hari yang sempurna’ pada ayat tersebut adalah sebagai penjelasan dari tiga dan tujuh hari yang disebutkan sebelum itu.
b.      Penjelasan dengan perbuatan (بيان بالفعل)
Contoh, seperti cara-cara shalat yang harus diikuti sebagaimana yang diterangkan dengan perbuatan Nabi SAW. sendiri, sebagaimana sabdanya yang berbunyi:
صلوا كما رايتمواني اصلي                                                                    
Shalatlah engkau sebagaimana engkau melihat aku melakukan sholat.”
c.       Penjelasan dengan tulisan/surat (بيان بالكتاب)
Contoh, seperti ukuran zakat dan diat anggota-anggota badan, banyak Nabi melakukan dengan surat-surat, untuk dikirim ke daerah-daerah Islam di waktu itu.
d.      Penjelasan-penjelasan dengan isyarat (بيان بالاشارة)
Contoh, seperti penjelasan Nabi tentang jumlah hari pada bulan Ramadhan, dengan mengucapkan
الشهر هكذا، وهكذا، وهكذا                                                                       
“Satu bulan itu sekian dan sekian dan sekian”
Sewaktu Nabi mengucapkan “sekian” pertama dan kedua adalah dengan mengangkat semua jari tangan, dan sedang waktu mengucapkan “sekian” yang ketiga, Nabi melipatkan satu ibu jarinya. Hal tersebut merupakan isyarat yang menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah dua puluh Sembilan hari. Yang demikianlah penjelasan dengan isyarat.
e.       Penjelasan dengan meninggalkan (بيان بالترك)
Contoh, seperti  yang disebutkan dalam satu riwayat oleh Jabir:
كان اخراج المرين من رسول الله عليه وسلم عدم الوضوء مما مست النار          Adalah akhir dua perkara  dari Nabi SAW. (adalah) tidak mengambil wudhu (lagi) setelah makan sesuatu yang dibakar.
Dari riwayat tersebut tampak bahwa pada mulanya, setiap makan sesuatu yang dibakar maka Nabi SAW. Wudhu,  kemudian Nabi tinggalkan, yakni Nabi tak wudhu lagi walau makan makanan yang dibakar. Nabi meninggalkan wudhu dalam hal tersebut, oleh ulama dikatakan sebagai penjelasan atau bayan dengan meninggalkan.
3.      Tahirul Bayan
Mengundurkan bayan ini ada dua macam : (1) mengundurkan dari waktu yang dibutuhkan, dan (2) mengundurkan bayan dari waktu turunnya perintah/khithab[8].
a.        Mengundurkan penjelasan dari waktu dbutuhkan:

تأخير البيان عن وقت الحاجة لايجوز

 mengundurkan penjelasan dari waktu dibutuhkan itu tidak boleh”.
Kalau mengundurkan penjelasan ini terjadi, berarti membolehkan mengamalkan sesuatu yang mujmal sebelumnya ada bayan, tegasnya mengamalkan sesuatu dengan cara yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki syara’. Misalnya Fatimah binti Hubaisy dating kepada Rasulullah saw. kemudian bertanya
يا رسو ل الله إنى امرأة استحاض فلا أطهر أفأدع الصلاة فقال لها ص م. لا إنما ذلك عرق وليست بالحيضة فإذا أقبلت الحيضة فدعى الصلاة وإذ أدبرت فاغسلى عنك الدم و ضلى (متفق عليه
“Wahai rasulullah, saya ini perempuan yang mengeluarkan darah istihadah, berarti saya tidak berada dalam keadaan suci terus menerus, bolehkah saya meninggalkan shalat? Nabi bersabda: “Jangan, karena hal itu penyakit saja (‘irqun atau keringat) dan bukan haid. Apabila waktu haid tinggalkanlah shalat dan apabila habis waktunya bersihkanlah darah itu (mandilah) dan shalatlah.” (H.R.Bukhari dan Muslim)
Dari hadis ini tidak ada penjelasan (bayan) bahwa perempuan yang istihadah itu wajib bersuci untuk setiap kali shalat. Sebab kalau mereka diwajibkan bersuci tiap kali shalat niscaya Rasulullah saw. telah memberikan penjelasan pada waktu itu juga karena pada saat itulah penjelasan dibutuhkan.
b.      Mengundurkan bayan dari waktu khithab:
تأخير البيان عن وقت الخطاب يجوز
“mengundurkan penjelasan dari waktu khitab itu diperbolehkan”
Artinya, pada waktu turunnya perintah belum ada penjelasan, misalnya firman Allah:
فإذ قرأنه فاتَّبع قرآنه ثم أن علينا بيانه

“apabila kami bacakan (al-Qur’an) ikutilah bacaannya. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan kamilah penjelasannya.
Lafal tsumma (kemudian) berarti ada jarak waktu antara khitab dan penjelasannya. Dengan demikian mengundurkan bayan itu boleh, baik mubayyannya zhahir atau tidak. Misalnya menerangkan cara shalat sesudah adanya khitab aqiimush shalata (dirikanlah olehmu shalat) dengan bayan yang datangnya kemudian dari Nabi saw. yang disabdakan dalam hadis shallu kamaa ra’aitumuuni ushalli
C.    Mantuq
1.      Pengertian Mantuq
Mantuq adalah hukum yang ditunjukkan oleh ucapan lafazh itu sendiri[9]. Atau bisa dikatakan Mantuq adalah sesuatu (hukum) yang ditunjukkan oleh suatu lafazh dalam tempat pengucapan (tersurat). mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafazh di tempat pembicaraan.[10]
Jadi secara ringkasnya mantuq adalah lafazh yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat)
2.      Macam-macam Mantuq
Dalam hasanah ilmu ushul fiqh mantuq terbagi menjadi dua bagian yaitu:
a.       Nash
yaitu suatu perkataan (lafazh) yang jelas pengertianya dan tidak mungkin di ta’wilkan atau diarahkan ke dalam pengertian lain. Seperti contoh dalam firman Allah SWT;
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S Al-Baqarah:175)
Kata al-bai' (jual beli) atau al-riba adalah suatu lafazh yang jelas pengertianya yang mana untuk memahami kata tersebut tidak membutuhkan ta'wil (asumsi).
b.      Dhahir
Dhahir yaitu suatu perkataan (lafazh) yang jelas pengertianya, namun masih menimbulkan asumsi makna (pengertian) lain yang derajatnya di bawah makna aslinya (majaz)[11]. Seperti firman Allah SWT
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء.
"Atau menyentuh perempuan". (An-Nisa':43)
Lafazh "al-lams" dalam ayat tersebut mempunyai dua pengertian. Secara dhahir (haqiqi) lafazh "al-lams" mempunyai arti "menyentuh" dengan tangan. Jadi hukum menyentuh perempuan dapat membatalkan wudlu merupakan proses dari dhahir sebuah dalil. Namun dalam sisi yang lain lafazh "al-lams" apa bila dilihat dari majaznya mempunyai arti "jima". Artinya, berdasarkan ayat tersebut yang membatalkan wudlu bukan menyentuh perempuan akan tetapi men-jima' perempuan yang diambil dari pengertian secara majaz
D.    Mafhum.
1.      Pengertian Mafhum
mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafazh tidak dalam tempat pengucapan (tersirat). Jadi mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafazh tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut[12]
Jadi, mafhum adalah hukum yang tidak ditunjukkan oleh ucapan lafazh itu sendiri, tetapi dari pemahaman terhadap ucapan lafazh tersebut.
2.      Pembagian Mafhum
Mafhum terbagi menjadi dua macam, yaitu mafhum muwafaqoh dan mafhum mukhalafah.
a.       Mafhum mufaqah
Mafhum muwafaqah yaitu suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Hal ini dapat diketahui dengan pengertian bahasa tanpa pembahasan yang mendalam ataupun ijtihad.[13]
Secara ringkasnya bisa dikatakan bahwa mafhum mukhafafah yaitu hukum tidak tertulis yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafazh.
Mafhum muwafaqah dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1)      Fahwa al-Khitab, yaitu suatu masalah tidak tertulis yang hukumnya lebih utama daripada hukum bagi msalah tertulis.[14]
Hal ini artinya hukum yang difahamkan lebih utama hukumnya daripada yang diucapkan. Misalnya seperti memukul orang tua lebih tidak boleh hukumnya, berdasarkan firman Allah SWT: “Jangan mengeluarkan kata-kata yang keji terhadap kedua orang tua.” ( QS. Al Isra: 23). Kata-kata yang keji saja tidak boleh apa lagi memukunya.
2)      Lahn al-Khitab, yaitu suatu masalah yang sama tingkat hukumnya dengan masalah lain yang tidak tertulis.[15] Bisa dikatakan bahwa apa yang tidak tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan. seperti tidak bolehnya membakar harta anak yatim dengan berdasarkan firman Allah: “mereka yang memakan harta benda anak-anak yatim dengan jalan aniaya sebenarnya memakan api kedalam perutnya.” ( QS. An Nisa : 10). Jadi membakar harta anak yatim sama hukumnya dengan memakannya, yaitu tidak boleh (haram)
b.      Mafhum Mukhalafah.
Mafhum Mukhalafah adalah petunjuk lafazh yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir dari lafazh itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafazh itu, yang hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahir dari mantuqnya, Karena tidak adanya batasan (kayd) yang berpengaruh dalam hukum. Mafhum mukhalafah disebut juga dalil khitab. Suatu dilalah dinamakan mafhum mukhalafah karena hukum yang disebutkan berbeda dengan hukum yang tidak disebutkan. Dinamakan dalil khitab, karena dalil hukumnya diambil dari jnis kitabnya atau karena khitabnya sendiri menunjukkan atas hukum itu.[16]
Secara ringkasnya bisa dikatakan bahwa mafhum mukhalafah, yaitu apabila yang difahamkan berbeda dengan apa yang diucapkan, baik dalam isbat maupun nafi. Jadi yang difahamkan selalu kebalikan hukum dari bunyi lafazh yang diucapkan.
1)      Syarat-syarat mafhum mukhalafah
Untuk sahnya mafhum mukhalafah, diperlukan empat syarat yaitu[17]:
a)      Mafhum mukhalafah tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah.
b)      Yang disebutkan (mantuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi.
c)      Yang disebutkan (mantuq) bukan dimaksudkan unuk menguatkan suatu kadaan
d)     Yang disebutkan (mantuq) harus berdiri sendiri tidak mengikuti kepada yang lain.
2)      Macam-macam mafhum mukhalafah
Mafhum mukhalafah dibedakan menjadi tujuh macam yaitu[18]:
a)      Mafhum sifat, yaitu memperlihatkan hukum sesuatu kepada salah satu sifat-sifatnya. Seperti firman Allah:
وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
Artinya: barangsiapa membunuh seorang mu'min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman (QS. An Nisa : 92).
Maka kalau tidak mukmin tidak cukup.
b)      Mafhum ‘ilat, yaitu mempertalikan hukum pada ‘ilat. Seperti mengharamkan minumam keras karena memabukkan.
c)      Mafhum syarat, yaitu mempertalikan hukum pada syarat.
d)     Mafhum ‘adad, yaitu mempertalikan hukum pada bilangan tertentu. Sabda Nabi SAW.: “jika seekor anjing minum dari bejanamu, maka basuhlah bejana itu tujuh kali”. Maka kalau kurang dari tujuh kali tidaklah cukup.
e)      Mafhum ghayah, yaitu lafazh yang menunjukkan sampai kepada ghayah (batas). Hukum yang terdapat sesudah perkataan yang menunjukkan adanya batas, berlainan dengan hukum sebelumnya.
Contohnya, firman Allah SWT. Yang artinya “maka jika suami menceraikan isteri (untuk ketiga kalinya) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya (suami), sehingga mengawini lagi suami yang lain”. (QS Al Baqarah : 230). Jadi sebelum berkawin dengan orang lain, tidak halal lagi bekas suaminya.
f)       Mafhum hasr (pembatasan)
Contohnya, firman Allah SWT.
قُل لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Artinya: Katakanlah, tidak saya peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepada saya, akan suatu makanan yang haram atas orang memakannya, kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi; karena ia barang yang keji atau fasiq, yaitu binatang yang disembelih dengan tidak atas nama Allah (QS. Al An’am : 145)
g)      Mafhum Laqab,Yaitu meniadakan berlakunya suatu hukum yang terkait dengan suatu lafal terhadap orang lain dan menetapkan hukum itu berlaku untuk nama atau sebutan tertentu.
Misalnya, firman Allah dalam surat Yusuf ayat 4 yang berbunyi:
إِذْ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ
Artinya: (Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya : Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan kulihat semuanya sujud padaku.(Qs.Yusuf :4)
Dari ayat ini dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait dengan Nabi Yusuf karena tidak ada kaitannya dengan orang lain.











BAB II
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang telah kami tulis, dalam bab ini kami memberikan kesimpulan secara garis besarnya sesuai pokok pemikiran dalam setiap pembahasannya, sehingga kita lebih mudah menangkap informasi yang telah kami tuliskan dalam bab terdahulu.
mujmal merupakan suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang menyampaikan lafazh tersebut. Kesulitan memahami lafazh ini bukan berasal dari luarnya, tetapi dari lafazh itu sendiri. Untuk dapat memahami lafazh mujmal sangat bergantung pada penjelasan yang menyampaikan lafazh tersebut.
Dilihat dari segi bentuknya lafazh mujmal dibedakan menjadi dua macam, yaitu lafazh mufrad dan lafazh murakkab. Lafazh mufrad, yakni lafazh-lafazh yang terdiri dari satu kalimat. Sedangkan Lafazh murakkab, yakni lafazh yang terdiri dari beberapa kalimat.
Mubayyan ialah suatu perkataan yang terang maksud (jelas) tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya. Jenis-jenis mubayyan antara lain; Penjelasan denga kata-kata (بيان بالقول), Penjelasan dengan perbuatan (بيان بالفعل), Penjelasan dengan tulisan/surat (بيان بالكتاب), Penjelasan-penjelasan dengan isyarat (بيان بالاشارة), Penjelasan dengan meninggalkan (بيان بالترك)
Mantuq adalah lafazh yang hukumnya memuat apa yang diucapkan (makna tersurat). Mantuq terbagi menjadi dua bagian yaitu nash dan dhahir. Nash yaitu suatu perkataan (lafazh) yang jelas pengertianya dan tidak mungkin di ta’wilkan atau diarahkan ke dalam pengertian lain. Dhahir yaitu suatu perkataan (lafazh) yang jelas pengertianya, namun masih menimbulkan asumsi makna (pengertian) lain yang derajatnya di bawah makna aslinya (majaz)
Mafhum adalah hukum yang tidak ditunjukkan oleh ucapan lafazh itu sendiri, tetapi dari pemahaman terhadap ucapan lafazh tersebut. Mafhum terbagi menjadi dua macam, yaitu mafhum muwafaqoh dan mafhum mukhalafah. Mafhum muwafaqah yaitu suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Mafhum Mukhalafah adalah petunjuk lafazh yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir dari lafazh itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafazh itu, yang hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahir dari mantuqnya, Karena tidak adanya batasan (kayd) yang berpengaruh dalam hukum

B.     Saran
Demikian penulisan makalah yang sangat sederhana ini telah kami selesaikan, semoga bisa memberikan manfaat dan berkontribusi dalam penyebaran ilmu pengetahuan. Namun demikian kami menyadari bahwa apa yang kami sampaikan masih banyak kesalahan maupun kekurangannya. Untuk itu bagi para pembaca, kami harapkan saran maupun masukannya untuk perbaikan penulisan ini maupun untuk penulisan-penulisan yang akan datang, terimakasih.


DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafie. Ushul Fiqh. Jkarta : Widjaya. 1993
Ahmad Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid. Maktabah As-Syuruq Ad-Daulah. 2004
Basiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqih 1dan 2. Jakarta: Prenada Media Group. 2010
Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung: PT Al-Ma’arif.  1972
Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2015
Tajudien Abdul Wahhab As-Subkhi, Matn Jam'il jawami'. Juz: I.


[1] Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Pustka Setia. 2015. hal.150
[2] A. Basiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2 Jakarta : Kencana. 2010. Hal. 108
[3] Jasim bin Muhammad Muhalhil yasin. Jalan Pendek Untuk Mengenal Dasar Usul Fiqih. Jakarta : Kalam Mulia. 1990. Hal. 12
[4] Basiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqih 1dan 2. Jakarta: Prenada Media Group. 2010.  Hal. 110
[5] Basiq Djalil. Hal. 110
[6] Basiq Djalil. Hal. 109
[7] Basiq Djalil. Hal. 109
[8] Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung: PT Al-Ma’arif.  1972. Hal: 92-98.
[9] A. Hanafie. Ushul Fiqh. Jkarta : Widjaya. 1993. Hal.77
[10] Tajudien Abdul Wahhab As-Subkhi, Matn Jam'il jawami'. Juz: I, Hal: 235.
[11] Ahmad Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid. Maktabah As-Syuruq Ad-Daulah. 2004 . hal.37
[12] Tajudien Abdul Wahhab As-Subkhi, Matn Jam'il jawami'. Juz: I, Hal: 240
[13] Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Pustka Setia. 2015. Hal. 216
[14] Rachmat Syafe’i. Hal. 216
[15] Rachmat Syafe’i. Hal. 216
[16] Rachmat Syafe’i. Hal. 216
[17] A. Hanafie. Ushul Fiqh. Jakarta : Widjaya. 1993. Hal.80
[18] A. Hanafie.. Hal.81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembelajaran dalam perjalanan pendidikan guru penggerak

Pendidikan Guru Penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatih...