Rabu, 31 Mei 2017

Perbedaan Pendapat Tentang Islam Sebagai Al-Diin dan Al-Daulah



A.    Pengertian Daulah
Kata Daulah berasal dari Bahasa Arab yaitu kata dala-yadulu-daulah yang artinya bergilir, beredar, dan berputar.Sedangkan secara istilah kata Daulah merujuk pada suatu kelompok sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan dioganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan mereka.Sehingga di sini, Daulah dapat diartikan sebagai negara, pemerintah, kerajaan atau dinasti.[1]
Dalam Al Quran terdapat dua ayat yang menggunakan kata ini, keduanya dengan arti bergilir dan beredar, yaitu dalam surat Ali Imran (3) ayat 140, “…dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia…” Sedangkan dalam surat Al Hasyr (59) ayat 7 juga diterangkan, “…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya…”
Jimly Asshidqie, ahli hukum Indonesia, berpendapat bahwa dalam ayat pertama terkadung muatan ekonimi yang berkonotasi politik dan ayat terakhir muatannya lebih berkonotasi ekonomi. Kata daulah sendiri yang berkonotasi politik misalnya yang berarti dinasti, belum digunakan secara umum pada masa pra islam. Hal ini dapat dilihat karena tidak ditemukan adanya indikasi penggunaan kata tersebut. Sedangkan istilah kesukuan (Al-Banu) yang telah ada sebelum masa pra islam masih terus digunakan dalam islam. Ketika masa dinasti Abbasiyah kata daulat digunakan secara umum yang diartikan dengan kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan dan dinasti.
Al Kindi, FIlsuf Muslim pertama berketurunan Arab (185H/801M – 256H/869M) mengartikan daulah dengan al Mulk (Kerajaan). Abu bakar Muhammad bin Zakaria ar Razi, seorang dokter pada masa islam klasik dan juga filsuf islam (251H/ 865M – 313H/ 925M) mengartikan daulah dengan makna kesuksesan.
Jadi, dari beberapa pendapat tersebut diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa Daulah memiliki arti Pemerintahan, Kerajaan, Dinasti yang mengatur aspek kehidupan masyarakatnya dengan menggunakan peraturan-peraturan islam.
B.     Teori tentang Agama dan Negara
Hubungan islam dengan Negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan kedalam tiga pandangan diantaranya :
1.      Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik hampir sama persis dengan pandangan negara teokrasi islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan duia lembaga yang menyatu. Paham ini juga memberikan penegasan bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.konsep ini menegaskan kembali bahwa islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara.
Dalam pergulatan islam dan negra modern pola hubungan integratif ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Darisinilah kemudian paradigma integralistik identik dengan paham islam Ad Din Wa dawlah (islam sebagai agama dan negara), yang bersumber hukum positifnya adalah hukum islam (syariat islam). Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh negara Kerajaan Saudi Arabia dan penganut paham Syi’ah di Iran. Kelompok Ali ra, ini menggunakan istilah imamah sebagaimana dimaksud dengan istilah Dawlah yang banyak dirujuk oleh kalangan suni.
2.      Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma Simbiotik hubungan antara agama dan negara berbeda pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (Simbiosis Matualita). Dalam pandangan ini agama membutuhkan negara sebagai instrument dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu pula sebaliknya negara juga memerlukan agama sebagai sumber moral, etika dan spiritualitas warga negaranya.
Paradigma simbiotik tampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah tentang agama sebagai alat negara diatas. Dalam kerangka ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahawa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang poaling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak berdiri tegak.  Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara agama  dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tiak saja berasal dari adanya kontrak sosial, tetapi bisa diwarnai oleh hukum agama (syari’at). Dengan kata lain agama tidak mendominasi kehidupan negara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan negara Mesir dan indonesia dapat digolongkan kepada kelompok pardigma ini.
3.      Paradikma Sekularistik
Paradigma sekuleristik beranggapan bahwa terjadi pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah urusan publik, sementyara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga negara.
Berdasarkan pemahan yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum  yang bersal dari kesepakatan manusia melalui Cocial Contract yang tidak terkait sama sekali dengan hukum agama (Syari’at). Konsep sekularistik dapat ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Roziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah SAW pun tidak ditemukan keinginan nabi Muhammad SAW untuk mendirikan negara islam. Negara Turki Modern dapat digolongkan kedalam paradigma ini.[2]
C.     Perbedaan Pendapat Islam Sebagai Din dan Al Daulah
Hal penting dari pembicaraan tentang Negara adalah hubungan Agama dengan Negara.Wacana ini mendiskusikan bagaimana posisi agama dalam konteks Negara modern. Hubungan agama dengan Negara dalam konteks dunia islam masih menjadi perdebatan yang intensif dikalangan para pakar muslim hingga kini. Menurut Azyumardi, perdebatan itu telah berlangsung sejak hamper satu abad, dan masih berlangsung hingga dewasa ini. Menurut Azra ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara dalam islam di sulut oleh hubungan yang agak canggung antara islam sebagai agama (Din), dan Negara (dawlah). Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk menyelaraskan antara din dengan dawlah dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim. Sepertihalnya percobaan demokrasi disejumlah Negara di dunia, penyelarasan din dan dawlah di banyak Negara-negara muslim telah berkembang secara beragam. Perkembangan waana demokrasi dikalangan Negara-negara muslim dewsa ini semakin menambah maraknya perdebatan islam dan Negara.
Perdebatan islam dan negara berangkat dari pandangan dominan islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh, yang mengatur kehidupan maniusia termasuk persoalan politik. Dari pandangan islam sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya dalam islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama dan politik, argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad di Madinah. Dikota hijrah ini Nabi Muhammad berperan ganda, sebagai pemimpin agama sekaliogus sebagai kepala negara yang memimpin sebuah sistem pemerintahan awal islam yang oleh kebanyakan pakar dinilai sangat modern dimasanya.
Posisi ganda Nabi Muhammad di kota Madinah disikapi beragam oleh kalangan ahli. Secara garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah islam identik dengan negara atau sebaliknya islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tenntang bentuk negara, mengingat sepeninggal Nabi Muhammad tak seorangpun dapat menggantikan peran ganda beliau, sebagai pemimpin beliau yang sekuler dan si penerima wahyu Allah sekaligus.
Menyikapi realitas perbedaan tersebut Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi nabi pada saat itu adalah sebagai rosul yang bertugas sebagai menyampaikan ajaran (Al Kitab) bukan sebagai penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah kalaupun ada pemerintahan itu adalah hanya sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri. Dengan ungkapan lain politik atau negara dalam islam hanyalah sebagai alat bagi agama, bukan eksistensi dari agama islam. Pendapat Ibnu Taimiyah ini bersumber paada ayat Al qur’an (QS. 57 : 25) yang artinya “sesungguhgnya Kami telah mengutus Rasul-rasrul Kami yang disertaio keterangan-keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan timbangan agar manusia berlaku adil, dan kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengatahui siapa yang Menolong-Nya dan (menolong) Rasul-Nya yang ghaib (daripaaanya)”.
Berdasarkan ayat ini Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan “pedang” penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbulkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri. Sedangkan politik tidak lain hanyalah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan luhur agama.
Mengelaborasi pandangan Ibnu Taimiyah di atas Ahmad Syafi’i Ma’arif menjelaskan bahwa istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai dalam Al Qur’an. Istilah dawlah memang ada dalam Al Qur’an pada surat Al Hasyr (59) ayat7 : tetapi ia tidak bermakna negara. Istilah tersebut dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan.
Pandangan sejenis juga pernah di sampaikan / dikemukakan oleh bebrapa modernis Mesir, antara lain Ali Abdul Raziq dan Mohammad Husein Haikal. Menurut Haikal prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh Al Qur’an dan As Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam islam tidak sesuatu sistem pemerintahan yang baku. Umat islam bebas menganut sistem pemerintahan apapun aasalkan sistem tersebut menjamin persamaan antara para warga dan negaranya, baik hak maupun kewajibannya dan persamaan dihadapan hukum, dan pelaksanaan urusan negara diselenggarakan atas dasar musyawarah (syura) dengan berpegang dengan tata nilai moral dan etika yang di ajarkan islam.
D.    Rekomendasi
Melihat perbedaan pendapat yang panjang mengenai islam sebagai agama maupun islam sebagai agama dan Negara (al daulah) yang sama-sama mempunyai argumentasi untuk memperkuat pendapat masing-masing, kita sebagai akademisi tentunya harus menghargai semua pendapat yang ada namun juga harus mampu menelaahnya secara obyektif berdasarkan pengalaman dan pemahaman yang telah dimiliki oleh masing-masing akademisi.
Sebagaimana penulis yang lebih memilih sependapat dengan Ibnu Taimiyah atas pernyataannya bahwa pemerintahan itu adalah hanya sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri kami kira cukup rasional. Hal ini tidak terlepas dari realita yang kita temui di Negara Indonesia.
Dengan demikian kaitannya menentukan sikap dalam beragama dan bernegara kususnya islam di Indonesia maka kita cukup mendukung pemerintahan dengan bermoral, berakhlak dan berpolitik sebagaimana nilai-nilai spiritual islam sehingga menjadikan Negara Indonesia sebagai Negara yang kondusif, aman, tentram serta mendukung terlaksananya dakwah dan pengamalan agama islam bagi pemeluknya di Indonesia.
E.     Implikasi
Hampir semua Negara terdiri atas dan didukung oleh sejumlah kelompok masyarakat dengan sederetan ragam latar belakang. Kendati demikian tidak diragukan bahwa kedamaian, ketentraman, kemakmuran dan keadilan merupakan cita-cita dan kebutuhan universal bagi semua Negara, hal tersebutpun juga tidak bertentangan dengan maqoshidu As Syar’iah dalam agama islam.
Pemaksaan perwujudan Negara islam baru justru sangat dimungkinkan akan menimbulakan konflik dan ancaman kedamaian yang merupakan kebutuhan setiap manusia. Dan sebaliknya pemisahan agama islam dari urusan kenegaraan akan menyebabkan suatu tatanan Negara yang hampa dari sikap dan nilai spiritual islam. Hal ini akan berdampak pada berbagai kebijakan publik yang kadang jauh dari nilai-nilai islam atau lebih parahnya kebijakan yang bertentangan atau menyudutkan syari’at islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadim Zallum, Dimuqrathiyah Nizham Kufr, hal. 48
Ahmad suaedy pergulatan pesantren demokrasi, Yogyakarta: LKiS
Ahmad syafi’I maarif, islam dan masalah kenegaraan studi tentang percaturan dalam konstituante, Jakarta: LP3ES, cet ke-1 1996
Ahmad syafi’I ma’arif, “Pengantar” dalam M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: PT. Tiara Wacaba 1999
Dede Rosyada. Pendidikan kewargaan demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani Jakarta: ICCE UIN syarif hidayatullah, 2000
Deliar Noer, gerakan modrn islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-8 1996
Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim XII/229
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Demokrasi Hal Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta, Prenada Media Group : 2010 )
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh Daulah dalam perspektif al-Qur’an dan as-Sunah, terj; Kathur Suhardi, (Jakarta: al-Katsar, 2000 )


[2]Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Demokrasi Hal Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta, Prenada Media Group : 2010 ) halaman 94-97

Selasa, 30 Mei 2017

PERKEMBANGAN AGAMA REMAJA DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA



A.    Pengertian Remaja
Istilah remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya adoloscentia yang berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa yang mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik.
Kata tersebut mengandung aneka kesan, ada yang berkata bahwa remaja merupakan kelompok yang potensinya dapat dimanfaatkan dan kelompok yang bertanggung jawab terhadap bangsa dalam masa depan. Masa remaja merupakan masa perkembangan menuju kematangan jasmani, seksualitas, pikiran dan emosional.
Kehidupan remaja itu sendiri merupakan salah satu fase perkembangan dari diri manusia. Fase ini adalah masa transisi dari masa kanak-kanak dalam menggapai kedewasaan. Disebut masa transisi karena terjadi saling pengaruh antara aspek jiwa dengan aspek yang lain, yang kesumuanya akan mempengaruhi keadaan kehidupan remaja.[1]
Neidahart menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dan ketergantungan pada masa anak-anak kemasa dewasa, dan pada masa ini remaja dituntut untuk mandiri. Pendapat ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Ottorank bahwa masa remaja merupakan masa perubahan yang drastis dari keadaan tergantung menjadi keadaan mandiri, bahkan Daradjat mengatakan masa remaja adalah masa dimana munculnya berbagai kebutuhan dan emosi serta tumbuhnya kekuatan dan kemampuan fisik yang lebih jelas dan daya fikir yang matang.[2]

B.     Perkembangan Psikologi Remaja
Perkembangan psikologi remaja dikelompokkan menjadi tiga masa.[3]
1.      Masa Pra Pubertas (Usia 12-14 Tahun)
Masa ini adalah masa peralihan dari masa sekolah dasar menuju masa pubertas, di mana seorang anak yang telah besar ini sudah ingin berlaku seperti orang dewasa tetapi dirinya belum siap. Pra pubertas adalah saat terjadinya perkembangan fisiologis yang berhubungan dengan kematangan kelenjar endokrin, sehingga anak merasakan adanya rangsangan-rangsangan  tertentu yang membuat anak merasa tidak tenang karena merasakan suatu rasa yang belum pernah dialami sebelumnya. Hal itu dapat terlihat dengan perubahan tingkah lakunya.
2.      Masa Pubertas (Usia 14-18 Tahun)
Pada masa ini seorang anak tidak lagi hanya bersifat reakti, tetapi juga mulai aktif mencapai kegiatan dalam rangka menemukan dirinya, serta mencari pedoman hidupuntuk bekal kehidupannya mendatang. Kegiatan tersebut dilakukannya penuh semangat menyala-nyala tetapi ia sendiri belum memahami akan hakikat dari sesuatu yang dicarinya itu. Sehingga Ch. Buhler pernah menggambarkan dengan  ungkapanya “ saya mengingikan sesutatu tetapi tidak mengetahui akan sesutatu itu”. Sehingga masa ini ada yang menyebut masa strumund drang atau masa badai atau dorongan. Mengenai tanda-tandanya yaitu mereka mulai bersikap untuk mencoba memutuskan sendiri dan ikut berbicara dalam suatu permasalahan karena mereka merasa ingin dilihat inilah saya.
3.      Masa Adoleson (Usia 18-21 Tahun)
Pada masa ini seorang sudah dapat mengetahui kondisi dirinya, ia sudah mulai membuat rencana kehidupan serta sudah mulai memilih dan menentukan jalan hidupnya. Masa ini sebenarnya memiliki sifat-sifat seperti sikap positif dalam menentukan system tata nilai dan menunjukan ketenangan dan keseimbangan di dalam kehidupanya.

C.    Perkembangan Agama Pada Masa Remaja
Segala persoalan dan problema yang terjadi pada remaja-remaja itu, sebenarnya bersangkut-paut dan barkait-kait dengan usia yang mereka lalui, dan tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan di mana mereka hidup. Dalam hal itu, suatu faktor penting yang memegang peranan yang menentukan dalam kehidupan remaja adalah agama. Tapi sayang sekali, dunia modern kurang menyadari betapa penting dan hebatnya pengaruh agama dalam kehidupan manusia, terutama pada orang-orang yang sedang mengalami kegoncangan jiwa, dimana umur remaja terkenal dengan umur goncang, karena pertumbuhan yang dilaluinya dari segala bidang dan segi kehidupan.[4]
1.      Masa Remaja Awal (13-16)
Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, sehingga memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan, kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan. Kepercayaan kepada tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara ibadanya yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas. penghayatan rohani cenderung skeptis sehingga muncul keengganan dan kemalasan untuk melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
Kegoncangan dalam keagamaan ini mungkin muncul, karena disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan matangnya organ seks, yang mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun di sisi lain ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang oleh agama. Kondisi ini menimbulkan konflik pada diri remaja. Faktor internal lainnya adalah bersifat psikologis, yaitu sikap independen, keinginan untuk bebas, tidak mau terikat oleh norma-norma keluarga (orangtua). Apabila orangtua atau guru-guru kurang memahami dan mendekatinya secara baik, bahkan dengan sikap keras , maka sikap itu akan muncul dalam bentuk tingkah laku negatif, seperti membandel, oposisi, menentang atau menyendiri, dan acuh tak acuh.[5]
2.      Masa Remaja Akhir (17-21)
Masa remaja terakhir dapat dikatakan bahwa anak pada waktu itu dari segi jasmani dan kecerdasan telah mendekati kesempurnaan. Yang berarti bahwa tubuh dengan seluruh anggotanya telah dapat berfungsi dengan baik, kecerdasan telah dianggap selesai pertumbuhannya, tinggal pengembangan dan penggunaannya saja yang perlu diperhatikan.
Akibat pertumbuhan dan perkembangan jasmani, serta kecerdasan yang telah mendekati sempurna, atau dalam istilah agama dapat dikatakan telah mencapai tingkat baligh-berakal, maka remaja itu merasa bahwa dirinya telah dewasa dan dapat berpikir logis. Di samping itu pengetahuan remaja juga telah berkembang pula, berbagai ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh bermacam-macam guru sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing telah memenuhi otak remaja. Remaja saat itu sedang berusaha untuk mencapai peningkatan dan kesempurnaan pribadinya, maka mereka juga ingin mengembangkan agama, mengikuti perkembangan dan alur jiwanya ynag sedang bertumbuh pesat itu.
Kendatipun kecerdasan remaja telah sampai kepada menuntut agar ajaran agama yang dia terima itu masuk akal, dapat difahami dan dijelaskan secara ilmiah dan orisinil, namun perasaan masih memegang peranan penting dalam sikap dan tindak agama remaja.
Diantara sebab kegoncangan perasaan, yang sering terjadi pada masa remaja terakhir itu adalah pertentangan dan ketidakserasian yang terdapat dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Disamping itu, yang juga menggelisahkan remaja adalah tampaknya perbedaan antara nilai-nilai akhlak yang diajarkan oleh agama dengan kelakuan orang dalam masyarakat. Terutama yang sangat menggelisahkan remaja, apabila pertentangan itu terlihat pada orangtua, guru-gurunya di sekolah, pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh agama. Banyak lagi faktor yang menggoncangkan jiwa remaja, seyogyanya guru agama dapat memahaminya, agar dapat menyelami jiwa remaja itu, lalu membawa mereka kepada ajaran agama, sehingga ajaran agama yang mereka dapat itu, betul-betul dapat meredakan kegoncangan jiwa meraka.[6]
Ciri-ciri Kesadaran beragama Yang Menonjol Pada Masa Remaja antara lain[7]:
1.      Pengalaman ketuhanannya semakin bersifat individual
Remaja semakin mengenal dirinya. Ia menemukan dirinya bukan hanya sekedar badan jasmaniah, tetapi merupakan suatu kehidupan psikologis rohaniah berupa pribadi. Remaja bersifat kritis terhadap dirinya sendiri dan segala sesuatu yang menjadi milik pribadinya. Ia menemukan pribadinya terpisah dari pribadi-pribadi lain dan terpisah pula dari alam sekitarnya.
Penemuan diri pribadinya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri menimbulkan rasa kesepian dan rasa terpisah dari pribadi lainnya. Secara formal dapat menambah kedalaman alam perasaan, akan tetapi sekaligus menjadi bertambah labil. Keadaan labil yang menekan menyebabkan si remaja mencari ketentraman dan pegangan hidup. Penghayatan kesepian, perasaan tidak berdaya menjadikan si remaja berpaling kepada Tuhan sebagai satu-satunya pegangan hidup, pelindung dan penunjuk jalan dalam goncangan psikologis yang dialaminya.
2.      Keimanannya semakin menuju realitas yang sebenarnya
Terarahnya perhatian ke dunia dalam menimbulkan kecendrungan yang besar untuk merenungkan, mengkritik, dan menilai diri sendiri. Intropeksi diri ini dapat menimbulkan kesibukan untuk bertanya-tanya pada orang lain tentang dirinya mengenai keimanan dan kehidupan agamanya.
Dengan  berkembangnya kemampuan berpikir secara abstrak, si remaja mampu pula menerima dan memahami ajaran agama yang berhubungan dengan masalah ghaib, abstrak dan rohaniah, seperti kehidupan alam kubur, hari kebangkitan dan lain-lain. Penggambaran anthropormofik atau memanusiakan Tuhan dan sifat-sifatNya lambat laun diganti dengan pemikiran yang lebih sesuai dengan realitas.
3.      Peribadatan mulai disertai penghayatan yang tulus
Agama adalah pengalaman dan penghayatan dunia dalam seseorang tentang ketuhanan disertai keimanan dan peribadatan.
Pada masa remaja dimulai pembentukan dan perkembnagan suatu sistem moral pribadi sejalan dengan pertumbuhan pengalaman keagamaan yang individual. Melalui kesadaran beragama dan pengalaman keTuhanan akhirnya remaja akan menemukan Tuhannya yang berarti menemukan kepribadiannya. Ia pun akan menemukan prinsip dan norma pegangan hidup, hati nurani, serta makna dan tujuan hidupnya. Kesadaran beragamanya menjadi otonom subjektif dan mandiri sehingga sikap dan tingkah lakunya merupakan pencerminan keadaan dunia dalamnya, penampilan keimanan dan kepribadian yang mantap.

D.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Agama Pada Remaja
Rasa beragama tidak luput dari berbagai faktor yang yang bersumber dari dalam diri seseorang (intern) maupun faktor yang bersumber dari luar (ekstern).
1.      Faktor intern
Faktor-faktor intern yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa keagamaan antara lain adalah faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan seseorang.[8]
a.       Faktor Hereditas
Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang diwariskan secara turun-temurun, melainkan terbentuk dari unsur kejiwaan lainnya yang mencakup kognitif, afektif dan konatif. Tetapi dalam penelitian terhadap janin terungkap bahwa makanan dan perasaan ibu berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya.  Rasul saw. Menyatakan bahwa daging dari makanan yang haram, maka nerakalah yang lebih berhak atasnya. Pernyataan ini setidaknya menunjukkan bahwa ada hubungan antara status hukum makanan (halal dan haram) dengan sikap.
Selain itu Rasul SAW. Juga menganjurkan untuk memilih pasangan hidup yang baik dalam membina rumah tangga, sebab menurut beliau keturunan berpengaruh. Benih yang berasal dari keturunan tercela dapat mempengaruhi sifat-sifat keturunan berikutnya.
Perbuatan yang buruk dan tercela jika dilakukan, menurut Sigmund Freud akan menimbulkan rasa bersalah (sense of guilt) dalam diri pelakunya. Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan agama, maka pada diri pelakunya akan timbul rasa berdosa. Dan perasaan seperti ini barangkali yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang sebagai unsur hereditas. Sebab, dari berbagai kasus pelaku zina sebagian besar memiliki latar belakang keturunan dengan kasus serupa.
b.      Tingkat Usia
Hubungan antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa keagamaan tampaknya tak dapat dihilangkan begitu saja. Bila konversi lebih dipengaruhi oleh sugesti, maka tentunya konversi akan lebih banyak terjadi pada anak-anak, mengingat di tingkat usia tersebut mereka lebih mudah menerima sugesti. Namun, kenyataannya hingga usia baya pun masih terjadi konversi agama.
Terlepas dari ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia seseorang, namun hubungan antara tingkat usia dengan perkembangan jiwa keagamaan barangkali tak dapat diabaikan begitu saja. Berbagai penelitian psikologi agama menunjukkan adanya hubungan tersebut, meskipun tingkat usia bukan merupakan satu-satunya faktor penentu dalam perkembangan jiwa keagamaan seseorang. Yang jelas, kenyataan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan pemahanan agama pada tingkat usia yang berbeda.
c.       Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur, yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsur hereditas dengan pengaruh lingkungan inilah yang membentuk kepribadian. Adanya kedua unsur yang membentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan kepada unsur bawaan, sedangkan karakter lebih ditekankan oleh adanya pengaruh lingkungan.
Dilihat dari pandangan tipologis, kepribadian manusia tidak dapat diubah karena sudah terbentuk berdasarkan komposisi yang terdapat dalam tubuh. Sebaliknya, dilihat dari pendekatan karalterologis, kepribadian manusia dapat diubah dan tergantung dari pengaruh lingkungan masing-masing.
Dari pendekatan tipologis maupun karakterologis, maka terlihat ada unsur-unsur yang bersifat tetap dan unsur-unsur yang dapat berubah membentuk struktur kepribadian manusia.Unsur-unsur yang bersifat tetap berasal dari unsur bawaan, sedangkan yang dapat berubah adalah karakter.Namun demikian, karakter pun menurut Erich Fromm relatif bersifat permanen.
Unsur pertama (bawaan) merupakan faktor intern yang memberi ciri khas pada diri seseorang.Dan perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap perkembangan aspek-aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan.
d.      Kondisi Kejiwaan
Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai faktor intern. Ada beberapa model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model psikodinamik yang dikemukakan Sigmund Freud menunjukkan gangguan kejiwaan ditimbulkan oleh konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnyua, menurut pendekatan biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit ataupun faktor genetik atau kondisi sistem saraf diperkirakan menjadi sumber munculnya perilaku abnormal.Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada dominasi pengalaman kekinian manusia.Dengan demikian, sikap manusia ditentukan oleh stimulan (rangsangan) lingkungan yang dihadapinya saat itu.
2.      Faktor ekstern
Manusia sering disebut dengan homo religious (makhluk beragama).Pernyataan ini menggambarkan bahwa manusia memiliki potensi dasar yang dapat dikembangkan sebagai makhluk yang beragama.Jadi manusia dilengkapi potensi berupa kesiapan untuk menerima pengaruh luar sehingga dirinya dapat dibentuk menjadi makhluk yang memiliki rasa dan perilaku keagamaan. Faktor ekstern yang dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut menjadi tiga, yaitu[9]:
a.       Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan suatu social yang paling sederhana dalam kehidupan manusia.Kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi pembentukkan jiwa keagamaan anak.
Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak dalam pandangan Islam sudah lama disadari. Oleh karena itu sebagai interfensi terhadap perkembangan jiwa keagamaan tersebut, kedua orang tua diberikan beban tanggung jawab. Ada semacam rangkaian  ketentuan yang dianjurkan kepada orang tua, yaitu mengadzannkan ke telinga bayi yang baru lahir, mengakikahkan, memberi nama yang baik, mengajarkan membaca Al-Qur’an, membiasakan shalat serta bimbingan lainnya yang sejalan dengan perintah agama. Keluarga dinilai sebagai faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar bagi perkembangan jiwa keagamaan.
b.      Lingkungan Institutional
Lingkungan institutional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan dapat berupa istitusi formal seperti sekolah ataupun yang non-formal seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.Sekolah sebagai istitusi pendidikan formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian anak.Menurut Singgih D.Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi tiga kelompok, yaitu; kurikulum dan anak, hubungan guru dan murid, dan hubungan antar anak.
Dilihat dari kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan, tampaknya ketiga kelompok tersebut ikut berpengaruh.Sebab pada prinsipnya perkembangan jiwa keagamaan tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk kepribadian yang luhur.
c.       Lingkungan Msyarakat
Sepintas lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh belaka, tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya. Bahkan terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan baik dalam bentuk positif maupun negative. Misalnya lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan jiwa keagamaan anak,sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai maupun institusi keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh dalam pembentukkan jiwa keagamaan warganya.
Sebaliknya dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair atau bahkan cenderung sekuler, kondisi seperti itu jarang dijumpai.Kehidupan warganya lebih longsor, sehingga diperkirakan turut mempengaruhi kondisi kehidupan keagamaan warganya.


[1] Tati nurhayati, Perkembangan Rasa Keagamaan Pada Usia Remaja dalam Jurnal Al-Tarbiyah edisi XX, vol I Juni 2007, 60
[3] Abu Ahmadi,Psikologi Perkembangan, Jakarta:Renika Cipta, 2005. hlm 121
[4] Zakiah, Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1996. hlm. 69.
[5] Syamsu, Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak &Remaja, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.  hlm. 204-205.
[6] Zakiah, Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1996. hlm. 117-119.
[7] Abdul Aziz, Ahyadi, Psikologi Agama, Bandung: Sinar Baru Al Gesindo, 1995.  hlm. 43-48.
[8] Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. h.213.
[9] Ibid., h. 219.

Pembelajaran dalam perjalanan pendidikan guru penggerak

Pendidikan Guru Penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatih...