BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al Qur’an dan Hadis merupakan sumber utama hukum islam, maka
menjadi sangat penting bagi seorang muslim untuk memhai isi nya, karena dari
kedua sumber hukum tersebutlah muncul hukum-hukum islam seperti yang kita
ketahui sampai saat ini. apalagi bagi seseorang yang akan berijtihad maka wajib
baginya memahami Al Qur’an dan hadis
secara baik agar tidak terjadi kesalahan dalam menggali hukum syari’at.
Dalam kaitannya menggali hukum Syari’at,
maka tidak akan terlepas dari pembahasan kebahasaan, karena hampir delapan
puluh persen penggalian hukum syari’at
menyangkut lafazh.[1]
Lafazh merupakan petunjuk (dilalah) untuk menggali hukum syara’,
namun lafazh mempunyai kejelasan, kepastian dan ketegasan yang berbeda-beda dan
antara lafazh satu dengan yang
lainnya memiliki keterkaitan dalam menentukan hukum syari’at.
Demi penggalian hukum syari’at
yang tepat, maka sangat penting sekali untuk mengetahui kaidah-kaidah
penggalian hukum yang berhubungan dengan perbedaan jenis lafazhnya, misalnya
mengenai Mujmal, mubayyan, mantuq dan
mafhum yang akan kita bahas dimakalah
ini.
B.
Rumusan
Masalah
Mengingat latar belakang penulisan
makalah ini, maka rumusan masalah yang kami angkat antara lain:
1. Apa
yang dimaksud dengan mujmal?
2. Apa
yang dimaksud dengan mubayyan?
3. Apa
yang dimaksud dengan mantuq?
4. Apa
yang dimaksud dengan mafhum?
C.
Tujuan
Penulisan
Bertolak dari rumusan masalah yang
diangkat dalam menulis makalah ini, maka penulisan ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui
tentang mujmal.
2. Mengetahui
tentang mubayyan.
3. Mengetahui
tentang mantuq.
4. Mengetahui
tentang mafhum.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Mujmal
1. Pengertian
Arti Al-Mujmal menurut
bahasa adalah kabur atau tidak jelas, samar-samar. Maksudnya suatu perkara atau
lafaz yang tidak jelas atau hal-hal yang memerlukan penjelasan.
Al-mujmal menurut istilah
ushul fiqih adalah:
اِخْرَجَ الشَّىِٔ مِنْ خَيْزِ
الْاِشْكَالِ اِلَى حَيِّزِ الْتَّجَلىِّ
“mengeluarkan
sesuatu dari bentuk yang musykil (kabur) kepada bentuk yang terang.”[2]
Pendapat lainnya
adalah
لفظ خفي المراد منه بحيث لا يدرك الا ببيان من المتكلم
به
“Suatu
lafal yang tersembunyi apa yang dimaksud dengannya, sehingga tidak dapat
dietahui, kecuali dengan adanya keterangan dari yang mengucapkannya”[3]
Dari
definisi mujmal di atas dipahami bahwa mujmal merupakan suatu
lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang menyampaikan
lafazh tersebut. Kesulitan memahami lafazh ini bukan berasal dari
luarnya, tetapi dari lafazh itu sendiri. Untuk dapat memahami lafazh
mujmal sangat bergantung pada penjelasan yang menyampaikan lafazh
tersebut.
2. Macam-macam
Lafazh Mujmal
Dilihat
dari segi bentuknya lafazh mujmal dibedakan menjadi dua macam, yaitu lafazh
mufrad dan lafazh murakkab.
a. Lafazh
mufrad, yakni lafazh-lafazh yang
terdiri dari satu kalimat.
Lafazh-lafazh
mufrad juga
dilihat dari segi jenis ada tiga macam[4]:
1) Isim artinya nama atau nama benda
Contoh: مختارboleh sebagai pelaku (fa’il),
dalam hal ini diartikan dengan “orang yang memilih”, dan boleh juga sebagai
maf’ul (tujuan) atau penderita, yang dalam hal ini diartikan dengan “orang yang
dipilih”.
2) Fi’il artinya kata kerja
Contoh: عسعسboleh diartikan dengan “datang”
dan boleh juga dengan arti “kembali’ atau “pulang”. باع boleh diartikan dengan “menjual” dan boleh
dengan “membeli”.
3) Huruf
( حرف)
kalimat yang terdiri dari satu huruf, atau kalimat yang tidak akan berarti bila
tidak disambung dengan yang lainnya
Contoh: و artinya
‘dan” kedudukannya boleh sebagai ataf (عطف) artinya penyambung, tetapi boleh juga
sebagai al-Ibtida’ (الابتداء) artinya kata awal atau permulaan dak akan
berarti bila tidak disambung dengan yang lainnya
Sebagai contoh firman Allah yang
berbunyi:
او يعفو الذي بيده عقدة النكاح. . .
البقرة : ٢٣٧
Atau dimaafkan oleh orang yang memegang
ikatan nikah…
(QS. Al-Baqarah: 237)
Yang
mempunyai ikatan perkawinan bisa diartikan wali atau suami, karena maknanya
tidak tunggal, berarti hukumnya belum pasti. Oleh karena itu, tidak diamalkan
sebelum ada penjelasan atau al-Bayan.
B. Mubayyan
1. Pengertian
Mubayyan
Arti Al-mubayyan menurut
bahasa adalah yang menjelaskan. Maksudnya adalah suatu lafaz yang mengandung
penjelasan.
Al-mubayyan
menurut
istilah ushul fiqih adalah:
اِخْرَجَ
الشَّىِٔ مِنْ خَيْزِ الْاِشْكَالِ اِلَى حَيِّزِ الْتَّجَلىِّ
“mengeluarkan
sesuatu dari bentuk yang musykil (kabur) kepada bentuk yang terang.”[6]
Secara sederhananya mubayyan ialah suatu perkataan
yang terang maksud (jelas) tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya
2. Macam-macam Mubayyan
Mubayyan
atau penjelasan dilihat dari segi jenisnya, terbagi kepada beberapa macam[7]:
a. Penjelasan denga kata-kata (بيان بالقول)
Contoh, firman Allah yang berbunyi:
فصيام ثلاثة ايام في الحج وسبعة اذا
رجعتم تلك عشرة كاملة... البقرة :١٩٦
“Maka wajib berpuasa tiga hari dalam waktu haji, dan tujuh
hari setelah kamu kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna. (QS. Al-Baqarah: 196).
Perkataan “sepuluh hari yang
sempurna’ pada ayat tersebut adalah sebagai penjelasan dari tiga dan tujuh hari
yang disebutkan sebelum itu.
b. Penjelasan dengan perbuatan (بيان بالفعل)
Contoh,
seperti cara-cara shalat yang harus diikuti sebagaimana yang diterangkan dengan
perbuatan Nabi SAW. sendiri, sebagaimana sabdanya yang berbunyi:
صلوا كما رايتمواني اصلي
“Shalatlah
engkau sebagaimana engkau melihat aku melakukan sholat.”
c. Penjelasan dengan tulisan/surat (بيان بالكتاب)
Contoh,
seperti ukuran zakat dan diat anggota-anggota badan, banyak Nabi melakukan dengan
surat-surat, untuk dikirim ke daerah-daerah Islam di waktu itu.
d. Penjelasan-penjelasan dengan isyarat
(بيان بالاشارة)
Contoh,
seperti penjelasan Nabi tentang jumlah hari pada bulan Ramadhan, dengan
mengucapkan
الشهر هكذا، وهكذا، وهكذا
“Satu bulan itu sekian dan sekian
dan sekian”
Sewaktu Nabi mengucapkan “sekian”
pertama dan kedua adalah dengan mengangkat semua jari tangan, dan sedang waktu
mengucapkan “sekian” yang ketiga, Nabi melipatkan satu ibu jarinya. Hal
tersebut merupakan isyarat yang menunjukkan bahwa bulan Ramadhan adalah dua
puluh Sembilan hari. Yang demikianlah penjelasan dengan isyarat.
e. Penjelasan dengan meninggalkan (بيان بالترك)
Contoh,
seperti yang disebutkan dalam satu
riwayat oleh Jabir:
كان
اخراج المرين من رسول الله عليه وسلم عدم الوضوء مما مست النار “Adalah akhir dua perkara dari Nabi SAW. (adalah) tidak mengambil wudhu
(lagi) setelah makan sesuatu yang dibakar.”
Dari
riwayat tersebut tampak bahwa pada mulanya, setiap makan sesuatu yang dibakar
maka Nabi SAW. Wudhu, kemudian Nabi
tinggalkan, yakni Nabi tak wudhu lagi walau makan makanan yang dibakar. Nabi
meninggalkan wudhu dalam hal tersebut, oleh ulama dikatakan sebagai penjelasan
atau bayan dengan meninggalkan.
3. Tahirul Bayan
Mengundurkan bayan ini ada dua
macam : (1) mengundurkan dari waktu yang dibutuhkan, dan (2) mengundurkan bayan
dari waktu turunnya perintah/khithab[8].
a. Mengundurkan
penjelasan dari waktu dbutuhkan:
تأخير البيان عن وقت الحاجة لايجوز
“mengundurkan
penjelasan dari waktu dibutuhkan itu tidak boleh”.
Kalau mengundurkan penjelasan ini terjadi, berarti
membolehkan mengamalkan sesuatu yang mujmal sebelumnya ada bayan, tegasnya
mengamalkan sesuatu dengan cara yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki syara’.
Misalnya Fatimah binti Hubaisy dating kepada Rasulullah saw. kemudian bertanya
يا رسو ل الله إنى امرأة استحاض فلا
أطهر أفأدع الصلاة فقال لها ص م. لا إنما ذلك عرق وليست بالحيضة فإذا أقبلت الحيضة
فدعى الصلاة وإذ أدبرت فاغسلى عنك الدم و ضلى (متفق عليه
“Wahai rasulullah, saya ini
perempuan yang mengeluarkan darah istihadah, berarti saya tidak berada dalam
keadaan suci terus menerus, bolehkah saya meninggalkan shalat? Nabi bersabda:
“Jangan, karena hal itu penyakit saja (‘irqun atau keringat) dan bukan haid.
Apabila waktu haid tinggalkanlah shalat dan apabila habis waktunya bersihkanlah
darah itu (mandilah) dan shalatlah.” (H.R.Bukhari dan Muslim)
Dari hadis ini tidak ada penjelasan (bayan) bahwa
perempuan yang istihadah itu wajib bersuci untuk setiap kali shalat. Sebab
kalau mereka diwajibkan bersuci tiap kali shalat niscaya Rasulullah saw. telah
memberikan penjelasan pada waktu itu juga karena pada saat itulah penjelasan
dibutuhkan.
b. Mengundurkan
bayan dari waktu khithab:
تأخير البيان عن وقت الخطاب يجوز
“mengundurkan penjelasan dari
waktu khitab itu diperbolehkan”
Artinya, pada waktu turunnya perintah belum ada
penjelasan, misalnya firman Allah:
فإذ
قرأنه فاتَّبع قرآنه ثم أن علينا بيانه
“apabila kami bacakan (al-Qur’an)
ikutilah bacaannya. Kemudian sesungguhnya atas tanggungan kamilah
penjelasannya.
Lafal tsumma
(kemudian) berarti ada jarak waktu antara khitab dan penjelasannya.
Dengan demikian mengundurkan bayan itu boleh, baik mubayyannya zhahir
atau tidak. Misalnya menerangkan cara shalat sesudah adanya khitab
aqiimush shalata (dirikanlah
olehmu shalat) dengan bayan yang datangnya kemudian dari Nabi saw. yang
disabdakan dalam hadis shallu kamaa ra’aitumuuni ushalli
C. Mantuq
1. Pengertian
Mantuq
Mantuq
adalah hukum yang ditunjukkan oleh ucapan lafazh
itu sendiri[9].
Atau bisa dikatakan Mantuq adalah sesuatu (hukum) yang ditunjukkan oleh suatu lafazh dalam tempat pengucapan
(tersurat). mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafazh di tempat pembicaraan.[10]
Jadi secara ringkasnya mantuq adalah lafazh yang hukumnya memuat apa yang
diucapkan (makna tersurat)
2. Macam-macam
Mantuq
Dalam hasanah ilmu ushul fiqh mantuq
terbagi menjadi dua bagian yaitu:
a. Nash
yaitu suatu perkataan (lafazh) yang jelas pengertianya dan tidak mungkin di ta’wilkan atau
diarahkan ke dalam pengertian lain. Seperti contoh dalam firman Allah SWT;
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba. (Q.S
Al-Baqarah:175)
Kata al-bai' (jual beli) atau al-riba
adalah suatu lafazh yang jelas
pengertianya yang mana untuk memahami kata tersebut tidak membutuhkan ta'wil (asumsi).
b. Dhahir
Dhahir
yaitu suatu perkataan (lafazh) yang
jelas pengertianya, namun masih menimbulkan asumsi makna (pengertian) lain yang
derajatnya di bawah makna aslinya (majaz)[11].
Seperti firman Allah SWT
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء.
"Atau
menyentuh perempuan". (An-Nisa':43)
Lafazh "al-lams" dalam ayat tersebut
mempunyai dua pengertian. Secara dhahir
(haqiqi) lafazh "al-lams"
mempunyai arti "menyentuh" dengan tangan. Jadi hukum menyentuh
perempuan dapat membatalkan wudlu merupakan proses dari dhahir sebuah dalil. Namun dalam sisi yang lain lafazh "al-lams" apa bila
dilihat dari majaznya mempunyai arti "jima". Artinya, berdasarkan
ayat tersebut yang membatalkan wudlu bukan menyentuh perempuan akan tetapi
men-jima' perempuan yang diambil dari pengertian secara majaz
D.
Mafhum.
1. Pengertian
Mafhum
mafhum adalah sesuatu
yang ditunjukkan oleh suatu lafazh
tidak dalam tempat pengucapan (tersirat). Jadi mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafazh tidak dalam tempat pembicaraan,
tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut[12]
Jadi, mafhum adalah hukum yang tidak ditunjukkan oleh ucapan lafazh itu sendiri, tetapi dari
pemahaman terhadap ucapan lafazh tersebut.
2. Pembagian
Mafhum
Mafhum
terbagi menjadi dua macam, yaitu mafhum
muwafaqoh dan mafhum mukhalafah.
a. Mafhum
mufaqah
Mafhum muwafaqah
yaitu suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada
kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis
ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam
maknanya. Hal ini dapat diketahui dengan pengertian bahasa tanpa pembahasan
yang mendalam ataupun ijtihad.[13]
Secara ringkasnya bisa dikatakan bahwa mafhum mukhafafah yaitu hukum tidak
tertulis yang dipahamkan sama dengan hukum yang ditunjukkan oleh bunyi lafazh.
Mafhum muwafaqah dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Fahwa al-Khitab,
yaitu suatu masalah tidak tertulis yang hukumnya lebih utama daripada hukum
bagi msalah tertulis.[14]
Hal ini artinya hukum yang difahamkan lebih utama
hukumnya daripada yang diucapkan. Misalnya seperti memukul orang tua lebih
tidak boleh hukumnya, berdasarkan firman Allah SWT: “Jangan mengeluarkan
kata-kata yang keji terhadap kedua orang tua.” ( QS. Al Isra: 23).
Kata-kata yang keji saja tidak boleh apa lagi memukunya.
2) Lahn al-Khitab,
yaitu suatu masalah yang sama tingkat hukumnya dengan masalah lain yang tidak
tertulis.[15]
Bisa dikatakan bahwa apa yang tidak tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang
diucapkan. seperti tidak bolehnya membakar harta anak yatim dengan berdasarkan
firman Allah: “mereka yang memakan harta
benda anak-anak yatim dengan jalan aniaya sebenarnya memakan api kedalam
perutnya.” ( QS. An Nisa : 10). Jadi membakar harta anak yatim sama
hukumnya dengan memakannya, yaitu tidak boleh (haram)
b. Mafhum
Mukhalafah.
Mafhum
Mukhalafah adalah petunjuk lafazh
yang menunjukkan bahwa hukum yang lahir dari lafazh itu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan dalam lafazh itu, yang hukumnya bertentangan
dengan hukum yang lahir dari mantuqnya,
Karena tidak adanya batasan (kayd)
yang berpengaruh dalam hukum. Mafhum
mukhalafah disebut juga dalil khitab.
Suatu dilalah dinamakan mafhum mukhalafah
karena hukum yang disebutkan berbeda dengan hukum yang tidak disebutkan.
Dinamakan dalil khitab, karena dalil
hukumnya diambil dari jnis kitabnya atau karena khitabnya sendiri menunjukkan
atas hukum itu.[16]
Secara ringkasnya bisa dikatakan bahwa mafhum mukhalafah, yaitu apabila yang
difahamkan berbeda dengan apa yang diucapkan, baik dalam isbat maupun nafi. Jadi
yang difahamkan selalu kebalikan hukum dari bunyi lafazh yang diucapkan.
1) Syarat-syarat
mafhum mukhalafah
Untuk sahnya mafhum
mukhalafah, diperlukan empat syarat yaitu[17]:
a) Mafhum mukhalafah
tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum
muwafaqah.
b) Yang
disebutkan (mantuq) bukan suatu hal
yang biasanya terjadi.
c) Yang
disebutkan (mantuq) bukan dimaksudkan
unuk menguatkan suatu kadaan
d) Yang
disebutkan (mantuq) harus berdiri
sendiri tidak mengikuti kepada yang lain.
2) Macam-macam
mafhum mukhalafah
Mafhum mukhalafah dibedakan menjadi tujuh macam
yaitu[18]:
a) Mafhum sifat,
yaitu memperlihatkan hukum sesuatu kepada salah satu sifat-sifatnya. Seperti
firman Allah:
وَمَن
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ
Artinya: barangsiapa membunuh seorang mu'min karena
tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman (QS.
An Nisa : 92).
Maka kalau tidak
mukmin tidak cukup.
b) Mafhum ‘ilat,
yaitu mempertalikan hukum pada ‘ilat. Seperti mengharamkan minumam keras karena
memabukkan.
c) Mafhum
syarat, yaitu mempertalikan hukum pada syarat.
d) Mafhum ‘adad,
yaitu mempertalikan hukum pada bilangan tertentu. Sabda Nabi SAW.: “jika seekor anjing minum dari bejanamu,
maka basuhlah bejana itu tujuh kali”. Maka kalau kurang dari tujuh kali
tidaklah cukup.
e) Mafhum ghayah,
yaitu lafazh yang menunjukkan sampai kepada ghayah (batas). Hukum yang terdapat
sesudah perkataan yang menunjukkan adanya batas, berlainan dengan hukum
sebelumnya.
Contohnya, firman Allah SWT. Yang artinya “maka jika suami menceraikan isteri (untuk
ketiga kalinya) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya (suami), sehingga
mengawini lagi suami yang lain”. (QS Al Baqarah : 230). Jadi sebelum
berkawin dengan orang lain, tidak halal lagi bekas suaminya.
f) Mafhum
hasr (pembatasan)
Contohnya, firman Allah SWT.
قُل
لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَىٰ طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا
أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ
رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Artinya: Katakanlah, tidak saya peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepada
saya, akan suatu makanan yang haram atas orang memakannya, kecuali bangkai,
darah yang mengalir dan daging babi; karena ia barang yang keji atau fasiq,
yaitu binatang yang disembelih dengan tidak atas nama Allah (QS. Al An’am :
145)
g) Mafhum
Laqab,Yaitu meniadakan berlakunya suatu hukum yang terkait dengan suatu lafal
terhadap orang lain dan menetapkan hukum itu berlaku untuk nama atau sebutan
tertentu.
Misalnya, firman Allah dalam surat Yusuf ayat 4 yang
berbunyi:
إِذْ
قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ إِنِّي رَأَيْتُ أَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا
وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَأَيْتُهُمْ لِي سَاجِدِينَ
Artinya: (Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada
ayahnya : Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang,
matahari dan bulan kulihat semuanya sujud padaku.(Qs.Yusuf :4)
Dari ayat ini
dipahami bahwa ucapan tersebut hanya terkait dengan Nabi Yusuf karena tidak ada
kaitannya dengan orang lain.
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
makalah yang telah kami tulis, dalam bab ini kami memberikan kesimpulan secara
garis besarnya sesuai pokok pemikiran dalam setiap pembahasannya, sehingga kita
lebih mudah menangkap informasi yang telah kami tuliskan dalam bab terdahulu.
mujmal
merupakan suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari
yang menyampaikan lafazh tersebut. Kesulitan memahami lafazh ini
bukan berasal dari luarnya, tetapi dari lafazh itu sendiri. Untuk dapat
memahami lafazh mujmal sangat bergantung pada penjelasan yang
menyampaikan lafazh tersebut.
Dilihat
dari segi bentuknya lafazh mujmal dibedakan menjadi dua macam, yaitu lafazh
mufrad dan lafazh murakkab.
Lafazh mufrad, yakni lafazh-lafazh yang terdiri dari satu
kalimat. Sedangkan Lafazh murakkab,
yakni lafazh yang terdiri dari
beberapa kalimat.
Mubayyan ialah suatu perkataan yang terang maksud (jelas)
tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya. Jenis-jenis mubayyan antara lain;
Penjelasan denga kata-kata (بيان بالقول),
Penjelasan dengan perbuatan (بيان بالفعل), Penjelasan dengan tulisan/surat (بيان بالكتاب),
Penjelasan-penjelasan dengan isyarat (بيان بالاشارة), Penjelasan dengan meninggalkan (بيان بالترك)
Mantuq
adalah lafazh yang hukumnya memuat
apa yang diucapkan (makna tersurat). Mantuq terbagi menjadi dua bagian yaitu
nash
dan dhahir. Nash yaitu suatu
perkataan (lafazh) yang jelas
pengertianya dan tidak mungkin di ta’wilkan atau diarahkan ke dalam pengertian
lain. Dhahir yaitu
suatu perkataan
(lafazh) yang jelas pengertianya,
namun masih menimbulkan asumsi makna (pengertian) lain yang derajatnya di bawah
makna aslinya (majaz)
Mafhum
adalah
hukum yang tidak ditunjukkan oleh ucapan lafazh
itu sendiri, tetapi dari pemahaman terhadap ucapan lafazh tersebut. Mafhum
terbagi menjadi dua macam, yaitu mafhum
muwafaqoh dan mafhum mukhalafah. Mafhum muwafaqah yaitu suatu petunjuk
kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis pada kalimat itu berlaku
pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang tertulis ini sesuai dengan
masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan dalam maknanya. Mafhum Mukhalafah adalah petunjuk lafazh yang menunjukkan bahwa hukum yang
lahir dari lafazh itu berlaku bagi
masalah yang tidak disebutkan dalam lafazh
itu, yang hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahir dari mantuqnya, Karena tidak adanya batasan (kayd) yang berpengaruh dalam hukum
B. Saran
Demikian
penulisan makalah yang sangat sederhana ini telah kami selesaikan, semoga bisa
memberikan manfaat dan berkontribusi dalam penyebaran ilmu pengetahuan. Namun
demikian kami menyadari bahwa apa yang kami sampaikan masih banyak kesalahan
maupun kekurangannya. Untuk itu bagi para pembaca, kami harapkan saran maupun
masukannya untuk perbaikan penulisan ini maupun untuk penulisan-penulisan yang
akan datang, terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafie. Ushul
Fiqh. Jkarta : Widjaya. 1993
Ahmad
Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid. Maktabah As-Syuruq Ad-Daulah. 2004
Basiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqih 1dan 2. Jakarta: Prenada
Media Group. 2010
Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung:
PT Al-Ma’arif. 1972
Rachmat Syafe’i,
Ilmu
Ushul Fiqih, Bandung : Pustaka Setia, 2015
Tajudien Abdul
Wahhab As-Subkhi, Matn Jam'il jawami'. Juz: I.
[1]
Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih.
Bandung : Pustka Setia. 2015. hal.150
[2]
A.
Basiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2 Jakarta : Kencana. 2010. Hal. 108
[3]
Jasim bin Muhammad Muhalhil yasin. Jalan Pendek Untuk Mengenal Dasar Usul Fiqih.
Jakarta : Kalam Mulia. 1990. Hal. 12
[4]
Basiq Djalil. Ilmu Ushul Fiqih 1dan
2. Jakarta: Prenada Media Group. 2010.
Hal. 110
[5]
Basiq Djalil. Hal. 110
[6]
Basiq Djalil. Hal. 109
[7]
Basiq Djalil. Hal. 109
[8]
Drs. Moh. Rifa’i. Usul Fiqih. Bandung: PT Al-Ma’arif. 1972. Hal: 92-98.
[9]
A. Hanafie. Ushul Fiqh. Jkarta : Widjaya. 1993. Hal.77
[10]
Tajudien Abdul Wahhab As-Subkhi, Matn Jam'il jawami'. Juz: I, Hal: 235.
[11]
Ahmad Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid. Maktabah As-Syuruq Ad-Daulah.
2004 . hal.37
[12]
Tajudien Abdul Wahhab As-Subkhi, Matn Jam'il jawami'. Juz: I, Hal: 240
[13]
Rachmat Syafe’i. Ilmu Ushul Fiqih.
Bandung : Pustka Setia. 2015. Hal. 216
[14]
Rachmat Syafe’i. Hal. 216
[15]
Rachmat Syafe’i. Hal. 216
[16]
Rachmat Syafe’i. Hal. 216
[17]
A. Hanafie. Ushul Fiqh. Jakarta : Widjaya. 1993. Hal.80
[18]
A. Hanafie.. Hal.81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar