Senin, 22 Juni 2020

Kemerdekaan Diri Menurut Alam Pikirku Yang Sesat

Dokumen gambar milik Knip Semarang.com diambil via kompasiana.com
Dokumen gambar milik Knip Semarang.com diambil via kompasiana.com


Oleh: Nurul Fahmi

Dulu, aku pernah  terjerumus dalam alam pikir yang sesat. Aku pernah berpikir bahwa hidup akan jadi lebih enteng, enjoy, dan slow ketika aku bisa memerdekakan diri dari (merasa) disuruh-suruh oleh banyak orang. Akhirnya benar, banyak sekali orang-orang yang minta tolong/bantuan saya kecewakan dan mulai ada jarak yang memisahkan  hubungan sosial-emosional anatra kita. Ya, tentu aku merasa merdeka. Itulah alam pikir sesat yang saya banggakan.

Alasannya sih logis, atau sebenarnya saya logis-logiskan demi membenarkan kemauanku. Kurang lebih beginlah argumenku: Aku kan udah capek dengan pekerjaan dan tanggung jawabku sendiri. Enak aja, itukan urusan dan tanggung jawabmu. Ah, kamu sih mau enaknya aja, aku yang menanam kamu yang panen. Masa gitu aja kamu ga bisa sih, belajar dong! jangan malas, jangan ngandalin orang terus. Ya, dan seterusnya masih banyak lagi kalimat-kalimat yang senada.

Benar saja, aku semakin (merasa) merdeka dalam kesunyian diri, enjoy dengan diri sendiri dan melupakan hiruk-pikuk, lalu-lalang, dan padatnya relasi sosial-emosional yang (menurutku) menyita perhatian dan menguras energi. Aku terjebak dalam sikap apatis, empatiku mulai terkikis, dan kepedulianku seperti habis. Anehnya, aku berpura-pura menikmati hal ini. Inilah kesesatan sikap yang pernah aku perjuangkan dan itu adalah edisi lanjutan dari sesatnya pikiranku.

Ah, sudah sekian kali malam dilalui sang fajar dan siang dimakan sang senja. Kemerdekaan yang aku banggakan tersa rapuh dan kering. Jiwaku mulai gersang, dan hatiku merana kesakitan. Aku mulai merasa ada yang salah dan tidak beres dengan diriku sendiri. Ya, ini membuatku hanyut dalam renungan, menikmati pikiran, jiwa dan hati yang saling berkecamuk, upyek dalam perdebatan, saling mengoreksi dan menyalahkan sebelum akhirnya menemukan sebuah jawaban untuk sebuah perubahan.

Kini, cara berpikirku berubah seiring menumpuknya serpihan-serpihan pengalaman dalam dinamika hidup yang tak pernah terhenti. Aku menyadari bahwa aku telah berusaha mengkerdilkan fitrahku sebagai manusia. Fitrah bahwa kecenderungan hati manusia adalah berbuat baik, bahwa manusia merupakan mahluk sosial yang kecenderungannya adalah saling mengenal, menyayangi, kerjasama, dan tolong menolong. Bahwa setiap mahluk tercipta unik dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Aku menyadari hal mendasar yang sempat aku lupakan, bahwa untuk hidup nyaman, tentram dan bahagia sebenarnya cukup dengan mengikuti fitrah manusia itu sendiri. Menerima kenyataan (bersyukur) bahwa kita adalah manusia yang hidup berdampingan dengan manusia lainnya bersama segenap hal yang melekat pada kemanusiaan itu sendiri.

Ternyata aku melupakan asas-asas dasar, bahwa tidak ada balasan bagi sebuah kebaikan kecuali kebaikan. Bahwa dengan saling berbuat baik akan memperluas dan memperkuat medan magnet kebaikan yang akan menarik lebih banyak kebaikan-kebaikan. Bahwa kebaikan yang kita lakukan adalah investasi untuk kebaikan kita dimasa mendatang. Bahwa curahan kasih sayang (rahmat) Allah Swt. berbanding lurus dengan curahan kasih sayang kita kepada mahluk-Nya.

Ah, semoga apa yang aku sadari adalah Hidayah yang dikirimkan Tuhan dan cara berpikirku tidak bertentangan dengan kebenaran yang dikehendaki Tuhan.

Semoga Allah Swt, Rabb Yang Maha Pengampun, mengampuni dosa dan kesalahnku, orang tuaku, keluargaku, guru-guruku, orang yang baik maupun yang jahat kepadaku, dan segenap saudara-saudara mukmin semuanya.

Semoga Allah Swt, Rabb Yang Maha Pengasih dan Penyayang, ridho terhadap kita, serta senantiasa mencurahkan kasih sayangnya kepada kita semua. aamiin.

Wallahu a’lam bisshowab.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembelajaran dalam perjalanan pendidikan guru penggerak

Pendidikan Guru Penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatih...