Kamis, 26 Januari 2017

konsep Tawakal, Al-Tajrid atau Al-Iktisab?



Tawakal, Al-Tajrid atau Al-Iktisab?
Tawakal didefinisikan dengan kesungguhan hati untuk berpegang teguh terhadap Allah dalam menggapai kemaslahatan, menghindari kemudaratan, memasrahkan segala urusan kepada-Nya dan meyakini bahwa tidak ada yang yang dapat member manfaat serta menolak bahaya selain-Nya. Definisi ini sesuai dengan terjemahan Sabda Nabi Muhammad SAW. yang diriwayat kan dari Abdullah ibni  Abbas, ia berkata : “Suatu hari aku berada di belakang Rasulullah SAW Beliau bersabda : “ Wahai saudara, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kalimat : Jagalah Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu. ketika kamu meminta maka memintalah kepada Allah. Ketika kamu minta tolong maka mintalah pertolongan kepada Allah. Dan ketahuilah seandainya umat berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, maka tidak akan bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali apa yang telah dituliskan (takdirnya) untukmu. Dan seandainya mereka berkumpul untuk memberikan suatu bahaya kepadamu, maka tidak akan bisa membahayakanmu kecuali apa yang telah dituliskan (takdirnya) untukmu. Pena telah diangkat dan telah kering buku catatan takdir. (HR. Turmudzi, beliau mengatakan hadis ini hasan shohih)
Dalam perkembangan ilmu tasawuf, dikenal dua teori tawakal, yaitu: Al-Tajrid dan Al-Iktisab.
1.      Al-Tajrid (memutus usaha mengais rizki)
Adalah pemasrahan hati secara totalitas atas kepastian Allah tanpa berusaha secara lahiriyah untuk mengais rizki, memasrahkan sepenuhnya urusan kehidupan hanya kepada Allah, hanya fokus mencari kepentingan ahirat dan berpaling dari kepentingan yang bernuansa duniawi.
Al – Sari  Al- Saqati – seorang sufi besar- mengatakan : “sesungguhnya orang bertakwa rizkinya tidak berasal dari usahanya, karena Allah Berfirman dalam QS. Al- Thalaaq; 2-3 yang terjemahannya : “barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”
Sebagian ahli sufi mengatakan: “mengandalkan urusan rizki terhadap mahluk merupakan sebuah kehinaan. Barang siapa bertawakal kepada selain Tuhannya maka akan merugi.” Pada umumnya yang menempuh teori ini adalah para ulama khos yang memiliki kebersihan hati luar biasa.
2.      Al – Iktisab (berusaha mencari rizki)
Adalah memasrahkan segala urusan terhadap Tuhan yang Maha Kuasa dalam hati dengan tetap disertai usaha untuk menggapai rizki.
Teori ini tidaklah keluar dari bingkai tawakal, karena tawakal beroperasi didalah hati, sedangkan kasb (usaha) merupakan usaha lahir. Kasb sendiri merupakan ibadah sselama memenuhi dua syarat: Pertama, usaha yang dilakukan semata-mata diniati karena Allah dan menjalankan perintah-Nya; Kedua, ridho terhadap segala hasil atas usaha yang dilakukan.
Usaha yang dilakukan manusia untuk mengais rizki tidaklah bertentangan dengan arti tawakal selama manusia tetap percaya dan meyakini akan takdir Allah. Apapun usaha yang dilakukan manusia, maka hasilnya diserahkan sepenuhnya pada kehendak Allah yang ia terima dengan  kerelaan sebagai takdir baginya. Baik hasilnya sesuai yang mereka inginkan ataupun sebaliknya.
Bagi masyarakat umum, maka teori tawakal ini akan lebih diterima oleh akal mereka dengan beberapa alasan:
a.       Ini dipandang sebagai hikmah atas dirahasiakannya takdir Allah.
b.      Teori ini sejalan dengan misi penciptaan manusia untuk menjadi khalifah di bumi ini.
Sebagi manusia yang diberi kepercayaan sebagi khalifah maka akan sangat wajar apabila mereka lebih aktif dalam melakukan usaha-usaha untuk tetap eksis menjalankan amanah sebagi khalifah fil ardh.
c.       Teori ini tidak bertentangan dengan tujuan penciptaan jin dan manusia untuk beribadah kepada Allah. Karena ihtiar yang dilakukan dengan niat yang benar karena Allah maka ihtiar tersebut menjadi suatu ibadah.
Jalan Tengah
Perbedaan kedua teori tersubut memanglah sangat mencolok dan terkesan bertentangan. Namun munurut penuturan Syaikh Ihsan bin Dakhlan, teori al- Tajrid dan al- Iktisab harus ditempatkan secara proporsional dengan mempertimbangkan kondisi dari pelaku.
Jika seseorang memiliki kemantapan hati, tabah menghadapi segala kesusahan serta tidak memiliki rasa yang mengganjal sedikitpun tanpa bekerja maka boleh baginya memilih teori al – tajrid. Bahkan jika dengan bekerja justru akan mengganggu konsentrasinya dalam menggapai puncak hadlrah dan ibadah kepadaNya, maka langkah tersebut merupakan langkah yang tepat.
Namun jika tidak memenuhi persyaratan tersebut, bahkan dngan tanpa bekerja justru akan membuat dirinya selalu mengharapkan pemberian orang lain (thama’), mengeluhkan kondisinya yang terbatas, maka langkah yang tepat baginya adalah menempuh teori al – Iktisab.
Abu Thalib al-Makki berujar: “sebagian ahli tawakal berkata; barang siapa tidak bekerja kemudian hatinya menjadi lemah atau justru pekerjaan akan membuat hatinyamenjadi lebih  tentram maka tidak diperkenankan baginya meninggalkan usaha, karena dengan tidak bekerja tersebut merupakan pengharapan kepada selain Allah”[1]
Kesimpulan
Harapan hati menempuh teori al – Tajrid padahal kondisi menuntut untuk memakai teori al – Iktisab nerupakan sebuah syahwat tersembunyi akibat tipu daya syaitan. Sebaliknya dorongan hati untuk menempuh teori al – Iktisab padahal sudah saatnya seorang hamba menempuh teori al – Tajrid merupakan sebuah kemunduran dalam menempuh wushul menuju jalan-Nya. Dengan demikian seseorang yang mendapatkan pertolongan dari Allah adalah mereka yang dapat memposisikan dirinya sesuai dengan kondisi dan kemampuannya serta meyakini dengan sesungguhnya bahwa tidak ada yang dapat terjadi kecuali apa yang dikehendaki-Nya.[2]


[1] Al-jampesi, siraj, II: 120-121
[2] Al-Subuki, al-Jawami’, II: 436-437

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembelajaran dalam perjalanan pendidikan guru penggerak

Pendidikan Guru Penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatih...