Sabtu, 28 Januari 2017

KEGIATAN PIKET KEBERSIHAN (RO’AN) SEBAGI PENDIDIKAN KARAKTER BAGI SANTRI PONDOK PESANTREN YASINTA.




Kebersihan sebagian dari iman telah menjadi selogan di berbagai tempat, hal ini menunjukkan bahwa fitrah manusia adalah cenderung pada kebaikan. Salah satunya adalah fitrah untuk mencintai kebersihan. Semua orang sepakat bahwa kebersihan mempunyai peranan penting dalam menciptkan suasana yang menyenangkan, menentramkan, dan menyehatkan.
Mengingat betapa pentingnya peran kebersihan dalam kehidupan, Pondok Pesantren Yasinta Salatiga tidak hanya mengajarkan arti sebuah selogan kebersihan tersebut melainkan mengkarakterkan santrinya untuk mencintai kebersihan. Sebagai salahsatu upayanya adalah dengan kegiatan piket kebersihan (ro’an), maka wajar saja bila sampai saat ini Pondok Pesantren Yasinta tidak memakai jasa petugas kebersihan khusus.
Pada dasarnya kegiatan piket kebersihan (ro’an) adalah upaya pembiasaan dalam mendidik karakter santri untuk mencintai kebersihan yang dibiangkai dalam sebuah kegiatan terjadwal yang berkeadilan. Selain itu kegiatan ini juga membidik pendidikan karakter yang lain seperti kemandirian, bertanggung jawab, disiplin, rasa memiliki, peka sosial dan lingkungan serta solidaritas kesetiakawanan antar sesama santri.
Selain sebagai ajang pendidikan karakter, kegiatan ini tentu bermanfaat menjaga kebersihan lingkungan pondok pesantren. Sehingga lingkungan tempat para santri menuntut ilmu agama menjadi lingkungan yang sehat, menyenangkan, dan nyaman sehingga semua orang betah tinggal di lingkungan pondok pesantren Yasinta. (#Fahmy)

Kamis, 26 Januari 2017

konsep Tawakal, Al-Tajrid atau Al-Iktisab?



Tawakal, Al-Tajrid atau Al-Iktisab?
Tawakal didefinisikan dengan kesungguhan hati untuk berpegang teguh terhadap Allah dalam menggapai kemaslahatan, menghindari kemudaratan, memasrahkan segala urusan kepada-Nya dan meyakini bahwa tidak ada yang yang dapat member manfaat serta menolak bahaya selain-Nya. Definisi ini sesuai dengan terjemahan Sabda Nabi Muhammad SAW. yang diriwayat kan dari Abdullah ibni  Abbas, ia berkata : “Suatu hari aku berada di belakang Rasulullah SAW Beliau bersabda : “ Wahai saudara, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kalimat : Jagalah Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu. ketika kamu meminta maka memintalah kepada Allah. Ketika kamu minta tolong maka mintalah pertolongan kepada Allah. Dan ketahuilah seandainya umat berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, maka tidak akan bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali apa yang telah dituliskan (takdirnya) untukmu. Dan seandainya mereka berkumpul untuk memberikan suatu bahaya kepadamu, maka tidak akan bisa membahayakanmu kecuali apa yang telah dituliskan (takdirnya) untukmu. Pena telah diangkat dan telah kering buku catatan takdir. (HR. Turmudzi, beliau mengatakan hadis ini hasan shohih)
Dalam perkembangan ilmu tasawuf, dikenal dua teori tawakal, yaitu: Al-Tajrid dan Al-Iktisab.
1.      Al-Tajrid (memutus usaha mengais rizki)
Adalah pemasrahan hati secara totalitas atas kepastian Allah tanpa berusaha secara lahiriyah untuk mengais rizki, memasrahkan sepenuhnya urusan kehidupan hanya kepada Allah, hanya fokus mencari kepentingan ahirat dan berpaling dari kepentingan yang bernuansa duniawi.
Al – Sari  Al- Saqati – seorang sufi besar- mengatakan : “sesungguhnya orang bertakwa rizkinya tidak berasal dari usahanya, karena Allah Berfirman dalam QS. Al- Thalaaq; 2-3 yang terjemahannya : “barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”
Sebagian ahli sufi mengatakan: “mengandalkan urusan rizki terhadap mahluk merupakan sebuah kehinaan. Barang siapa bertawakal kepada selain Tuhannya maka akan merugi.” Pada umumnya yang menempuh teori ini adalah para ulama khos yang memiliki kebersihan hati luar biasa.
2.      Al – Iktisab (berusaha mencari rizki)
Adalah memasrahkan segala urusan terhadap Tuhan yang Maha Kuasa dalam hati dengan tetap disertai usaha untuk menggapai rizki.
Teori ini tidaklah keluar dari bingkai tawakal, karena tawakal beroperasi didalah hati, sedangkan kasb (usaha) merupakan usaha lahir. Kasb sendiri merupakan ibadah sselama memenuhi dua syarat: Pertama, usaha yang dilakukan semata-mata diniati karena Allah dan menjalankan perintah-Nya; Kedua, ridho terhadap segala hasil atas usaha yang dilakukan.
Usaha yang dilakukan manusia untuk mengais rizki tidaklah bertentangan dengan arti tawakal selama manusia tetap percaya dan meyakini akan takdir Allah. Apapun usaha yang dilakukan manusia, maka hasilnya diserahkan sepenuhnya pada kehendak Allah yang ia terima dengan  kerelaan sebagai takdir baginya. Baik hasilnya sesuai yang mereka inginkan ataupun sebaliknya.
Bagi masyarakat umum, maka teori tawakal ini akan lebih diterima oleh akal mereka dengan beberapa alasan:
a.       Ini dipandang sebagai hikmah atas dirahasiakannya takdir Allah.
b.      Teori ini sejalan dengan misi penciptaan manusia untuk menjadi khalifah di bumi ini.
Sebagi manusia yang diberi kepercayaan sebagi khalifah maka akan sangat wajar apabila mereka lebih aktif dalam melakukan usaha-usaha untuk tetap eksis menjalankan amanah sebagi khalifah fil ardh.
c.       Teori ini tidak bertentangan dengan tujuan penciptaan jin dan manusia untuk beribadah kepada Allah. Karena ihtiar yang dilakukan dengan niat yang benar karena Allah maka ihtiar tersebut menjadi suatu ibadah.
Jalan Tengah
Perbedaan kedua teori tersubut memanglah sangat mencolok dan terkesan bertentangan. Namun munurut penuturan Syaikh Ihsan bin Dakhlan, teori al- Tajrid dan al- Iktisab harus ditempatkan secara proporsional dengan mempertimbangkan kondisi dari pelaku.
Jika seseorang memiliki kemantapan hati, tabah menghadapi segala kesusahan serta tidak memiliki rasa yang mengganjal sedikitpun tanpa bekerja maka boleh baginya memilih teori al – tajrid. Bahkan jika dengan bekerja justru akan mengganggu konsentrasinya dalam menggapai puncak hadlrah dan ibadah kepadaNya, maka langkah tersebut merupakan langkah yang tepat.
Namun jika tidak memenuhi persyaratan tersebut, bahkan dngan tanpa bekerja justru akan membuat dirinya selalu mengharapkan pemberian orang lain (thama’), mengeluhkan kondisinya yang terbatas, maka langkah yang tepat baginya adalah menempuh teori al – Iktisab.
Abu Thalib al-Makki berujar: “sebagian ahli tawakal berkata; barang siapa tidak bekerja kemudian hatinya menjadi lemah atau justru pekerjaan akan membuat hatinyamenjadi lebih  tentram maka tidak diperkenankan baginya meninggalkan usaha, karena dengan tidak bekerja tersebut merupakan pengharapan kepada selain Allah”[1]
Kesimpulan
Harapan hati menempuh teori al – Tajrid padahal kondisi menuntut untuk memakai teori al – Iktisab nerupakan sebuah syahwat tersembunyi akibat tipu daya syaitan. Sebaliknya dorongan hati untuk menempuh teori al – Iktisab padahal sudah saatnya seorang hamba menempuh teori al – Tajrid merupakan sebuah kemunduran dalam menempuh wushul menuju jalan-Nya. Dengan demikian seseorang yang mendapatkan pertolongan dari Allah adalah mereka yang dapat memposisikan dirinya sesuai dengan kondisi dan kemampuannya serta meyakini dengan sesungguhnya bahwa tidak ada yang dapat terjadi kecuali apa yang dikehendaki-Nya.[2]


[1] Al-jampesi, siraj, II: 120-121
[2] Al-Subuki, al-Jawami’, II: 436-437

Jumat, 06 Januari 2017

Kisah Inspiratif : Garam dalam Gelas



Selama manusia maisih hidup, Tentu tidak akan pernah terlepas dari suatu perkara kehidupan. Adakalanya hal itu dirasakan sebagai suatu kebaikan baginya maupun sebagai suatu keburukan dalam hidupnya.  Namun perlu diingat kembali bahwa sesuatu yang kita anggap baik bisa jadi  hal itu tidak baik menurut Allah SWT. dan sebaliknya sesuatu yang kita anggap tidak baik ternyata hal  itu justru sangat baik menurut Allah SWT. dengan demikian maka tidak sepantasnya kita terlalu larut berlebihan  dalam merespon suatu perkara, baik dengan terlalu senang maupun terlalu larut dalam kesedihan.
Sudah maklum adanya bahwa manusia mempunyai suatu problematika kehidupan, namun perlu disadari bahwa dengan adanya ujian kehidupan justru akan menjadikan manusia mampu berkembang lebih baik, karena setiap masalah diturunkan satu paket dengan solusi, dan setiap paket  kesulitan desrtai dengan paket lainya yaitu kemudahan, Bukankan Allah SWT telah mengabarkan bahwa Allah akan menjadiakan kemudahan setelah kesulitan. Serta dikabarkan  bahwa sesumgguhnya bersama dengan kesulitan ada kemudahan.
Dalam menghadapi suatu kesulitan dan masalah yang sebenarnya telah disediakan paket kemudahan dan solusi yang harus dicari dan ditemukan, maka setiap manusia perlu mempunyai keluasan hati agar masalah-masalah yang dihadapi tidak begitu terlalu mengganggu kestabilan hidupnya. Karena dengan keluasan hati tersebut masalah-masalah akan terasa lebih ringan dan tidak akan menimbulkan tekanan (stress).  Dan justru dari suatu  masalah yang kita sikapi dengan hati yang lapang akan banyak memberikan pendidikan berharga dalam perjalanan mengarungi kehidupan ini.

Kisah : Garam Dalam Gelas
Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang dirundung bayak masalah hidup, kemudian dia memutuskan untuk berrekreasi ke pegunungan yang asri dan sepi dari keramaian orang agar lebih tenang dan bisa menjauhkan diri dari hiruk pikuk permasalahan kehidupannya.
Dia kemudian berjumpa dengan seorang tua yang berada di depan sebuah rumah sederhana dalam pegunungan tersebut. Orang tua yang dijumpainya terlihat bijaksana dan terpancar kebahagiaan dari raut wajahnya. lalu mendekati orang tuan tersebut untuk sekedar berbincang dan orang tua tersebut melihat raut muka si pemuda dan tahu bahwa dia sedang dirundung suatu masalah. Diapun dengan hati-hati dan ramah meminta sipemuda untuk bercerita tentang masalahnya.
Setelah sekian lama mendengar cerita si pemuda, orang tua itupun mengerti bahwa masalah yang dihadapi pemuda tersebut memanglah cukup berat. Kemudian orang tua tersebut mengambil segenggam garam dan mencampurkannya dalam segelas air putih, lalu meminta si pemuda untuk merasakannya.
Si pemuda tahu bahwa rasanya pasti sangatlah tidak enak dan enggan untuk meminumnya, namun orang tua tersebut terus membujuk dan berkata dengan tersenyum “rasakanlah, sedikit saja  pun tidak apa-apa”
Merasa sungkan, si pemuda pun mencicipinya meski hanya sedikit. Raut mukanya seketika berubah karena merasakan pahitnya air yang dia minum.
Orang tua tadi kemudian mengajaknya menuju sebuah telaga yang jernih. Ia menebarkan segenggam garam yang ia bawa kedalam telaga tersebut. Dengan sepotong kayu orang tua tersebut mengaduknya dan menyuruh sipemuda untuk meminum air telaga yang telah ditaburi garam tersebut.
Si pemuda meminumnya dengan tangannya, dia meminumnya lagi dan lagi. “segar sekali” gumamnya.
apa kamu merasakan garam dalam air itu?’ Tanya orang tua tersebut
‘sama sekali tidak” kata sipemuda.
Orang tua tadi, kemudian mengajak pemuda untuk duduk bersamanya dan bekata, “ nak, pahitnya kehidupan itu seperti segenggam garam yang sama, yang dimasukkan kedalam gelas dan telaga tadi. Jumlah dan rasa nya sama, tetapi garam ini sangat bergantung dengan wadah yang menampungnya. Jika wadahnya kecil, maka rasa pahit dari garam akan sangat terasa, semakin kecil wadahnya, semakin pahit rasanya.”
“sebaliknya, jika wadahnya luas, maka garam tidak akan terasa. Semakin luas wadahnya maka semakin tidak terlihat pengaruh garam tersebut dan rasa air”
“jika segenggam garam adalah pahitnya kehidupan, maka wadahnya adalah hatimu. Disanalah kamu menampung segala sesuatu. Jangan menjadikan hatimu seperti gelas, jadilah seperti telaga atau yang lebih luas lagi. Maka, segalanya akan baik-baik saja. Bahkan kepahitan itu tidak akan mengubah kehidupanmu.”
BACA JUGA HIKAMAH: BINTANG LAUT ITU PASTI MERASAKAN PERBEDAANNYA

Pembelajaran dalam perjalanan pendidikan guru penggerak

Pendidikan Guru Penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatih...