Dulu,
aku pernah terjerumus dalam alam pikir
yang sesat. Aku pernah berpikir bahwa hidup akan jadi lebih enteng, enjoy, dan
slow ketika aku bisa memerdekakan diri dari (merasa) disuruh-suruh oleh banyak
orang. Akhirnya benar, banyak sekali orang-orang yang minta tolong/bantuan saya
kecewakan dan mulai ada jarak yang memisahkan
hubungan sosial-emosional anatra kita. Ya, tentu aku merasa merdeka.
Itulah alam pikir sesat yang saya banggakan.
Alasannya
sih logis, atau sebenarnya saya logis-logiskan demi membenarkan kemauanku.
Kurang lebih beginlah argumenku: Aku kan udah capek dengan pekerjaan dan
tanggung jawabku sendiri. Enak aja, itukan urusan dan tanggung jawabmu. Ah,
kamu sih mau enaknya aja, aku yang menanam kamu yang panen. Masa gitu aja kamu
ga bisa sih, belajar dong! jangan malas, jangan ngandalin orang terus. Ya, dan
seterusnya masih banyak lagi kalimat-kalimat yang senada.
Benar
saja, aku semakin (merasa) merdeka dalam kesunyian diri, enjoy dengan diri
sendiri dan melupakan hiruk-pikuk, lalu-lalang, dan padatnya relasi
sosial-emosional yang (menurutku) menyita perhatian dan menguras energi. Aku
terjebak dalam sikap apatis, empatiku mulai terkikis, dan kepedulianku seperti
habis. Anehnya, aku berpura-pura menikmati hal ini. Inilah kesesatan sikap yang
pernah aku perjuangkan dan itu adalah edisi lanjutan dari sesatnya pikiranku.
Ah,
sudah sekian kali malam dilalui sang fajar dan siang dimakan sang senja.
Kemerdekaan yang aku banggakan tersa rapuh dan kering. Jiwaku mulai gersang,
dan hatiku merana kesakitan. Aku mulai merasa ada yang salah dan tidak beres
dengan diriku sendiri. Ya, ini membuatku hanyut dalam renungan, menikmati
pikiran, jiwa dan hati yang saling berkecamuk, upyek dalam perdebatan, saling
mengoreksi dan menyalahkan sebelum akhirnya menemukan sebuah jawaban untuk
sebuah perubahan.
Kini,
cara berpikirku berubah seiring menumpuknya serpihan-serpihan pengalaman dalam
dinamika hidup yang tak pernah terhenti. Aku menyadari bahwa aku telah berusaha
mengkerdilkan fitrahku sebagai manusia. Fitrah bahwa kecenderungan hati manusia
adalah berbuat baik, bahwa manusia merupakan mahluk sosial yang
kecenderungannya adalah saling mengenal, menyayangi, kerjasama, dan tolong
menolong. Bahwa setiap mahluk tercipta unik dengan kelebihan dan kekurangan
masing-masing.
Aku menyadari
hal mendasar yang sempat aku lupakan, bahwa untuk hidup nyaman, tentram dan
bahagia sebenarnya cukup dengan mengikuti fitrah manusia itu sendiri. Menerima
kenyataan (bersyukur) bahwa kita adalah manusia yang hidup berdampingan dengan
manusia lainnya bersama segenap hal yang melekat pada kemanusiaan itu sendiri.
Ternyata
aku melupakan asas-asas dasar, bahwa tidak ada balasan bagi sebuah kebaikan
kecuali kebaikan. Bahwa dengan saling berbuat baik akan memperluas dan
memperkuat medan magnet kebaikan yang akan menarik lebih banyak
kebaikan-kebaikan. Bahwa kebaikan yang kita lakukan adalah investasi untuk
kebaikan kita dimasa mendatang. Bahwa curahan kasih sayang (rahmat) Allah Swt.
berbanding lurus dengan curahan kasih sayang kita kepada mahluk-Nya.
Ah,
semoga apa yang aku sadari adalah Hidayah yang dikirimkan Tuhan dan cara
berpikirku tidak bertentangan dengan kebenaran yang dikehendaki Tuhan.
Semoga
Allah Swt, Rabb Yang Maha Pengampun, mengampuni dosa dan kesalahnku, orang
tuaku, keluargaku, guru-guruku, orang yang baik maupun yang jahat kepadaku, dan
segenap saudara-saudara mukmin semuanya.
Semoga
Allah Swt, Rabb Yang Maha Pengasih dan Penyayang, ridho terhadap kita, serta
senantiasa mencurahkan kasih sayangnya kepada kita semua. aamiin.
Wallahu
a’lam bisshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar