Tawakal, Al-Tajrid atau Al-Iktisab?
Tawakal
didefinisikan dengan kesungguhan hati untuk berpegang teguh terhadap Allah
dalam menggapai kemaslahatan, menghindari kemudaratan, memasrahkan segala
urusan kepada-Nya dan meyakini bahwa tidak ada yang yang dapat member manfaat
serta menolak bahaya selain-Nya. Definisi ini sesuai dengan terjemahan Sabda
Nabi Muhammad SAW. yang diriwayat kan dari Abdullah ibni Abbas, ia berkata : “Suatu hari aku berada di
belakang Rasulullah SAW Beliau bersabda : “
Wahai saudara, sesungguhnya aku akan mengajarimu beberapa kalimat : Jagalah
Allah, maka kamu akan mendapati Allah di hadapanmu. ketika kamu meminta maka memintalah
kepada Allah. Ketika kamu minta tolong maka mintalah pertolongan kepada Allah. Dan
ketahuilah seandainya umat berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu,
maka tidak akan bisa memberikan manfaat kepadamu kecuali apa yang telah
dituliskan (takdirnya) untukmu. Dan seandainya mereka berkumpul untuk memberikan
suatu bahaya kepadamu, maka tidak akan bisa membahayakanmu kecuali apa yang
telah dituliskan (takdirnya) untukmu. Pena telah diangkat dan telah kering buku
catatan takdir. (HR. Turmudzi, beliau mengatakan hadis ini hasan shohih)
Dalam
perkembangan ilmu tasawuf, dikenal dua teori tawakal, yaitu: Al-Tajrid dan Al-Iktisab.
1. Al-Tajrid
(memutus usaha mengais rizki)
Adalah pemasrahan hati
secara totalitas atas kepastian Allah tanpa berusaha secara lahiriyah untuk mengais
rizki, memasrahkan sepenuhnya urusan kehidupan hanya kepada Allah, hanya fokus
mencari kepentingan ahirat dan berpaling dari kepentingan yang bernuansa
duniawi.
Al – Sari Al- Saqati – seorang sufi besar- mengatakan : “sesungguhnya
orang bertakwa rizkinya tidak berasal dari usahanya, karena Allah Berfirman
dalam QS. Al- Thalaaq; 2-3 yang terjemahannya : “barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya
jalan keluar dan memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang
siapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”
Sebagian ahli sufi
mengatakan: “mengandalkan urusan rizki
terhadap mahluk merupakan sebuah kehinaan. Barang siapa bertawakal kepada
selain Tuhannya maka akan merugi.” Pada umumnya yang menempuh teori ini
adalah para ulama khos yang memiliki kebersihan hati luar biasa.
2. Al
– Iktisab (berusaha mencari rizki)
Adalah memasrahkan
segala urusan terhadap Tuhan yang Maha Kuasa dalam hati dengan tetap disertai
usaha untuk menggapai rizki.
Teori ini tidaklah
keluar dari bingkai tawakal, karena tawakal beroperasi didalah hati, sedangkan kasb (usaha) merupakan usaha lahir. Kasb
sendiri merupakan ibadah sselama memenuhi dua syarat: Pertama, usaha yang
dilakukan semata-mata diniati karena Allah dan menjalankan perintah-Nya; Kedua,
ridho terhadap segala hasil atas usaha yang dilakukan.
Usaha yang dilakukan
manusia untuk mengais rizki tidaklah bertentangan dengan arti tawakal selama
manusia tetap percaya dan meyakini akan takdir Allah. Apapun usaha yang
dilakukan manusia, maka hasilnya diserahkan sepenuhnya pada kehendak Allah yang
ia terima dengan kerelaan sebagai takdir
baginya. Baik hasilnya sesuai yang mereka inginkan ataupun sebaliknya.
Bagi masyarakat umum,
maka teori tawakal ini akan lebih diterima oleh akal mereka dengan beberapa alasan:
a. Ini
dipandang sebagai hikmah atas dirahasiakannya takdir Allah.
b. Teori
ini sejalan dengan misi penciptaan manusia untuk menjadi khalifah di bumi ini.
Sebagi manusia yang
diberi kepercayaan sebagi khalifah maka akan sangat wajar apabila mereka lebih
aktif dalam melakukan usaha-usaha untuk tetap eksis menjalankan amanah sebagi khalifah fil ardh.
c. Teori
ini tidak bertentangan dengan tujuan penciptaan jin dan manusia untuk beribadah
kepada Allah. Karena ihtiar yang dilakukan dengan niat yang benar karena Allah
maka ihtiar tersebut menjadi suatu ibadah.
Jalan Tengah
Perbedaan
kedua teori tersubut memanglah sangat mencolok dan terkesan bertentangan. Namun
munurut penuturan Syaikh Ihsan bin Dakhlan, teori al- Tajrid dan al- Iktisab harus
ditempatkan secara proporsional dengan mempertimbangkan kondisi dari pelaku.
Jika
seseorang memiliki kemantapan hati, tabah menghadapi segala kesusahan serta
tidak memiliki rasa yang mengganjal sedikitpun tanpa bekerja maka boleh baginya
memilih teori al – tajrid. Bahkan jika dengan bekerja justru akan mengganggu
konsentrasinya dalam menggapai puncak hadlrah dan ibadah kepadaNya, maka
langkah tersebut merupakan langkah yang tepat.
Namun
jika tidak memenuhi persyaratan tersebut, bahkan dngan tanpa bekerja justru
akan membuat dirinya selalu mengharapkan pemberian orang lain (thama’),
mengeluhkan kondisinya yang terbatas, maka langkah yang tepat baginya adalah
menempuh teori al – Iktisab.
Abu
Thalib al-Makki berujar: “sebagian ahli
tawakal berkata; barang siapa tidak bekerja kemudian hatinya menjadi lemah atau
justru pekerjaan akan membuat hatinyamenjadi lebih tentram maka tidak diperkenankan baginya
meninggalkan usaha, karena dengan tidak bekerja tersebut merupakan pengharapan
kepada selain Allah”[1]
Kesimpulan
Harapan
hati menempuh teori al – Tajrid padahal
kondisi menuntut untuk memakai teori al –
Iktisab nerupakan sebuah syahwat tersembunyi akibat tipu daya syaitan. Sebaliknya
dorongan hati untuk menempuh teori al –
Iktisab padahal sudah saatnya seorang hamba menempuh teori al – Tajrid merupakan sebuah kemunduran
dalam menempuh wushul menuju jalan-Nya. Dengan demikian seseorang yang
mendapatkan pertolongan dari Allah adalah mereka yang dapat memposisikan
dirinya sesuai dengan kondisi dan kemampuannya serta meyakini dengan
sesungguhnya bahwa tidak ada yang dapat terjadi kecuali apa yang
dikehendaki-Nya.[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar