A.
Pengertian
Daulah
Kata Daulah berasal dari Bahasa Arab yaitu
kata dala-yadulu-daulah yang artinya bergilir, beredar, dan berputar.Sedangkan
secara istilah kata Daulah merujuk pada suatu kelompok sosial yang menetap pada
suatu wilayah tertentu dan dioganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur
kepentingan dan kemaslahatan mereka.Sehingga di sini, Daulah dapat diartikan
sebagai negara, pemerintah, kerajaan atau dinasti.[1]
Dalam Al Quran terdapat dua ayat yang menggunakan
kata ini, keduanya dengan arti bergilir dan beredar, yaitu dalam surat Ali
Imran (3) ayat 140, “…dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan
di antara manusia…” Sedangkan dalam surat Al Hasyr (59) ayat 7 juga
diterangkan, “…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang
kaya…”
Jimly Asshidqie, ahli hukum Indonesia,
berpendapat bahwa dalam ayat pertama terkadung muatan ekonimi yang berkonotasi
politik dan ayat terakhir muatannya lebih berkonotasi ekonomi. Kata daulah
sendiri yang berkonotasi politik misalnya yang berarti dinasti, belum digunakan
secara umum pada masa pra islam. Hal ini dapat dilihat karena tidak ditemukan
adanya indikasi penggunaan kata tersebut. Sedangkan istilah kesukuan (Al-Banu)
yang telah ada sebelum masa pra islam masih terus digunakan dalam islam. Ketika
masa dinasti Abbasiyah kata daulat digunakan secara umum yang diartikan dengan
kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan dan dinasti.
Al Kindi, FIlsuf Muslim pertama berketurunan
Arab (185H/801M – 256H/869M) mengartikan daulah dengan al Mulk (Kerajaan). Abu
bakar Muhammad bin Zakaria ar Razi, seorang dokter pada masa islam klasik dan
juga filsuf islam (251H/ 865M – 313H/ 925M) mengartikan daulah dengan makna
kesuksesan.
Jadi, dari beberapa pendapat tersebut diatas
bisa ditarik kesimpulan bahwa Daulah memiliki arti Pemerintahan, Kerajaan,
Dinasti yang mengatur aspek kehidupan masyarakatnya dengan menggunakan
peraturan-peraturan islam.
B.
Teori
tentang Agama dan Negara
Hubungan islam dengan Negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan
kedalam tiga pandangan diantaranya :
1.
Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik hampir sama persis dengan pandangan negara teokrasi
islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan negara merupakan suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan duia lembaga yang
menyatu. Paham ini juga memberikan penegasan bahwa negara merupakan suatu
lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.konsep ini menegaskan kembali bahwa
islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara.
Dalam pergulatan islam dan negra modern pola hubungan integratif ini kemudian
melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan
diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Darisinilah kemudian
paradigma integralistik identik dengan paham islam Ad Din Wa dawlah
(islam sebagai agama dan negara), yang bersumber hukum positifnya adalah hukum
islam (syariat islam). Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh negara Kerajaan Saudi Arabia dan penganut paham Syi’ah di Iran.
Kelompok Ali ra, ini menggunakan istilah imamah sebagaimana dimaksud dengan
istilah Dawlah yang banyak dirujuk oleh kalangan suni.
2.
Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma Simbiotik hubungan antara agama dan negara berbeda pada
posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (Simbiosis Matualita).
Dalam pandangan ini agama membutuhkan negara sebagai instrument dalam
melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu pula sebaliknya negara juga
memerlukan agama sebagai sumber moral, etika dan spiritualitas warga negaranya.
Paradigma simbiotik tampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah
tentang agama sebagai alat negara diatas. Dalam kerangka ini Ibnu Taimiyah
mengatakan bahawa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan
kewajiban agama yang poaling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama
tidak berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa
antara agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling
membutuhkan. Oleh karenanya konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tiak
saja berasal dari adanya kontrak sosial, tetapi bisa diwarnai oleh hukum agama
(syari’at). Dengan kata lain agama tidak mendominasi kehidupan negara, sebaliknya
ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model
pemerintahan negara Mesir dan indonesia dapat digolongkan kepada kelompok
pardigma ini.
3.
Paradikma Sekularistik
Paradigma sekuleristik beranggapan bahwa terjadi pemisahan yang jelas
antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan
satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus
dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah
urusan publik, sementyara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga
negara.
Berdasarkan pemahan yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku
adalah hukum yang bersal dari kesepakatan manusia melalui Cocial
Contract yang tidak terkait sama sekali dengan hukum agama (Syari’at).
Konsep sekularistik dapat ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Roziq yang
menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah SAW pun tidak ditemukan
keinginan nabi Muhammad SAW untuk mendirikan negara islam. Negara Turki Modern
dapat digolongkan kedalam paradigma ini.[2]
C.
Perbedaan
Pendapat Islam Sebagai Din dan Al Daulah
Hal penting
dari pembicaraan tentang Negara adalah hubungan Agama dengan Negara.Wacana ini
mendiskusikan bagaimana posisi agama dalam konteks Negara modern. Hubungan
agama dengan Negara dalam konteks dunia islam masih menjadi perdebatan yang
intensif dikalangan para pakar muslim hingga kini. Menurut Azyumardi,
perdebatan itu telah berlangsung sejak hamper satu abad, dan masih berlangsung
hingga dewasa ini. Menurut Azra ketegangan perdebatan tentang hubungan agama
dan Negara dalam islam di sulut oleh hubungan yang agak canggung antara islam
sebagai agama (Din), dan Negara (dawlah). Berbagai eksperimen telah dilakukan
untuk menyelaraskan antara din dengan dawlah dengan konsep dan kultur politik
masyarakat muslim. Sepertihalnya percobaan demokrasi disejumlah Negara di
dunia, penyelarasan din dan dawlah di banyak Negara-negara muslim telah
berkembang secara beragam. Perkembangan waana demokrasi dikalangan Negara-negara
muslim dewsa ini semakin menambah maraknya perdebatan islam dan Negara.
Perdebatan islam dan negara berangkat dari pandangan dominan islam sebagai
sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh, yang mengatur kehidupan maniusia
termasuk persoalan politik. Dari pandangan islam sebagai agama yang
komprehensif ini pada dasarnya dalam islam tidak terdapat konsep pemisahan
antara agama dan politik, argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi
Muhammad di Madinah. Dikota hijrah ini Nabi Muhammad berperan ganda, sebagai
pemimpin agama sekaliogus sebagai kepala negara yang memimpin sebuah sistem
pemerintahan awal islam yang oleh kebanyakan pakar dinilai sangat modern
dimasanya.
Posisi ganda Nabi Muhammad di kota Madinah disikapi beragam oleh kalangan
ahli. Secara garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah islam
identik dengan negara atau sebaliknya islam tidak meninggalkan konsep yang
tegas tenntang bentuk negara, mengingat sepeninggal Nabi Muhammad tak
seorangpun dapat menggantikan peran ganda beliau, sebagai pemimpin beliau yang
sekuler dan si penerima wahyu Allah sekaligus.
Menyikapi realitas perbedaan tersebut Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi
nabi pada saat itu adalah sebagai rosul yang bertugas sebagai menyampaikan
ajaran (Al Kitab) bukan sebagai penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah kalaupun ada
pemerintahan itu adalah hanya sebuah alat untuk menyampaikan agama dan
kekuasaan bukanlah agama itu sendiri. Dengan ungkapan lain politik atau negara
dalam islam hanyalah sebagai alat bagi agama, bukan eksistensi dari agama
islam. Pendapat Ibnu Taimiyah ini bersumber paada ayat Al qur’an (QS. 57 : 25)
yang artinya “sesungguhgnya Kami telah mengutus Rasul-rasrul Kami yang
disertaio keterangan-keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan
timbangan agar manusia berlaku adil, dan kami turunkan besi, padanya ada
kekuatan yang hebat dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengatahui
siapa yang Menolong-Nya dan (menolong) Rasul-Nya yang ghaib (daripaaanya)”.
Berdasarkan ayat ini Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa agama yang benar
wajib memiliki buku petunjuk dan “pedang” penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa
kekuasaan politik yang disimbulkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak
bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri. Sedangkan politik
tidak lain hanyalah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan luhur agama.
Mengelaborasi pandangan Ibnu Taimiyah di atas Ahmad Syafi’i Ma’arif
menjelaskan bahwa istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai dalam Al
Qur’an. Istilah dawlah memang ada dalam Al Qur’an pada surat Al Hasyr (59)
ayat7 : tetapi ia tidak bermakna negara. Istilah tersebut dipakai secara
figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan.
Pandangan sejenis juga pernah di sampaikan / dikemukakan oleh bebrapa
modernis Mesir, antara lain Ali Abdul Raziq dan Mohammad Husein Haikal. Menurut
Haikal prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh Al
Qur’an dan As Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam islam tidak sesuatu sistem pemerintahan
yang baku. Umat islam bebas menganut sistem pemerintahan apapun aasalkan sistem
tersebut menjamin persamaan antara para warga dan negaranya, baik hak maupun
kewajibannya dan persamaan dihadapan hukum, dan pelaksanaan urusan negara
diselenggarakan atas dasar musyawarah (syura) dengan berpegang dengan tata
nilai moral dan etika yang di ajarkan islam.
D.
Rekomendasi
Melihat perbedaan pendapat yang
panjang mengenai islam sebagai agama maupun islam sebagai agama dan Negara (al
daulah) yang sama-sama mempunyai argumentasi untuk memperkuat pendapat
masing-masing, kita sebagai akademisi tentunya harus menghargai semua pendapat
yang ada namun juga harus mampu menelaahnya secara obyektif berdasarkan
pengalaman dan pemahaman yang telah dimiliki oleh masing-masing akademisi.
Sebagaimana penulis yang lebih
memilih sependapat dengan Ibnu Taimiyah atas pernyataannya bahwa pemerintahan itu adalah hanya sebuah alat untuk menyampaikan agama dan
kekuasaan bukanlah agama itu sendiri kami kira cukup rasional. Hal ini tidak
terlepas dari realita yang kita temui di Negara Indonesia.
Dengan
demikian kaitannya menentukan sikap dalam beragama dan bernegara kususnya islam
di Indonesia maka kita cukup mendukung pemerintahan dengan bermoral, berakhlak
dan berpolitik sebagaimana nilai-nilai spiritual islam sehingga menjadikan
Negara Indonesia sebagai Negara yang kondusif, aman, tentram serta mendukung
terlaksananya dakwah dan pengamalan agama islam bagi pemeluknya di Indonesia.
E.
Implikasi
Hampir semua Negara terdiri atas dan didukung oleh sejumlah
kelompok masyarakat dengan sederetan ragam latar belakang. Kendati demikian
tidak diragukan bahwa kedamaian, ketentraman, kemakmuran dan keadilan merupakan
cita-cita dan kebutuhan universal bagi semua Negara, hal tersebutpun juga tidak
bertentangan dengan maqoshidu As Syar’iah
dalam agama islam.
Pemaksaan perwujudan Negara islam baru justru sangat dimungkinkan
akan menimbulakan konflik dan ancaman kedamaian yang merupakan kebutuhan setiap
manusia. Dan sebaliknya pemisahan agama islam dari urusan kenegaraan akan
menyebabkan suatu tatanan Negara yang hampa dari sikap dan nilai spiritual
islam. Hal ini akan berdampak pada berbagai kebijakan publik yang kadang jauh
dari nilai-nilai islam atau lebih parahnya kebijakan yang bertentangan atau
menyudutkan syari’at islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadim Zallum,
Dimuqrathiyah Nizham Kufr, hal. 48
Ahmad suaedy pergulatan pesantren demokrasi, Yogyakarta: LKiS
Ahmad syafi’I maarif, islam dan masalah kenegaraan studi tentang
percaturan dalam konstituante, Jakarta: LP3ES, cet ke-1 1996
Ahmad syafi’I ma’arif, “Pengantar”
dalam M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: PT.
Tiara Wacaba 1999
Dede Rosyada. Pendidikan kewargaan demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani
Jakarta: ICCE UIN syarif hidayatullah, 2000
Deliar Noer, gerakan modrn islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet.
Ke-8 1996
Imam Nawawi, Syarah Shahih
Muslim XII/229
Prof.
Dr. Komaruddin Hidayat, Demokrasi Hal Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani,
(Jakarta, Prenada Media Group : 2010 )
Yusuf al-Qaradawi,
Fiqh Daulah dalam perspektif al-Qur’an dan as-Sunah, terj; Kathur Suhardi,
(Jakarta: al-Katsar, 2000 )
[2]Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Demokrasi Hal
Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta, Prenada Media Group : 2010 )
halaman 94-97