BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Sebagai aspek penting kehidupan, agama memang menjadi pegangan
hidup manusia. Segala persoalan hidup akan dikembalikan kepadanya karena ia merupakan pedoman dan
penuntun arah hidup. Semua usia berkecimpung kepadanya sejak ia kanak-kanak,
remaja, dewasa, hingga tua. Dan dalam setiap proses kehidupan, keagamaan itupun
berrkembang sesuai dengan perkembangan individu baik fisik maupun psikisnya.
oleh karena itu sangat di perlukan pengetahuan bagaimana perkembangan psikis
dan keberagamaan para manusia mulai dari anak-anak sampai dewasa.
Salah satu periode dalam rentang kehidupan individu adalah masa
(fase) remaja. Masa ini merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus
perkembangan individu, dan merupakan masa transisi yang dapat diarahkan kepada
perkembangan masa dewasa yang sehat.
Agama dan
Remaja merupakan suatu permasalahan yang menarik untuk dikaji, hal itu dikarenakan kehidupan
remaja dan kehidupan keagamaan merupakan dua istilah yang tampak berlawanan,
kehidupan keagamaan sering ditafsirkan dengan kehidupan yang penuh dengan
ketenangan, kedamaian dan kemapanan. Sedangkan kehidupan remaja cenderung akan
kehidupan yang penuh dengan gejolak, kegoncangan, dan pemberontakan.
Sehingga dalam
hal ini pemakalah mencoba untuk menbahas tentang perkembangan agama pada masa
remaja dan faktor yang mempengaruhinya
B. Rumusan Masalah
Rumusan maslah yang kita angkat dalam makalah ini
adalah:
1. Apa pengertian remaja?
2.
Bagaimana perkembangan psikologi remaja?
3.
Bagaimana perkembangan agama pada masa remaja?
4.
Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan agama pada remaja?
C.
Tujuan Penulisan
Berangkat dari rumusan masalah diatas, maka tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk :
1. Mengetahui pengertian remaja,
2. Memahami perkembangan psikologi remaja
3. Mengetahui bagaimana perkembangan agama pada masa remaja,
4. Memahami faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan
agama pada remaja.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Remaja
Istilah remaja berasal
dari kata latin adolescere (kata bendanya adoloscentia yang
berarti remaja) yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa yang mencakup
kematangan mental, emosional, sosial dan fisik.
Kata tersebut
mengandung aneka kesan, ada yang berkata bahwa remaja merupakan kelompok yang
potensinya dapat dimanfaatkan dan kelompok yang bertanggung jawab terhadap
bangsa dalam masa depan. Masa remaja merupakan masa perkembangan menuju
kematangan jasmani, seksualitas, pikiran dan emosional.
Kehidupan remaja itu
sendiri merupakan salah satu fase perkembangan dari diri manusia. Fase ini
adalah masa transisi dari masa kanak-kanak dalam menggapai kedewasaan. Disebut
masa transisi karena terjadi saling pengaruh antara aspek jiwa dengan aspek
yang lain, yang kesumuanya akan mempengaruhi keadaan kehidupan remaja.[1]
Neidahart menyatakan bahwa masa remaja
merupakan masa peralihan dan ketergantungan pada masa anak-anak kemasa dewasa,
dan pada masa ini remaja dituntut untuk mandiri. Pendapat ini hampir sama dengan
yang dikemukakan oleh Ottorank bahwa masa remaja merupakan masa perubahan yang drastis dari keadaan
tergantung menjadi keadaan mandiri, bahkan Daradjat mengatakan masa remaja
adalah masa dimana munculnya berbagai kebutuhan dan emosi serta tumbuhnya
kekuatan dan kemampuan fisik yang lebih jelas dan daya fikir yang matang.[2]
B.
Perkembangan Psikologi Remaja
Perkembangan psikologi
remaja dikelompokkan menjadi tiga masa.[3]
1.
Masa
Pra Pubertas (Usia 12-14 Tahun)
Masa ini adalah masa peralihan dari masa sekolah dasar menuju masa pubertas, di mana seorang anak yang telah besar ini
sudah ingin berlaku seperti orang dewasa tetapi dirinya belum siap. Pra
pubertas adalah saat terjadinya perkembangan fisiologis yang berhubungan dengan
kematangan kelenjar endokrin, sehingga anak merasakan adanya
rangsangan-rangsangan tertentu yang
membuat anak merasa tidak tenang karena merasakan suatu rasa yang belum pernah
dialami sebelumnya. Hal itu dapat terlihat dengan perubahan tingkah lakunya.
2.
Masa
Pubertas (Usia 14-18 Tahun)
Pada masa ini seorang anak tidak lagi hanya bersifat reakti, tetapi
juga mulai aktif mencapai kegiatan dalam rangka menemukan dirinya, serta
mencari pedoman hidupuntuk bekal kehidupannya mendatang. Kegiatan tersebut
dilakukannya penuh semangat menyala-nyala tetapi ia sendiri belum memahami akan
hakikat dari sesuatu yang dicarinya itu. Sehingga Ch. Buhler pernah
menggambarkan dengan ungkapanya “ saya
mengingikan sesutatu tetapi tidak mengetahui akan sesutatu itu”. Sehingga masa
ini ada yang menyebut masa strumund drang atau masa badai atau dorongan.
Mengenai tanda-tandanya yaitu mereka mulai bersikap untuk mencoba memutuskan
sendiri dan ikut berbicara dalam suatu permasalahan karena mereka merasa ingin
dilihat inilah saya.
3. Masa Adoleson (Usia 18-21 Tahun)
Pada masa ini seorang sudah dapat mengetahui kondisi dirinya, ia
sudah mulai membuat rencana kehidupan serta sudah mulai memilih dan menentukan
jalan hidupnya. Masa ini sebenarnya memiliki sifat-sifat seperti sikap positif
dalam menentukan system tata nilai dan menunjukan ketenangan dan keseimbangan
di dalam kehidupanya.
C. Perkembangan Agama Pada Masa Remaja
Segala persoalan dan problema yang terjadi pada remaja-remaja itu,
sebenarnya bersangkut-paut dan barkait-kait dengan usia yang mereka lalui, dan
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan di mana mereka hidup. Dalam hal
itu, suatu faktor penting yang memegang peranan yang menentukan dalam kehidupan
remaja adalah agama. Tapi sayang sekali, dunia modern kurang menyadari betapa
penting dan hebatnya pengaruh agama dalam kehidupan manusia, terutama pada
orang-orang yang sedang mengalami kegoncangan jiwa, dimana umur remaja terkenal
dengan umur goncang, karena pertumbuhan yang dilaluinya dari segala bidang dan
segi kehidupan.[4]
1. Masa Remaja Awal (13-16)
Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, sehingga
memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan,
kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula
mengalami kegoncangan. Kepercayaan kepada tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan
tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara ibadanya yang
kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas. penghayatan rohani cenderung
skeptis sehingga muncul keengganan dan kemalasan untuk melakukan berbagai kegiatan
ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
Kegoncangan dalam keagamaan ini mungkin muncul, karena disebabkan
oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan
matangnya organ seks, yang mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan tersebut,
namun di sisi lain ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang oleh agama. Kondisi
ini menimbulkan konflik pada diri remaja. Faktor internal lainnya adalah
bersifat psikologis, yaitu sikap independen, keinginan untuk bebas, tidak mau terikat
oleh norma-norma keluarga (orangtua). Apabila orangtua atau guru-guru kurang
memahami dan mendekatinya secara baik, bahkan dengan sikap keras , maka sikap
itu akan muncul dalam bentuk tingkah laku negatif, seperti membandel, oposisi,
menentang atau menyendiri, dan acuh tak acuh.[5]
2. Masa Remaja Akhir (17-21)
Masa remaja terakhir dapat dikatakan bahwa anak pada waktu itu dari
segi jasmani dan kecerdasan telah mendekati kesempurnaan. Yang berarti bahwa
tubuh dengan seluruh anggotanya telah dapat berfungsi dengan baik, kecerdasan
telah dianggap selesai pertumbuhannya, tinggal pengembangan dan penggunaannya
saja yang perlu diperhatikan.
Akibat pertumbuhan dan perkembangan jasmani, serta kecerdasan yang
telah mendekati sempurna, atau dalam istilah agama dapat dikatakan telah
mencapai tingkat baligh-berakal, maka remaja itu merasa bahwa dirinya telah
dewasa dan dapat berpikir logis. Di samping itu pengetahuan remaja juga telah
berkembang pula, berbagai ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh bermacam-macam
guru sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing telah memenuhi otak
remaja. Remaja saat itu sedang berusaha untuk mencapai peningkatan dan
kesempurnaan pribadinya, maka mereka juga ingin mengembangkan agama, mengikuti
perkembangan dan alur jiwanya ynag sedang bertumbuh pesat itu.
Kendatipun kecerdasan remaja telah sampai kepada menuntut agar
ajaran agama yang dia terima itu masuk akal, dapat difahami dan dijelaskan
secara ilmiah dan orisinil, namun perasaan masih memegang peranan penting dalam
sikap dan tindak agama remaja.
Diantara sebab kegoncangan perasaan, yang sering terjadi pada masa
remaja terakhir itu adalah pertentangan dan ketidakserasian yang terdapat dalam
keluarga, sekolah dan masyarakat. Disamping itu, yang juga menggelisahkan
remaja adalah tampaknya perbedaan antara nilai-nilai akhlak yang diajarkan oleh
agama dengan kelakuan orang dalam masyarakat. Terutama yang sangat
menggelisahkan remaja, apabila pertentangan itu terlihat pada orangtua,
guru-gurunya di sekolah, pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh agama. Banyak lagi
faktor yang menggoncangkan jiwa remaja, seyogyanya guru agama dapat
memahaminya, agar dapat menyelami jiwa remaja itu, lalu membawa mereka kepada
ajaran agama, sehingga ajaran agama yang mereka dapat itu, betul-betul dapat
meredakan kegoncangan jiwa meraka.[6]
Ciri-ciri
Kesadaran beragama Yang Menonjol Pada Masa Remaja antara lain[7]:
1.
Pengalaman
ketuhanannya semakin bersifat individual
Remaja semakin mengenal dirinya. Ia menemukan dirinya bukan hanya
sekedar badan jasmaniah, tetapi merupakan suatu kehidupan psikologis rohaniah
berupa pribadi. Remaja bersifat kritis terhadap dirinya sendiri dan segala
sesuatu yang menjadi milik pribadinya. Ia menemukan pribadinya terpisah dari
pribadi-pribadi lain dan terpisah pula dari alam sekitarnya.
Penemuan diri pribadinya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri
menimbulkan rasa kesepian dan rasa terpisah dari pribadi lainnya. Secara formal
dapat menambah kedalaman alam perasaan, akan tetapi sekaligus menjadi bertambah
labil. Keadaan labil yang menekan menyebabkan si remaja mencari ketentraman dan
pegangan hidup. Penghayatan kesepian, perasaan tidak berdaya menjadikan si
remaja berpaling kepada Tuhan sebagai satu-satunya pegangan hidup, pelindung
dan penunjuk jalan dalam goncangan psikologis yang dialaminya.
2.
Keimanannya
semakin menuju realitas yang sebenarnya
Terarahnya perhatian ke dunia dalam menimbulkan kecendrungan yang
besar untuk merenungkan, mengkritik, dan menilai diri sendiri. Intropeksi diri
ini dapat menimbulkan kesibukan untuk bertanya-tanya pada orang lain tentang
dirinya mengenai keimanan dan kehidupan agamanya.
Dengan berkembangnya
kemampuan berpikir secara abstrak, si remaja mampu pula menerima dan memahami
ajaran agama yang berhubungan dengan masalah ghaib, abstrak dan rohaniah,
seperti kehidupan alam kubur, hari kebangkitan dan lain-lain. Penggambaran
anthropormofik atau memanusiakan Tuhan dan sifat-sifatNya lambat laun diganti
dengan pemikiran yang lebih sesuai dengan realitas.
3.
Peribadatan
mulai disertai penghayatan yang tulus
Agama adalah pengalaman dan penghayatan dunia dalam seseorang
tentang ketuhanan disertai keimanan dan peribadatan.
Pada masa remaja dimulai pembentukan dan perkembnagan suatu sistem
moral pribadi sejalan dengan pertumbuhan pengalaman keagamaan yang individual.
Melalui kesadaran beragama dan pengalaman keTuhanan akhirnya remaja akan
menemukan Tuhannya yang berarti menemukan kepribadiannya. Ia pun akan menemukan
prinsip dan norma pegangan hidup, hati nurani, serta makna dan tujuan hidupnya.
Kesadaran beragamanya menjadi otonom subjektif dan mandiri sehingga sikap dan
tingkah lakunya merupakan pencerminan keadaan dunia dalamnya, penampilan keimanan
dan kepribadian yang mantap.
D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Agama Pada Remaja
Rasa beragama tidak luput dari berbagai faktor yang yang bersumber dari dalam diri
seseorang (intern) maupun faktor yang bersumber dari luar (ekstern).
1.
Faktor intern
Faktor-faktor intern yang berpengaruh terhadap perkembangan jiwa
keagamaan antara lain adalah faktor hereditas, tingkat usia, kepribadian dan kondisi
kejiwaan seseorang.[8]
a. Faktor Hereditas
Jiwa keagamaan memang bukan secara langsung sebagai faktor bawaan yang
diwariskan secara turun-temurun, melainkan terbentuk dari unsur kejiwaan
lainnya yang mencakup kognitif, afektif dan konatif. Tetapi
dalam penelitian terhadap janin terungkap bahwa makanan dan perasaan ibu
berpengaruh terhadap kondisi janin yang dikandungnya. Rasul saw. Menyatakan bahwa daging dari makanan yang haram, maka
nerakalah yang lebih berhak atasnya. Pernyataan
ini setidaknya menunjukkan bahwa ada hubungan antara status hukum makanan
(halal dan haram) dengan sikap.
Selain itu Rasul SAW. Juga menganjurkan untuk memilih pasangan
hidup yang baik dalam membina rumah tangga, sebab menurut beliau keturunan
berpengaruh. Benih yang berasal dari keturunan tercela dapat mempengaruhi
sifat-sifat keturunan berikutnya.
Perbuatan yang buruk dan tercela jika dilakukan, menurut Sigmund
Freud akan menimbulkan rasa bersalah (sense of guilt) dalam diri pelakunya.
Bila pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan agama, maka pada diri
pelakunya akan timbul rasa berdosa. Dan perasaan seperti ini barangkali yang ikut
mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang sebagai unsur hereditas. Sebab,
dari berbagai kasus pelaku zina sebagian besar memiliki latar belakang
keturunan dengan kasus serupa.
b.
Tingkat
Usia
Hubungan antara perkembangan usia dengan perkembangan jiwa
keagamaan tampaknya tak dapat dihilangkan begitu saja. Bila konversi lebih
dipengaruhi oleh sugesti, maka tentunya konversi akan lebih banyak terjadi pada
anak-anak, mengingat di tingkat usia tersebut mereka lebih mudah menerima
sugesti. Namun, kenyataannya hingga
usia baya pun masih terjadi konversi agama.
Terlepas dari ada tidaknya hubungan konversi dengan tingkat usia
seseorang, namun hubungan antara tingkat usia dengan perkembangan jiwa
keagamaan barangkali tak dapat diabaikan begitu saja. Berbagai penelitian
psikologi agama menunjukkan adanya hubungan tersebut, meskipun tingkat usia
bukan merupakan satu-satunya faktor penentu dalam perkembangan jiwa keagamaan
seseorang. Yang jelas, kenyataan ini dapat dilihat dari adanya perbedaan
pemahanan agama pada tingkat usia yang berbeda.
c.
Kepribadian
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsur,
yaitu unsur hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan
antara unsur hereditas dengan pengaruh lingkungan inilah yang membentuk
kepribadian. Adanya kedua
unsur yang membentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep tipologi dan
karakter. Tipologi lebih
ditekankan kepada unsur bawaan, sedangkan karakter lebih ditekankan oleh adanya
pengaruh lingkungan.
Dilihat dari pandangan tipologis, kepribadian manusia tidak dapat
diubah karena sudah terbentuk berdasarkan komposisi yang terdapat dalam tubuh.
Sebaliknya, dilihat dari pendekatan karalterologis, kepribadian manusia dapat
diubah dan tergantung dari pengaruh lingkungan masing-masing.
Dari pendekatan tipologis maupun karakterologis, maka terlihat ada
unsur-unsur yang bersifat tetap dan unsur-unsur yang dapat berubah membentuk
struktur kepribadian manusia.Unsur-unsur yang bersifat tetap berasal dari unsur
bawaan, sedangkan yang dapat berubah adalah karakter.Namun demikian, karakter
pun menurut Erich Fromm relatif bersifat permanen.
Unsur pertama (bawaan) merupakan faktor intern yang memberi ciri
khas pada diri seseorang.Dan perbedaan ini diperkirakan berpengaruh terhadap
perkembangan aspek-aspek kejiwaan termasuk jiwa keagamaan.
d.
Kondisi
Kejiwaan
Kondisi kejiwaan ini terkait dengan kepribadian sebagai faktor
intern. Ada beberapa
model pendekatan yang mengungkapkan hubungan ini. Model
psikodinamik yang dikemukakan Sigmund Freud menunjukkan gangguan kejiwaan ditimbulkan
oleh konflik yang tertekan di alam ketidaksadaran manusia. Konflik akan menjadi
sumber gejala kejiwaan yang abnormal. Selanjutnyua, menurut pendekatan
biomedis, fungsi tubuh yang dominan mempengaruhi kondisi jiwa seseorang. Penyakit
ataupun faktor genetik atau kondisi sistem saraf diperkirakan menjadi sumber
munculnya perilaku abnormal.Kemudian pendekatan eksistensial menekankan pada
dominasi pengalaman kekinian manusia.Dengan demikian, sikap manusia ditentukan
oleh stimulan (rangsangan) lingkungan yang dihadapinya saat itu.
2. Faktor ekstern
Manusia sering disebut dengan homo religious (makhluk
beragama).Pernyataan ini menggambarkan bahwa manusia memiliki potensi dasar
yang dapat dikembangkan sebagai makhluk yang beragama.Jadi manusia dilengkapi potensi
berupa kesiapan untuk menerima pengaruh luar sehingga dirinya dapat dibentuk
menjadi makhluk yang memiliki rasa dan perilaku keagamaan. Faktor ekstern yang
dinilai berpengaruh dalam perkembangan jiwa keagamaan dapat dilihat dari
lingkungan dimana seseorang itu hidup. Umumnya lingkungan tersebut menjadi
tiga, yaitu[9]:
a.
Lingkungan
Keluarga
Keluarga merupakan suatu social yang paling sederhana dalam
kehidupan manusia.Kehidupan keluarga menjadi fase sosialisasi awal bagi
pembentukkan jiwa keagamaan anak.
Pengaruh kedua orang tua terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak
dalam pandangan Islam sudah lama disadari. Oleh
karena itu sebagai interfensi terhadap perkembangan jiwa keagamaan tersebut,
kedua orang tua diberikan beban tanggung jawab. Ada semacam rangkaian ketentuan yang dianjurkan kepada orang tua,
yaitu mengadzannkan ke telinga bayi yang baru lahir, mengakikahkan, memberi
nama yang baik, mengajarkan membaca Al-Qur’an, membiasakan shalat serta
bimbingan lainnya yang sejalan dengan perintah agama. Keluarga dinilai sebagai
faktor yang paling dominan dalam meletakkan dasar bagi perkembangan jiwa
keagamaan.
b.
Lingkungan
Institutional
Lingkungan institutional yang ikut mempengaruhi perkembangan jiwa
keagamaan dapat berupa istitusi formal seperti sekolah ataupun yang non-formal
seperti berbagai perkumpulan dan organisasi.Sekolah sebagai istitusi pendidikan
formal ikut memberi pengaruh dalam membantu perkembangan kepribadian
anak.Menurut Singgih D.Gunarsa pengaruh itu dapat dibagi tiga kelompok, yaitu;
kurikulum dan anak, hubungan guru dan murid, dan hubungan antar anak.
Dilihat dari kaitannya dengan perkembangan jiwa keagamaan,
tampaknya ketiga kelompok tersebut ikut berpengaruh.Sebab pada prinsipnya
perkembangan jiwa keagamaan tidak dapat dilepaskan dari upaya untuk membentuk
kepribadian yang luhur.
c.
Lingkungan
Msyarakat
Sepintas lingkungan masyarakat bukan merupakan lingkungan yang
mengandung unsur tanggung jawab, melainkan hanya merupakan unsur pengaruh
belaka, tetapi norma dan tata nilai yang ada terkadang lebih mengikat sifatnya.
Bahkan terkadang pengaruhnya lebih besar dalam perkembangan jiwa keagamaan baik
dalam bentuk positif maupun negative. Misalnya lingkungan masyarakat yang
memiliki tradisi keagamaan yang kuat akan berpengaruh positif bagi perkembangan
jiwa keagamaan anak,sebab kehidupan keagamaan terkondisi dalam tatanan nilai
maupun institusi keagamaan. Keadaan seperti ini bagaimanapun akan berpengaruh
dalam pembentukkan jiwa keagamaan warganya.
Sebaliknya dalam lingkungan masyarakat yang lebih cair atau bahkan
cenderung sekuler, kondisi seperti itu jarang dijumpai.Kehidupan warganya lebih
longsor, sehingga diperkirakan turut mempengaruhi kondisi kehidupan keagamaan
warganya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kehidupan remaja merupakan salah satu fase perkembangan dari diri manusia.
Fase ini adalah masa transisi dari masa kanak-kanak dalam menggapai kedewasaan.
Disebut masa transisi karena terjadi saling pengaruh antara aspek jiwa dengan
aspek yang lain, yang kesumuanya akan mempengaruhi keadaan kehidupan remaja
Perkembangan psikologi remaja dikelompokkan menjadi tiga masa yaitu; Masa Pra Pubertas (Usia 12-14 Tahun), Masa
Pubertas (Usia 14-18 Tahun), Masa Adoleson
(Usia 18-21 Tahun)
Rasa beragama remaja dipengruhi oleh faktor intern antaralain; hereditas, tingkat
usia, kepribadian dan kondisi kejiwaan, dan dipengaruhi juga oleh faktor ekstern antara
lain; lingkingan keluarga, lingkungan institutional dan lingkungan masyarakat.
B. Saran
Demikian telah diselesaikannya makalah ini, kami sebagai penyusun
mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menjadikan kami lebih baik
lagi dalam menyusun karya-karya yang akan datang maupun perbaikan karya yang
telah kami tulis, sehingga karya kami semakin bermanfaat.
Kami berharap semoga makalah yang sangat sederhana ini memberikan
kontribusi dalam kazanah ilmu pengetahuan dan memberikan kemanfaatan bagi
pembacanya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Ahmadi. 2005. Psikologi
Perkembangan. Renika Cipta. Jakarta.
Ahyadi Abdul Aziz. 1995. Psikologi Agama.
Sinar Baru Al Gesindo. Bandung.
Jalaluddin. 1997. Psikologi Agama. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
Syamsu Yusuf LN. 2011. Psikologi Perkembangan Anak &Remaja.
Remaja Rosdakarya. Bandung..
Tati nurhayati. 2007. Perkembangan Rasa Keagamaan Pada Usia Remaja
dalam Jurnal Al-Tarbiyah edisi XX, vol I Juni 2007
Zakiah Daradjat. 1996. Ilmu Jiwa Agama. Bulan Bintang. Jakarta.