Rabu, 31 Mei 2017

Perbedaan Pendapat Tentang Islam Sebagai Al-Diin dan Al-Daulah



A.    Pengertian Daulah
Kata Daulah berasal dari Bahasa Arab yaitu kata dala-yadulu-daulah yang artinya bergilir, beredar, dan berputar.Sedangkan secara istilah kata Daulah merujuk pada suatu kelompok sosial yang menetap pada suatu wilayah tertentu dan dioganisir oleh suatu pemerintahan yang mengatur kepentingan dan kemaslahatan mereka.Sehingga di sini, Daulah dapat diartikan sebagai negara, pemerintah, kerajaan atau dinasti.[1]
Dalam Al Quran terdapat dua ayat yang menggunakan kata ini, keduanya dengan arti bergilir dan beredar, yaitu dalam surat Ali Imran (3) ayat 140, “…dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia…” Sedangkan dalam surat Al Hasyr (59) ayat 7 juga diterangkan, “…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya…”
Jimly Asshidqie, ahli hukum Indonesia, berpendapat bahwa dalam ayat pertama terkadung muatan ekonimi yang berkonotasi politik dan ayat terakhir muatannya lebih berkonotasi ekonomi. Kata daulah sendiri yang berkonotasi politik misalnya yang berarti dinasti, belum digunakan secara umum pada masa pra islam. Hal ini dapat dilihat karena tidak ditemukan adanya indikasi penggunaan kata tersebut. Sedangkan istilah kesukuan (Al-Banu) yang telah ada sebelum masa pra islam masih terus digunakan dalam islam. Ketika masa dinasti Abbasiyah kata daulat digunakan secara umum yang diartikan dengan kemenangan, giliran untuk meneruskan kekuasaan dan dinasti.
Al Kindi, FIlsuf Muslim pertama berketurunan Arab (185H/801M – 256H/869M) mengartikan daulah dengan al Mulk (Kerajaan). Abu bakar Muhammad bin Zakaria ar Razi, seorang dokter pada masa islam klasik dan juga filsuf islam (251H/ 865M – 313H/ 925M) mengartikan daulah dengan makna kesuksesan.
Jadi, dari beberapa pendapat tersebut diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa Daulah memiliki arti Pemerintahan, Kerajaan, Dinasti yang mengatur aspek kehidupan masyarakatnya dengan menggunakan peraturan-peraturan islam.
B.     Teori tentang Agama dan Negara
Hubungan islam dengan Negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan kedalam tiga pandangan diantaranya :
1.      Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik hampir sama persis dengan pandangan negara teokrasi islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan duia lembaga yang menyatu. Paham ini juga memberikan penegasan bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.konsep ini menegaskan kembali bahwa islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau negara.
Dalam pergulatan islam dan negra modern pola hubungan integratif ini kemudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Darisinilah kemudian paradigma integralistik identik dengan paham islam Ad Din Wa dawlah (islam sebagai agama dan negara), yang bersumber hukum positifnya adalah hukum islam (syariat islam). Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh negara Kerajaan Saudi Arabia dan penganut paham Syi’ah di Iran. Kelompok Ali ra, ini menggunakan istilah imamah sebagaimana dimaksud dengan istilah Dawlah yang banyak dirujuk oleh kalangan suni.
2.      Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma Simbiotik hubungan antara agama dan negara berbeda pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (Simbiosis Matualita). Dalam pandangan ini agama membutuhkan negara sebagai instrument dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu pula sebaliknya negara juga memerlukan agama sebagai sumber moral, etika dan spiritualitas warga negaranya.
Paradigma simbiotik tampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah tentang agama sebagai alat negara diatas. Dalam kerangka ini Ibnu Taimiyah mengatakan bahawa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang poaling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak berdiri tegak.  Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara agama  dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tiak saja berasal dari adanya kontrak sosial, tetapi bisa diwarnai oleh hukum agama (syari’at). Dengan kata lain agama tidak mendominasi kehidupan negara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan negara Mesir dan indonesia dapat digolongkan kepada kelompok pardigma ini.
3.      Paradikma Sekularistik
Paradigma sekuleristik beranggapan bahwa terjadi pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah urusan publik, sementyara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga negara.
Berdasarkan pemahan yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum  yang bersal dari kesepakatan manusia melalui Cocial Contract yang tidak terkait sama sekali dengan hukum agama (Syari’at). Konsep sekularistik dapat ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Roziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah SAW pun tidak ditemukan keinginan nabi Muhammad SAW untuk mendirikan negara islam. Negara Turki Modern dapat digolongkan kedalam paradigma ini.[2]
C.     Perbedaan Pendapat Islam Sebagai Din dan Al Daulah
Hal penting dari pembicaraan tentang Negara adalah hubungan Agama dengan Negara.Wacana ini mendiskusikan bagaimana posisi agama dalam konteks Negara modern. Hubungan agama dengan Negara dalam konteks dunia islam masih menjadi perdebatan yang intensif dikalangan para pakar muslim hingga kini. Menurut Azyumardi, perdebatan itu telah berlangsung sejak hamper satu abad, dan masih berlangsung hingga dewasa ini. Menurut Azra ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan Negara dalam islam di sulut oleh hubungan yang agak canggung antara islam sebagai agama (Din), dan Negara (dawlah). Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk menyelaraskan antara din dengan dawlah dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim. Sepertihalnya percobaan demokrasi disejumlah Negara di dunia, penyelarasan din dan dawlah di banyak Negara-negara muslim telah berkembang secara beragam. Perkembangan waana demokrasi dikalangan Negara-negara muslim dewsa ini semakin menambah maraknya perdebatan islam dan Negara.
Perdebatan islam dan negara berangkat dari pandangan dominan islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh, yang mengatur kehidupan maniusia termasuk persoalan politik. Dari pandangan islam sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya dalam islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama dan politik, argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad di Madinah. Dikota hijrah ini Nabi Muhammad berperan ganda, sebagai pemimpin agama sekaliogus sebagai kepala negara yang memimpin sebuah sistem pemerintahan awal islam yang oleh kebanyakan pakar dinilai sangat modern dimasanya.
Posisi ganda Nabi Muhammad di kota Madinah disikapi beragam oleh kalangan ahli. Secara garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah islam identik dengan negara atau sebaliknya islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tenntang bentuk negara, mengingat sepeninggal Nabi Muhammad tak seorangpun dapat menggantikan peran ganda beliau, sebagai pemimpin beliau yang sekuler dan si penerima wahyu Allah sekaligus.
Menyikapi realitas perbedaan tersebut Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi nabi pada saat itu adalah sebagai rosul yang bertugas sebagai menyampaikan ajaran (Al Kitab) bukan sebagai penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah kalaupun ada pemerintahan itu adalah hanya sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri. Dengan ungkapan lain politik atau negara dalam islam hanyalah sebagai alat bagi agama, bukan eksistensi dari agama islam. Pendapat Ibnu Taimiyah ini bersumber paada ayat Al qur’an (QS. 57 : 25) yang artinya “sesungguhgnya Kami telah mengutus Rasul-rasrul Kami yang disertaio keterangan-keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan timbangan agar manusia berlaku adil, dan kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang hebat dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengatahui siapa yang Menolong-Nya dan (menolong) Rasul-Nya yang ghaib (daripaaanya)”.
Berdasarkan ayat ini Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk dan “pedang” penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan politik yang disimbulkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri. Sedangkan politik tidak lain hanyalah sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan luhur agama.
Mengelaborasi pandangan Ibnu Taimiyah di atas Ahmad Syafi’i Ma’arif menjelaskan bahwa istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai dalam Al Qur’an. Istilah dawlah memang ada dalam Al Qur’an pada surat Al Hasyr (59) ayat7 : tetapi ia tidak bermakna negara. Istilah tersebut dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan.
Pandangan sejenis juga pernah di sampaikan / dikemukakan oleh bebrapa modernis Mesir, antara lain Ali Abdul Raziq dan Mohammad Husein Haikal. Menurut Haikal prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh Al Qur’an dan As Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam islam tidak sesuatu sistem pemerintahan yang baku. Umat islam bebas menganut sistem pemerintahan apapun aasalkan sistem tersebut menjamin persamaan antara para warga dan negaranya, baik hak maupun kewajibannya dan persamaan dihadapan hukum, dan pelaksanaan urusan negara diselenggarakan atas dasar musyawarah (syura) dengan berpegang dengan tata nilai moral dan etika yang di ajarkan islam.
D.    Rekomendasi
Melihat perbedaan pendapat yang panjang mengenai islam sebagai agama maupun islam sebagai agama dan Negara (al daulah) yang sama-sama mempunyai argumentasi untuk memperkuat pendapat masing-masing, kita sebagai akademisi tentunya harus menghargai semua pendapat yang ada namun juga harus mampu menelaahnya secara obyektif berdasarkan pengalaman dan pemahaman yang telah dimiliki oleh masing-masing akademisi.
Sebagaimana penulis yang lebih memilih sependapat dengan Ibnu Taimiyah atas pernyataannya bahwa pemerintahan itu adalah hanya sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah agama itu sendiri kami kira cukup rasional. Hal ini tidak terlepas dari realita yang kita temui di Negara Indonesia.
Dengan demikian kaitannya menentukan sikap dalam beragama dan bernegara kususnya islam di Indonesia maka kita cukup mendukung pemerintahan dengan bermoral, berakhlak dan berpolitik sebagaimana nilai-nilai spiritual islam sehingga menjadikan Negara Indonesia sebagai Negara yang kondusif, aman, tentram serta mendukung terlaksananya dakwah dan pengamalan agama islam bagi pemeluknya di Indonesia.
E.     Implikasi
Hampir semua Negara terdiri atas dan didukung oleh sejumlah kelompok masyarakat dengan sederetan ragam latar belakang. Kendati demikian tidak diragukan bahwa kedamaian, ketentraman, kemakmuran dan keadilan merupakan cita-cita dan kebutuhan universal bagi semua Negara, hal tersebutpun juga tidak bertentangan dengan maqoshidu As Syar’iah dalam agama islam.
Pemaksaan perwujudan Negara islam baru justru sangat dimungkinkan akan menimbulakan konflik dan ancaman kedamaian yang merupakan kebutuhan setiap manusia. Dan sebaliknya pemisahan agama islam dari urusan kenegaraan akan menyebabkan suatu tatanan Negara yang hampa dari sikap dan nilai spiritual islam. Hal ini akan berdampak pada berbagai kebijakan publik yang kadang jauh dari nilai-nilai islam atau lebih parahnya kebijakan yang bertentangan atau menyudutkan syari’at islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Qadim Zallum, Dimuqrathiyah Nizham Kufr, hal. 48
Ahmad suaedy pergulatan pesantren demokrasi, Yogyakarta: LKiS
Ahmad syafi’I maarif, islam dan masalah kenegaraan studi tentang percaturan dalam konstituante, Jakarta: LP3ES, cet ke-1 1996
Ahmad syafi’I ma’arif, “Pengantar” dalam M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: PT. Tiara Wacaba 1999
Dede Rosyada. Pendidikan kewargaan demokrasi, hak asasi manusia dan masyarakat madani Jakarta: ICCE UIN syarif hidayatullah, 2000
Deliar Noer, gerakan modrn islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, Cet. Ke-8 1996
Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim XII/229
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Demokrasi Hal Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta, Prenada Media Group : 2010 )
Yusuf al-Qaradawi, Fiqh Daulah dalam perspektif al-Qur’an dan as-Sunah, terj; Kathur Suhardi, (Jakarta: al-Katsar, 2000 )


[2]Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, Demokrasi Hal Asasi Manusia Dan Masyarakat Madani, (Jakarta, Prenada Media Group : 2010 ) halaman 94-97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembelajaran dalam perjalanan pendidikan guru penggerak

Pendidikan Guru Penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatih...