Jumat, 23 Desember 2016

Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam sebagai agama yang mengatur segala sendi kehidupan umatnya diturunkan dengan membawa aturan-aturan hukum yang dapat dipedomi guna kemaslahatan hidup. Sumber hukum utama dalam Islam adalah Al Quran dan Sunah Nabi, meski dalam penerapannya masih memerlukan proses penggalian yang mendalam sehingga diperoleh suatu keputusan hukum yang baku. Proses penggalian hukum inilah yang dikenal dengan ijtihad. Dengan ijtihad ini maka lahirlah sumber hukum yang lain yakni ijma’ dan qiyas.
Dalam ijtihad seorang mujtahid akan mengerahkan segala kemampuannya dalam memahami dan menggali suatu kaidah hukum sehingga ia mendapatkan pedoman dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan suatu permasalahan. Tidak semua orang dapat berijtihad, sebab seorang mujtahid mesti memenuhi kriteria-kriteria tertentu guna memahami teks-teks ayat ataupun hadis yang menjadi rujukannya.(baca:Macam dan Syarat Ijtihad)
Ijtihad sangatlah penting guna menjaga tetap lestari dan berlakunya hukum Islam. Hal ini dapat dimengerti sebab suatu hukum harus mampu menyesuaikan waktu dan tempat dimana kehidupan berlangsung, juga harus mampu memberikan solusi tepat bagi problematika kehiupan umat.
Kaitannya dengan ijtihad sebagian ulama menyatakan bahwa ijtihad dapat dilakukan di setiap saat dan tempat, meski sebagian yang lain berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Hal ini terlihat sangat kontradiktif dan dapat membingungkan bagi umat sekaligus memberikan celah bagi mandegnya proses istinbath hukum.
Guna memperoleh pemahaman yang benar dan akurat mengenai seluk-beluk ijtihad dan tentang tertutup dan terbukanya pintu ijtihad ini,maka penyusun makalah mencoba menggali dan mengkaji lebih lanjut mengenai hal tersebut dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka dalam makalah ini penyusun akan membahas tentang :
1.      Apa Pengertian Ijtihad ?
2.      Apa saja Macam-macam Ijtihad ?
3.      Bagaimana tertutup dan terbukanya pintu ijtihad ?

C.    Tujuan Penulisan
            Setelah mempelajari makalah ini penulis berharap para pembaca dapat mengetahui  tentang :
1.      Pengertian Ijtihad
2.      Macam-macam Ijtihad
3.      Tertutup dan terbukanya pintu ijtihad




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijtihad
Secara etimologi, ijtihad berasal dari kata al jahd atau al juhd, yang berarti al masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan at thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam bentuk masdhar kata ijtihad mempunyai arti “usaha itu lebih sungguh-sungguh.[1]  Ada juga yang menyatakan bahwa ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata ijtihad mengikuti wazan ifti’al yang berarti “bersangatan dalam pekerjaan”.[2]
Adapun terminologi dari ijtihad; menurut Ulama Ushuliyin mendefinisikan ijtihad sebagai usaha mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan intelektual dalam mengistinbathkan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[3] Adapun Abd al Wahab al Khalaf menyatakan ijtihad adalah mencurahkan kesanggupan yang prima untuk menghasilkan hukum syar’i yang amali dan berpedoman dari dalil yang terperinci (tafshili).
Dari beberapa definisi di atas dapt kita simpulkan bahwa ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh  pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’.
B.     Macam-macam Ijtihad
Sebenarnya ada banyak pendapat para pakar fikih tentang macam dan jenis ijtihad yang setiap mereka  membagikannya berdasarkan kreterianya masing-masing sehingga ini menjadi indikator kalau tema ijtihad itu sendiri begitu dinamis. Namun dalam kesempatan ini kami cukupkan dengan apa yang dipaparkan oleh alfaqih Syaikh al-Azhar yaitu  Dr. Yusuf Al-Qordhawi. Menurut Beliau Ijtihad yang kita perlukan untuk masa saat ini ada dua macam :
1.      Ijtihad Tarjihi Intiqa’i (selektif)
Yang dimaksud dengan ijtihad intiqai ialah memilih satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fikih islam yang telah penuh dengan fatwa dan keputusan hukum. Sikap Ini bukan berarati mengambil atau mempedomani salah satu mazhab fikih yang menurut kebiasan kita paling cocok  untuk kemudian diterapkan sebagai way of life nya tanpa mau mengkaji secara seksama dasar-dasar pemikiran orang yang diikutinya (taklid a’ma). Akan tetapi pilihan ini meniscayakan kita untuk berpikir dan meneliti secara mendalam dan lebih jauh terhadap varian hasil ijtihad dan pemahaman ulama terdahulu itu yang sudah sangat jelas perbedaan diantara mereka lalu kita bandingkan (komparasikan) antara mazhab yang satu dengan lainnya dengan flash back (melihat kembali)  apa-apa dalil yang kiranya mendasari dan menguatkan masing –masing mereka dengan keputusannya itu. Setelah itu  hasil dari telaah tersebut kita melihat titik keunggulan dan kelemahan masing-masing kemudian kita tarik benang merahnya dengan menggunakan kaedah tarjih yaitu bahwa pendapat yang mempunyai relevansi dengan realitas kehidupan zaman sekarang, mencerminkan kelemah lembutan dan humanisme. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih mendekati dan prioritas untuk ditetapkan sebagai sebuah hukum islam kontemporer.[4]
Contoh untuk kasus ini adalah kasus pembunuhan yang dilakukan secara terpaksa yang mendapat tekanan (pressure) dan paksaan (ikrah) dari pihak ketiga atau orang lain. Maka kepada siapakah hukuman qishash dijatuhkan? Ada pendapat yang mengatakan qishash itu dijatuhkan kepada orang yang langsung melakukan pembunuhan yaitu orang dipaksa tadi karena dia pihak yang melakukan pembunuhan secara langsung.
Ada juga yang berpendapat qishash dijatuhkan kepada orang yang memaksa (merencanakan dan menyuruh) untuk melakukan pembunuhan sebab si pembunuh pada dasarnya hanyalah sekedar dijadikan alat orang yang memaksa. Ada juga pendapat lain yaitu qishash dijatuhkan terhadap keduanya, sipemaksa dan si pembunuh karena pihak pertama  yang langsung melakukan tindak pembunuhan sedangkan pihak kedua karena pada hakekatnya dialah yang biang dibalik pembunuhan itu. Bahkan ada yang berpendapat bahwa baik pihak pertama maupun pihak kedua sama-sama tidak dikenakan sanksi kapital panismen tersebut (qishash) karena pidana masing-masing dari keduanya belum memenuhi persyaratan. 
2.      Ijtihad Ibda’i  Insya’i (kreatif)
Maksudnya adalah usaha pengambilan sebuah kesimpulan hukum baru dari persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu baik itu permasalahan lama ataupun mengenai permasalahan kekinian atau dalam ungkapan lain ijtihad insyai adalah meliputi sebagian persoalan klasik yaitu dengan cara seorang mujtahid kontemporer untuk memiliki pandangan baru yang berbeda dan belum pernah diketengahkan oleh para ulama salaf. Dan tentu saja hal ini terkait dengan keaslahan dan reliabilitas yang dapat dipertanggung jawabkan dalam melihat fakta dan konteks kehidupan saat ini. Karenanya sangat memungkinkan bila sesuatu yang telah diijtihadkan oleh dua orang dengan dua pendapat yang berbeda pula untuk melahirkan pendapat-pendapat yang lain dan seterusnya sejauh yang menjadi barometernya adalah kelayakan dan kepatutan menurut realitas yang ada dan lebih maslahat dan dengan begitu pintu ijtihad itu selalu terbuka lebar selama kehidupan umat manusia itu ada dan eksis di muka bumi tanpa ada satu kekuatanpun yang dapat mematikannya karena kesempurnaan itu tidak pernah berhenti. 
Dalam hal ini dijadikan contoh pada umumnya adalah masalah-masalah baru seperti pendapat seorang mufti di Mesir, Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i dalam sebuah artikelnya yang berjudul ‘ al-kaulu al-kafi fi ibahati attaswir al-fotografi ‘ Beliau berpendapat bahwa foto itu dibolehkan sebab dilarangnya melukis itu karena menyerupai penciptaan (makhluk ) Allah swt. Sedangkan foto itu sama sekali tidak menyerupai makhluk Allah akan tetapi sebaliknya hanya merupakan bayangan diri sendiri yang terefleksi pada kertas sebagimana halnya pemantulan pada kaca cermin itu karena perkembangan ilmu modern yang mampu menetapkan bayangan tersebut dalam kertas atau objek lain. Dan ini didukung oleh kenyataan yang ada pada penduduk Qatar dan negara-negara Teluk mereka menamakan tashwir (foto) dengan kata ‘aks (membuat bayangan) jamaknya ‘ukus ( beberapa bayangan pantulan) dan untuk tukang foto dinamakan ‘akkas (tukang merefleksikan bayangan) dan seterusnya yang sekiranya orang-orang yang menyebut tashwir untuk yang pertama kali ketika foto dikenal di negara arab dengan membuat bayangan (‘aks) tentu tidak akan timbul keraguan dalam benak sebagian orang yang bersikap keras terhadap pengharaman foto secara mutlak.

C.    Tertutup dan Terbukanya Pintu Ijtihad
Aktifitas ijtihad sesungguhnya telah dimulai sejak masa Nabi, bahkan tindakan nabi dalam memberikan fatwa yang kemudian dibenarkan oleh wahyu dipandang sebagai bentuk ijtihad oleh mereka yang beranggapan bahwa Nabi sah sah saja melakukan ijtihad, seperti kasus tawanan perang badar, di mana setelah beliau bermusyawarah dengan para sahabat lantas beerijtihad dan memutuskan untuk membebaskan tawanan dengan membayar tebusan. Setelah itu turunlah surat al-Anfal: 67 yang mengklarifikasi tindakan beliau tersebut. Ayat tersebut berisi: “Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melulmpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiah sedangkan Allah menghendaki pahala akhirat untukmu. Dan Allah maha kuasa lagi bijaksana.”
Sementara itu aktifitas sahabat dalam menjelaskan al-Qur’an maupun as-Sunnah atau menentukan hukum yang belum dijelaskan oleh nash dengan menggunakan akal juga dipandang sebagai aktifitas ijtihad. Mereka melakukannya sesuai dengan pengetahuan, pengalaman dan kecerdasan mereka yang didukung dengan integritas, kecintaan dan kesetiaan kepada agama yang dibawa oleh Nabi.[5]
Pada masa sahabat ini terdapat dua kategori ijtihad. Pertama, adalah masa dimana ijtihad dari sahabat masih dalam bimbingan dan pengawasan Nabi. Ijtihad yang salah akan mendapatkan pembetulan secara langsung dari beliau dan ijtihad yang dianggap benar akan mendapat pengukuhan dari beliau. Pengukuhan inilah yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan sunnah taaqririyah. Ijtihad jenis ini seperti yang terjadi pada kasus dua orang sahabat yang menjalankan ibadah sholat tanpa wudhu dan hanya melakukan tayamum karena ketiadaan air. Tidak lama kemudian keduanya mendapatkan air. Seorang sahabat yang satu mengulangi sholatnya dan seorang sahabat lainnya tidak mengulanginya. Ketika mereka berdua bertemu dan mengadukan kejadian tersebut, Rasulullah lantas membenarkan keduanya. Kedua, ijtihad sahabat sepeninggal Nabi, pada masa ini ijtihad sahabat benar-benar berfungsi sebagai aktifitas penggalian hukum, bahkan dipandang sebagai sebuah kebutuhan yang harus dilaksanakan sebagai problem solving. Dengan dipelopori sahabat-sahabat besar seperti Abu bakar, Umar, Utsman, Ali dan tokoh-tokoh sahabat lainnya semangat  dan dinamika ijtihad semakin berkembang. Dengan bertambah luasnya daerah kekuasaan Islam, maka persoalan-persoalan hukumpun banyak bermunculan. Hal ini karena kaum muslilmin yang menjadi penduduk-penduduk baru itu telah mempunyai tata cara dan adat istiadat tersendiri sebelum memeluk Islam. Karena faktor inilah kemudian para sahabat merasa perlu untuk memberikan penjelasan dan penafsiran terhadap nash-nash hukum dan memberikan fatwa pada kasus-kasus tersebut.
Pada masa selanjutnya, yaitu masa tabi’in dan tabi’it tabi’in kegiatan ijtihad semakin besar dan berkembang. Pada masa ini mulai muncul aliran ra’yu dan aliran hadits. Para ulama tidak hanya sekedar berijtihad, tetapi pada masa ini mereka juga gencar melakukan kodifikasi atas hasil ijtihad mereka sehingga pada gilirannya masa ini disebut sebagai masa tadwin dan ulama mujtahidin. Periode ini berlangsung sejak awal abad kedua Hijriyah hingga pertengahan abad keempat Hijriyah.
Sebagaimana deskripsi di atas, pasca wafatnya Rasulullah hingga pertengahan abad ke empat, ijtihad mengalami perkembangan yang begitu mengesankan. Ibarat pelita, ijtihad mampu menjadi penerang syariat Islam. Bak sebuah kunci, ia mampu membuka sekaligus menjawab berbagai macam persoalan zaman yang selalu berjalan dinamis. Dari sinilah kemudian muncul apa yang disebut dengan “TsarwaFiqhiyyah” (khazanah fiqih) dan pada puncaknya fiqih mengalami puncak kejayaannya pada sekitar abad empat Hijriyah.
Namun, setelah masa tersebut berlalu, kekuasaan Islam yang mulai terpecah belah ke dalam beberapa negara sedikit banyak mempengaruhi tradisi keilmuan. Aktivitas ijtihad mulai menampakkan kelesuan, melemahnya kebebasan berfikir, bekunya semangat dan terjadi dekadensi antusiasme keilmuan di bidang agama. Tidak hanya berhenti sampai di situ, pada masa ini benih-benih fanatisme bermazhab mulai menyebar, perdebatan kusir antar pengikut mazhab yang semakin memuncak ditambah lagi dengan merebaknya para hakim yang tidak memiliki kompetensi di bidangnya. Pada masa ini, Aktivitas keilmuan tak lebih dari sekedar kodifikasi terhadap pemikiran-pemikiran mujtahid terdahulu atau hanya sebatas melakukan resume dan komentar terhadap ulama-ulama pendahulu. Dari sinilah kemudian muncul seruan agar kaum muslimin konsisten untuk selalu berpegang teguh pada pendapat-pendapat mujtahid terdahulu sebagai salah satu langkah untuk melestarikan kemurnian fiqih. Mereka juga mendeklarasikan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Dalam karya ushulnya, az-Zuhaili menilai bahwa tindakan menutup pintu ijtihad merupakan salah satu bentuk kebijakan yang bermuatan politis-temporal, atau sebagai langkah antisipatif terhadap munculnya produk-produk ijtihad yang ditelorkan oleh orang-orang yang bukan ahlinya. Dengan demikian ketika muatan-muatan maupun faktor-faktor itu telah tiada maka seharusnya kembali pada hukum semula, yaitu terbukanya pintu ijtihad. Menurutnya, klaim tertutupnya pintu ijtihad adalah klaim kosong yang berlangsung secara turun menurun dan tidak berlandaskan argumentasi syara’ maupun akal.
Terkait problem stagnasi ijtihad ini, Josep Schaht dalam An Introduction To Islamic Law, sebagaimana dikutip Abdus salam menyatakan bahwa alasan penutupan pintu ijtihad ini kemungkinan merupakan akibat tekanan-tekanan eksternal dan bukan karena faktor internal.
Sebagaimana dikutip az-Zuhaili, Sekelompok ulama Syiah mengatakan“Tertutupnya pintu ijtihad pada abad ke empat Hijriyah serta pembatasan ruang aktivitas ijtihad merupakan salah satu kesalahan besar. Sekitar lebih dari tiga abad sebelumnya, pinyu ijtihad terbuka lebar bagi ahlinya hingga memunculkan kekayaan intelektual dalam berbagai macam ilmu baik fiqih maupun ushulnya.” Berdasarkan hal tersebut, maka tak ada alasan untuk menutup pintu ijtihad.
Terbukanya pintu ijtihad ini diperkuat dengan penjelasan as-Suyuthi dalam karyanya “Ar-Radd ila man akhlada ilal ardl”. Dalam karyanya tersebut ia menyebutkan pendapat seluruh mujtahid atas kewajiban mengerahkan segenap kemampuan untuk menganalisis permasalahan-permasalahan agama dengan melakukan penggalian hukum dari sumbernya serta mencela perilaku taqlid.
Senada dengan as-Suyuthi, Syahrastni dalam karyanya “Al-Milal wa an-Nihal” menegaskan bahwa semua manusia berdosa tatkala tidak ada satupun dari mereka yang mendalami ilmu yang menghantarkannya pada derajat mujtahid. Ia mengemukakan argumen bahwa peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan ibadah akan selalu berlangsung dan tidak mengenal batas, sementara tidak setiap peristiwa-peristiwa tersebut telah termaktub hukumnya dalam nash, dengan demikian ijtihad menjadi sebuah keharusan yang tak dapat dielakkan.
Fatwa tertutupnya pintu itihad ini dilontarkan oleh beberapa ulama, di antaranya adalah al-Imam Ibnu HaJar al-Haitamy, al-Imam al-Sya'rani, al-Imam al-Manawi dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak bebarapa ratus tahun yang lalu berdasarkan kesepakatan para ulama dari berbagai madzhab. Imam al-Manawi dalam komentarnya atas kitab al-Jami' al-Shoghir mengatakan bahwa al-Allamah al-Shihab Ibnu Hajar al-Haitamy berkata: "Ketika al-Imam al-Suyuthi mendakwakkan ijtihad, maka orang-orang yang semasa dengan beliau bangkit untuk menulis dan menanyakan kepada beliau beberapa pertanyaan tentang beberapa masalah yang diglobalkan oleh para murid imam madzhab menjadi dua versi. Mereka meminta Imam Suyuthi, jika beliau merupakan mujtahid yang paling rendah yakni mujtahid fatwa untuk mentarjih dari beberapa versi pendapat tersebut mana pendapat yang lebih unggul berdasarkan dalil dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh para mujtahid. Maka Imam suyuthi mengembalikan pertanyan-pertanyaan itu tanpa menulis sesuatu. Beliau mengemukakan alasan bahwa dirinya mempunyai kesibukan yang menghalangi beliau untuk meneliti masalah-masalah itu." Selanjutnya Ibnu Hajar berkata: "Renungkanlah kesulitan ijtihad pada tingkatan ini yakni ijtihad fatwa yang merupakan tingkat ijtihad yang paling rendah, sehingga jelaslah bagimu bahwa orang yang mendakwakkan ijtihad lebih-lebih ijtihad mutlak sebenarnya pada hakekatnya mereka sedang dalam kebingungan dan kerancauan dalam cara berfikirnya. Bahkan Ibnu Sholah dan para pengikutnya mengatakan bahwa Ijtihad telah tertutup sejak tiga ratus tahun yang lalu." Jadi kalau kita hitung-hitung, pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-3 H, karena Imam Ibnu Sholah hidup pada abad ke-6 H. Imam Ibnu Sholah juga mengutip pernyataan dari sebagian ulama ushul bahwasanya setelah masa Imam Syafi'i sudah tidak terdapat lagi seorang Mujtahid Mutstaqil. Lebih lanjut Ibnu Hajar mengatakan bahwa ketika para imam terjadi pertentangan yang panjang mengenai kedudukan Imam Haramain dan Hujjataul Islam al-Ghazali apakah keduanya lebih utama dikatakan sebagai Ashahbul Wujuh? Lalu bagaimana dengan selain mereka berdua? Para imam yang berkomentar tentang Imam al-Ruyani (pengarang kitab al-Bahr) mengatakan bahwasanya beliau bukanlah termasuk dalam kategori Ashhabul Wujuh, padahal beliau mengatakan seandainya teks-teks tulisan kitab Imam Syafi'i hilang maka sungguh akan aku diktekan dari dadaku. Dan ketika mereka sebagai para pembesar madzhab Syafi'i tidak layak untuk menempati derajat ijtihad al-madzhab, maka bagaimana diperkenankan bagi orang yang tidak faham sebagian besar istilah mereka mendakwakan diri lebih tinggi dari ijtihad al-madzhab (yakni ijtihad mutlak). Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kebohongan yang besar.
Di dalam kitab al-Anwar, Imam Rafi'I al-Syafi'I (w. 623) mengatakan bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada hari ini tidak ada seorang mujtahid. Ibnu Abi al-Dam setelah menguraikan syarat-syarat ijtihad mengatakan bahwa syarat-syarat ini jarang sekali ditemukan pada seorang ulama di zaman kita ini, bahkan sudah tidak ditemukan lagi pada zaman ini seorang mujtahid mutlak, bahkan mujtahid madzhab sekalipun. Imam al-Qafal ketika menjelaskan tentang masalah fatwa menyatakan bahwa orang yang telah memenuhi persyaratn ijtihad sudah tidak ditemukan lagi pada zamanya.
Akan tetapi nampaknya klaim yang mengatakan bahwa tertutupnya pintu ijtihad telah disepakati oleh para ulama dari berbagai madzhab perlu untuk kita teliti. Buktinya para ulama dari Madzhab Hanbali menyatakan bahwa suatu zaman tidak boleh sepi dari seorang mujtahid baik itu mutlak maupuan muqoyyad. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Sekelompok umatku tidak akan pernah berhenti menampakkan kebenaran sehingga datang urusan Allah SWT (hari kiamat)." (H.R. Muslim). Mereka juga mengatakan bahwa ijtihad merupakan fardhu kifayah sehingga ketiadaanya menyebabkan kaum muslimin untuk sepakat pada sesuatu yang bathil. Bahkan mengenai hal itu, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa mereka (para mujtahid) adalah orang-orang yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus bagi umat ini setiap seratus tahun orang untuk memperbaharui urusan agama mereka." (H.R. Abu Dawud dan yang lainnya). Mereka adalah orang-orang yang telah diungkapkan oleh Sayidina Ali RA bahwa dunia ini tidak akan sepi dari orang yang menegakkan hujjah Allah SWT. Para ulama dari madzhab Hanbali menyatakan bahwa pintu ijtihad dengan berbagai tingkatannya masih terbuka. 
1.      Pintu ijtihad tidak pernah tertutup
Ada yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-2 atau ke-3 H. jika kita mengatakan bahwa semua pintu ijtihad dengan berbagai macam tingkatan telah tertutup sejak masa itu, maka hal itu tidak bisa diterima. Sejarah telah membuktikan bahwa setiap masa tidak akan pernah sepi dari mujaddid. Para ulama mengatakan bahwa mujaddid-mujaddid itu adalah para mujtahid. Kita ketahui pada abad pertama muncul Umar bin Abdul Azis, sebagaimana pernyataan al-Imam al-Dzahabi, beliau telah mencapai tingkatan ijtihad. Kemudian pada abad ke-2 muncul Imam Syafi'i, lalu disusul Ibnu Suraij pada abad ke-3, beliau termasuk pembesar mujtahid dan termasuk dalam kelompok Ashhab al-Wujuh, sedangkan pada abad ke-4 terdapat Imam Abu Thayib Sahl bin Muhammad al-Sha'aluki atau Syeikh Abu Hamid sebagai imam penduduk Irak. Keduanya termasuk mujtahid dan Ashhabal-Wujuh. Selanjutnya pada abad ke-5 terdapat Imam al-Ghazali, sebagaimana fatwa Ibnu Sholah, beliau termasuk mujtahid. Lalu pada abad ke-6 terdapat Imam Rafi'i, pada abad ke-7 Syeikh Ibnu Daqiq al-'Id, abad ke-8 Imam al-Bulqini. Kemudian pada generasi selanjutnya muncul Imam Suyuthi beliau mendakwakan diri telah mencapai tingkat mujtahid, beliau berkata: "Telah sempurna pada diriku kriteria untuk berijtihad dengan berkat pertolongan Allah SWT, seandainya aku menghendaki untuk menulis satu karya tentang suatu masalah yang disertai dengan komentar-komentar, dalil-dali baik secara naqli maupun qiyas dan perbedaan pendapat di antara madzhab, maka sungguh aku akan mampu untuk melakukannya berkat anugerah Allah SWT." 
2.      Jalan tengah
Dari kedua pendapat yang telah dikemukakan di atas sebenarnya kita bisa mengambil jalan tengah dari keduanya. Ulama yang memfatwakan bahwa ijtihad telah tertutup dan sudah tidak ada lagi mujtahid pada zaman ini yang dimaksud mereka adalah ijtihad dan mujtahid muthlak baik yang mutstaqil maupun ghairu mutstaqil. Sedangkan para ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan setiap masa tidak boleh sepi dari seorang mujtahid adalah mujtahid yang tingkatannya berada di bawah mujtahid mutlak. Hal itu dapat kita tinjau dari beberapa hal: 
a.       Para Ulama yang dianggap sebagai mujtahid mutlak oleh kelompok kedua (yang berpendapat bahwa pintu ijtihad dengan segala macamnya masih terbuka) telah menyatakan sendiri bahwa mujtahid mutlak pada zaman mereka sudah tidak ada lagi. Hal itu sebagaimana pernyataan Imam al-Ghazali sendiri bahwa pada zaman beliau sudah tidak terdapat seorang mujtahid mutlak. Dalam kitabnya al-Wasith beliau berkata: "Syarat-syarat ini yakni syarat ijtihad (ijtihad mutlak) yang layak disandang oleh seorang Qadli sungguh sulit ditemukan pada zaman kita sekarang ini." Selain Imam Ghazali, Imam Rafi'i dan Nawawi juga menyatakan hal yang sama bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada masa ini sudah tidak ada lagi seorang mujtahid (mujtahid mutlak).
b.      Imam Suyuthi sendiri yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak ternyata tidak bisa memenuhi persyaratan mujtahid mutlak yang beliau ajukan sendiri. Mengenai syarat ijtihad Imam Suyuthi mengajukan sekitar lima belas syarat yang harus dipenuhi. Pada syarat kedua belas beliau menyebutkan bahwa syarat bagi seorang mujtahid mutlak haruslah menguasai ilmu hisab. Sedangkan beliau sendiri mengakui bahwa beliau tidak menguasai ilmu hisab. Hal itu sebagaimana penuturan beliau sendiri: "Ilmu hisab (ilmu hitung) adalah ilmu yang sangat sulit bagiku dan paling jauh dari penalaranku."
Dari uraian di atas dapat kita fahami, betapa sulit dan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid sehingga ia diperbolehkan untuk berijtihad. Sehingga setiap orang tidak dibenarkan untuk mengkliam dirinya telah berijtihad sedangkan ia sendiri tidak mnguasai alat-alat yang digunakan sebagai media untuk menggali hukum dari al-Kitab dan al-Sunnah. Namun kalau kita renungkan, harusnya ijtihad di zaman sekarang lebih mudah jika dibandingkan pada zaman Imam Syafi'i atau imam-imam yang lain. Di zaman kita sekarang semua disiplin ilmu yang digunakan untuk berijtihad telah terbukukan, sehingga seharusnya hal itu memudahkan bagi kita. Bandingkan dengan zaman Imam Syafi'I, dimana kitab-kitab hadits maupun kitab-kitab lain yang memuat disiplin ilmu untuk berijtihad masih sangat langka atau mungkin belum tertulis. Pada zaman imam-imam terdahulu ketika ingin mencari hadits maka harus membuka satu persatu, lembar per lembar beberapa kitab hadits.[6] Sedangkan di zaman kita sekarang untuk mencari dan meneliti suatu hadits merupakan sesuatu yang sangat mudah, kita tinggal mengetik redaksi hadits tersebut lalu tinggal enter, maka hadits yang kita inginkan akan segera tampil.
Pertanyaannya, mengapa di zaman sekarang tidak lagi bermunculan para imam sekaliber al-Syafi'i, al-Ghazali, al-Nawawi ataupun al-Suyuthi? Hal itu tiada lain karena Allah SWT telah melemahkan daya fikir umat ini sebagai peringatan akan berakhirnya zaman dan semakin dekatnya hari kiamat. Karena itu semua termasuk dari tanda-tanda kiamat yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Termasuk tanda-tanda kiamat adalah hilangnya ilmu dan tetapnya kebodohan." (H.R. Muslim).
  
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang telah kami tulis, dalam bab ini kami memberikan kesimpulan secara garis besarnya sesuai pokok pemikiran dalam setiap pembahasannya, sehingga kita lebih mudah menangkap informasi yang telah kami tuliskan dalam bab terdahulu.
Ijtihad menempati posisi sentral dalam Islam. Keberlangsungan sebuah syari’at sangat bergantung kepadanya. Keberadaan ijtihad senantiasa dibutuhkan dalam setiap sisi kehidupan umat. Namun, yang penting untuk direnungkan adalah bahwa aktifitas ijtihad adalah aktifitas yang sangat mungkin, bahkan mudah untuk dilakukan, namun harus melalui proses yang benar dan terprogram, melalui mekanisme yang sistematis tidak asal ijtihad. Ijtihad haruslah dilakukan oleh orang-orang yang memang kompeten. Orang awam yang tidak memiliki kualifikasi ijtihad dilarang melakukannya. Ia cukup melakukan taqlid saja kepada para mujtahid terdahulu.
Ijtihad pada saat ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu ijtihad tarjihi intiqa’i (selektif) dan ijtihad ibda’i insya’i (kreatif)
Ijtihad tarjihi intiqa’i ialah memilih satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fikih islam yang telah penuh dengan fatwa dan keputusan hukum. Sikap Ini bukan berarati mengambil atau mempedomani salah satu mazhab fikih yang menurut kebiasan kita paling cocok  untuk kemudian diterapkan sebagai way of life nya tanpa mau mengkaji secara seksama dasar-dasar pemikiran orang yang diikutinya (taklid a’ma)
Ijtihad ibda’i insya’i adalah usaha pengambilan sebuah kesimpulan hukum baru dari persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu baik itu permasalahan lama ataupun mengenai permasalahan kekinian atau dalam ungkapan lain ijtihad insyai adalah meliputi sebagian persoalan klasik yaitu dengan cara seorang mujtahid kontemporer untuk memiliki pandangan baru yang berbeda dan belum pernah diketengahkan oleh para ulama salaf.
Ada yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-2 atau ke-3 H. jika kita mengatakan bahwa semua pintu ijtihad dengan berbagai macam tingkatan telah tertutup sejak masa itu, maka hal itu tidak bisa diterima. Sejarah telah membuktikan bahwa setiap masa tidak akan pernah sepi dari mujaddid. Para ulama mengatakan bahwa mujaddid-mujaddid itu adalah para mujtahid.
Menyikapi perbedaan tentang tertutup dan terbukanya  ijtihad sebenarnya kita bisa mengambil jalan tengah dari keduanya. Ulama yang memfatwakan bahwa ijtihad telah tertutup dan sudah tidak ada lagi mujtahid pada zaman ini yang dimaksud mereka adalah ijtihad dan mujtahid muthlak baik yang mutstaqil maupun ghairu mutstaqil. Sedangkan para ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan setiap masa tidak boleh sepi dari seorang mujtahid adalah mujtahid yang tingkatannya berada di bawah mujtahid mutlak.

B.     Saran
Demikian penulisan makalah yang sangat sederhana ini telah kami selesaikan, semoga bisa memberikan manfaat dan berkontribusi dalam penyebaran ilmu pengetahuan. Namun demikian kami menyadari bahwa apa yang kami sampaikan masih banyak kesalahan maupun kekurangannya. Untuk itu bagi para pembaca, kami harapkan saran maupun masukannya untuk perbaikan penulisan ini maupun untuk penulisan-penulisan yang akan datang, terimakasih
  
DAFTAR PUSTAKA
Abdus Salam, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: Lesfi, 2003
Abu Zahrah,Ushul al Fiqh,Kairo,Dar al Araby,tt
Muhammad Khudhori al-Tsubuty, Artikel dengan judul Terbukanya Pintu Ijtihad, /2009/02/01/ 
Rachmat Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqh,Bandung,CV Pustaka Setia,2007,Cet III
Yusuf Qardhawi, Ijtihad kontemporer,Surabaya: Risalah Gusti, 2000
.

[1] Rachmat Syafe’i,Ilmu Ushul Fiqh,(Bandung,CV Pustaka Setia,2007),Cet III,hal 97 – 98
[2] Abu Zahrah,Ushul al Fiqh,(Kairo,Dar al Araby,tt),hal 379
[3] Ibid
[4] Yusuf qardhawi, Ijtihad kontemporer, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000.), Hlm. 25
[5] Abdus Salam, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: Lesfi, 2003), hlm. 22.
[6] Muhammad Khudhori al-Tsubuty, Artikel dengan judul Terbukanya Pintu Ijtihad, /2009/02/01/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembelajaran dalam perjalanan pendidikan guru penggerak

Pendidikan Guru Penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatih...