BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam
sebagai agama yang mengatur segala sendi kehidupan umatnya diturunkan dengan
membawa aturan-aturan hukum yang dapat dipedomi guna kemaslahatan hidup. Sumber
hukum utama dalam Islam adalah Al Quran dan Sunah Nabi, meski dalam
penerapannya masih memerlukan proses penggalian yang mendalam sehingga
diperoleh suatu keputusan hukum yang baku. Proses penggalian hukum inilah yang
dikenal dengan ijtihad. Dengan ijtihad ini maka lahirlah sumber hukum yang lain
yakni ijma’ dan qiyas.
Dalam
ijtihad seorang mujtahid akan mengerahkan segala kemampuannya dalam memahami
dan menggali suatu kaidah hukum sehingga ia mendapatkan pedoman dalam
menetapkan hukum yang berkaitan dengan suatu permasalahan. Tidak semua orang
dapat berijtihad, sebab seorang mujtahid mesti memenuhi kriteria-kriteria
tertentu guna memahami teks-teks ayat ataupun hadis yang menjadi rujukannya.(baca:Macam dan Syarat Ijtihad)
Ijtihad
sangatlah penting guna menjaga tetap lestari dan berlakunya hukum Islam. Hal
ini dapat dimengerti sebab suatu hukum harus mampu menyesuaikan waktu dan tempat
dimana kehidupan berlangsung, juga harus mampu memberikan solusi tepat bagi
problematika kehiupan umat.
Kaitannya
dengan ijtihad sebagian ulama menyatakan bahwa ijtihad dapat dilakukan di
setiap saat dan tempat, meski sebagian yang lain berpendapat bahwa pintu
ijtihad telah tertutup. Hal ini terlihat sangat kontradiktif dan dapat
membingungkan bagi umat sekaligus memberikan celah bagi mandegnya proses
istinbath hukum.
Guna
memperoleh pemahaman yang benar dan akurat mengenai seluk-beluk ijtihad dan tentang
tertutup dan terbukanya pintu ijtihad ini,maka penyusun makalah mencoba
menggali dan mengkaji lebih lanjut mengenai hal tersebut dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar
belakang di atas maka dalam makalah ini penyusun akan membahas tentang :
1.
Apa Pengertian Ijtihad ?
2.
Apa saja Macam-macam Ijtihad ?
3.
Bagaimana tertutup dan terbukanya pintu
ijtihad ?
C.
Tujuan Penulisan
Setelah
mempelajari makalah ini penulis berharap para pembaca dapat mengetahui tentang :
1.
Pengertian Ijtihad
2.
Macam-macam Ijtihad
3.
Tertutup dan terbukanya pintu
ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ijtihad
Secara
etimologi, ijtihad berasal dari kata al jahd atau al
juhd, yang berarti al masyaqat (kesulitan dan kesusahan)
dan at thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam bentuk
masdhar kata ijtihad mempunyai arti “usaha itu lebih sungguh-sungguh.[1]
Ada
juga yang menyatakan bahwa ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti
mencurahkan segala kesempurnaan atau menanggung beban kesulitan. Kata ijtihad
mengikuti wazan ifti’al yang berarti “bersangatan dalam pekerjaan”.[2]
Adapun
terminologi dari ijtihad; menurut Ulama Ushuliyin mendefinisikan ijtihad
sebagai usaha mencurahkan segenap kemampuan dan kesanggupan intelektual dalam
mengistinbathkan hukum praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.[3] Adapun Abd al Wahab al Khalaf menyatakan ijtihad
adalah mencurahkan kesanggupan yang prima untuk menghasilkan hukum syar’i yang
amali dan berpedoman dari dalil yang terperinci (tafshili).
Dari
beberapa definisi di atas dapt kita simpulkan bahwa ijtihad adalah pengerahan
segala kesanggupan seorang faqih untuk memperoleh pengetahuan
tentang hukum sesuatu melalui dalil syara’.
B. Macam-macam
Ijtihad
Sebenarnya
ada banyak pendapat para pakar fikih tentang macam dan jenis ijtihad yang
setiap mereka membagikannya berdasarkan kreterianya masing-masing
sehingga ini menjadi indikator kalau tema ijtihad itu sendiri begitu dinamis.
Namun dalam kesempatan ini kami cukupkan dengan apa yang dipaparkan oleh alfaqih
Syaikh al-Azhar yaitu Dr. Yusuf Al-Qordhawi. Menurut Beliau Ijtihad
yang kita perlukan untuk masa saat ini ada dua macam :
1.
Ijtihad Tarjihi Intiqa’i (selektif)
Yang dimaksud dengan ijtihad intiqai
ialah memilih satu pendapat dari beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada
warisan fikih islam yang telah penuh dengan fatwa dan keputusan hukum. Sikap
Ini bukan berarati mengambil atau mempedomani salah satu mazhab fikih yang
menurut kebiasan kita paling cocok untuk kemudian diterapkan sebagai
way of life nya tanpa mau mengkaji
secara seksama dasar-dasar pemikiran orang yang diikutinya (taklid a’ma). Akan
tetapi pilihan ini meniscayakan kita untuk berpikir dan meneliti secara
mendalam dan lebih jauh terhadap varian hasil ijtihad dan pemahaman ulama terdahulu
itu yang sudah sangat jelas perbedaan diantara mereka lalu kita bandingkan
(komparasikan) antara mazhab yang satu dengan lainnya dengan flash back
(melihat kembali) apa-apa dalil yang kiranya mendasari dan
menguatkan masing –masing mereka dengan keputusannya itu. Setelah
itu hasil dari telaah tersebut kita melihat titik keunggulan dan
kelemahan masing-masing kemudian kita tarik benang merahnya dengan menggunakan
kaedah tarjih yaitu bahwa pendapat yang mempunyai relevansi dengan realitas kehidupan
zaman sekarang, mencerminkan kelemah lembutan dan humanisme. Pendapat yang
terakhir inilah yang lebih mendekati dan prioritas untuk ditetapkan sebagai
sebuah hukum islam kontemporer.[4]
Contoh untuk kasus ini adalah kasus
pembunuhan yang dilakukan secara terpaksa yang mendapat tekanan (pressure) dan
paksaan (ikrah) dari pihak ketiga atau orang lain. Maka kepada siapakah hukuman
qishash dijatuhkan? Ada pendapat yang mengatakan qishash itu dijatuhkan kepada
orang yang langsung melakukan pembunuhan yaitu orang dipaksa tadi karena dia
pihak yang melakukan pembunuhan secara langsung.
Ada juga yang berpendapat qishash
dijatuhkan kepada orang yang memaksa (merencanakan dan menyuruh) untuk
melakukan pembunuhan sebab si pembunuh pada dasarnya hanyalah sekedar dijadikan
alat orang yang memaksa. Ada juga pendapat lain yaitu qishash dijatuhkan
terhadap keduanya, sipemaksa dan si pembunuh karena pihak
pertama yang langsung melakukan tindak pembunuhan sedangkan pihak
kedua karena pada hakekatnya dialah yang biang dibalik pembunuhan itu. Bahkan
ada yang berpendapat bahwa baik pihak pertama maupun pihak kedua sama-sama
tidak dikenakan sanksi kapital panismen tersebut (qishash) karena pidana
masing-masing dari keduanya belum memenuhi persyaratan.
2.
Ijtihad Ibda’i Insya’i
(kreatif)
Maksudnya adalah usaha pengambilan
sebuah kesimpulan hukum baru dari persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh
ulama terdahulu baik itu permasalahan lama ataupun mengenai permasalahan
kekinian atau dalam ungkapan lain ijtihad insyai adalah meliputi sebagian
persoalan klasik yaitu dengan cara seorang mujtahid kontemporer untuk memiliki
pandangan baru yang berbeda dan belum pernah diketengahkan oleh para ulama
salaf. Dan tentu saja hal ini terkait dengan keaslahan dan reliabilitas yang
dapat dipertanggung jawabkan dalam melihat fakta dan konteks kehidupan saat
ini. Karenanya sangat memungkinkan bila sesuatu yang telah diijtihadkan oleh
dua orang dengan dua pendapat yang berbeda pula untuk melahirkan
pendapat-pendapat yang lain dan seterusnya sejauh yang menjadi barometernya
adalah kelayakan dan kepatutan menurut realitas yang ada dan lebih maslahat dan
dengan begitu pintu ijtihad itu selalu terbuka lebar selama kehidupan umat
manusia itu ada dan eksis di muka bumi tanpa ada satu kekuatanpun yang dapat
mematikannya karena kesempurnaan itu tidak pernah berhenti.
Dalam hal ini dijadikan contoh pada umumnya adalah
masalah-masalah baru seperti pendapat seorang mufti di Mesir, Syaikh Muhammad
Bakhit Al-Muthi’i dalam sebuah artikelnya yang berjudul ‘ al-kaulu al-kafi fi
ibahati attaswir al-fotografi ‘ Beliau berpendapat bahwa foto itu dibolehkan
sebab dilarangnya melukis itu karena menyerupai penciptaan (makhluk ) Allah
swt. Sedangkan foto itu sama sekali tidak menyerupai makhluk Allah akan tetapi
sebaliknya hanya merupakan bayangan diri sendiri yang terefleksi pada kertas
sebagimana halnya pemantulan pada kaca cermin itu karena perkembangan ilmu
modern yang mampu menetapkan bayangan tersebut dalam kertas atau objek lain.
Dan ini didukung oleh kenyataan yang ada pada penduduk Qatar dan negara-negara
Teluk mereka menamakan tashwir (foto) dengan kata ‘aks (membuat bayangan)
jamaknya ‘ukus ( beberapa bayangan pantulan) dan untuk tukang foto dinamakan
‘akkas (tukang merefleksikan bayangan) dan seterusnya yang sekiranya orang-orang
yang menyebut tashwir untuk yang pertama kali ketika foto dikenal di negara
arab dengan membuat bayangan (‘aks) tentu tidak akan timbul keraguan dalam
benak sebagian orang yang bersikap keras terhadap pengharaman foto secara
mutlak.
C.
Tertutup dan Terbukanya Pintu
Ijtihad
Aktifitas ijtihad sesungguhnya telah
dimulai sejak masa Nabi, bahkan tindakan nabi dalam memberikan fatwa yang
kemudian dibenarkan oleh wahyu dipandang sebagai bentuk ijtihad oleh mereka
yang beranggapan bahwa Nabi sah sah saja melakukan ijtihad, seperti kasus
tawanan perang badar, di mana setelah beliau bermusyawarah dengan para sahabat
lantas beerijtihad dan memutuskan untuk membebaskan tawanan dengan membayar
tebusan. Setelah itu turunlah surat al-Anfal: 67 yang mengklarifikasi tindakan
beliau tersebut. Ayat tersebut berisi: “Tidak patut bagi seorang Nabi
mempunyai tawanan sebelum ia dapat melulmpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu
menghendaki harta benda duniawiah sedangkan Allah menghendaki pahala akhirat
untukmu. Dan Allah maha kuasa lagi bijaksana.”
Sementara itu aktifitas sahabat
dalam menjelaskan al-Qur’an maupun as-Sunnah atau menentukan hukum yang belum
dijelaskan oleh nash dengan menggunakan akal juga dipandang sebagai aktifitas
ijtihad. Mereka melakukannya sesuai dengan pengetahuan, pengalaman dan
kecerdasan mereka yang didukung dengan integritas, kecintaan dan kesetiaan
kepada agama yang dibawa oleh Nabi.[5]
Pada masa
sahabat ini terdapat dua kategori ijtihad. Pertama, adalah masa
dimana ijtihad dari sahabat masih dalam bimbingan dan pengawasan Nabi. Ijtihad
yang salah akan mendapatkan pembetulan secara langsung dari beliau dan ijtihad
yang dianggap benar akan mendapat pengukuhan dari beliau. Pengukuhan inilah
yang pada akhirnya dikenal dengan sebutan sunnah taaqririyah. Ijtihad jenis ini
seperti yang terjadi pada kasus dua orang sahabat yang menjalankan ibadah
sholat tanpa wudhu dan hanya melakukan tayamum karena ketiadaan air. Tidak lama
kemudian keduanya mendapatkan air. Seorang sahabat yang satu mengulangi
sholatnya dan seorang sahabat lainnya tidak mengulanginya. Ketika mereka berdua
bertemu dan mengadukan kejadian tersebut, Rasulullah lantas membenarkan
keduanya. Kedua, ijtihad sahabat sepeninggal Nabi, pada masa ini
ijtihad sahabat benar-benar berfungsi sebagai aktifitas penggalian hukum,
bahkan dipandang sebagai sebuah kebutuhan yang harus dilaksanakan sebagai
problem solving. Dengan dipelopori sahabat-sahabat besar seperti Abu bakar,
Umar, Utsman, Ali dan tokoh-tokoh sahabat lainnya semangat dan
dinamika ijtihad semakin berkembang. Dengan bertambah luasnya daerah kekuasaan
Islam, maka persoalan-persoalan hukumpun banyak bermunculan. Hal ini karena
kaum muslilmin yang menjadi penduduk-penduduk baru itu telah mempunyai tata
cara dan adat istiadat tersendiri sebelum memeluk Islam. Karena faktor inilah
kemudian para sahabat merasa perlu untuk memberikan penjelasan dan penafsiran
terhadap nash-nash hukum dan memberikan fatwa pada kasus-kasus tersebut.
Pada masa
selanjutnya, yaitu masa tabi’in dan tabi’it tabi’in kegiatan ijtihad semakin
besar dan berkembang. Pada masa ini mulai muncul aliran ra’yu dan aliran
hadits. Para ulama tidak hanya sekedar berijtihad, tetapi pada masa ini mereka
juga gencar melakukan kodifikasi atas hasil ijtihad mereka sehingga pada
gilirannya masa ini disebut sebagai masa tadwin dan ulama mujtahidin. Periode
ini berlangsung sejak awal abad kedua Hijriyah hingga pertengahan abad keempat
Hijriyah.
Sebagaimana
deskripsi di atas, pasca wafatnya Rasulullah hingga pertengahan abad ke empat,
ijtihad mengalami perkembangan yang begitu mengesankan. Ibarat pelita, ijtihad
mampu menjadi penerang syariat Islam. Bak sebuah kunci, ia mampu membuka
sekaligus menjawab berbagai macam persoalan zaman yang selalu berjalan dinamis.
Dari sinilah kemudian muncul apa yang disebut dengan “Tsarwah Fiqhiyyah” (khazanah
fiqih) dan pada puncaknya fiqih mengalami puncak kejayaannya pada sekitar abad
empat Hijriyah.
Namun,
setelah masa tersebut berlalu, kekuasaan Islam yang mulai terpecah belah ke
dalam beberapa negara sedikit banyak mempengaruhi tradisi keilmuan. Aktivitas
ijtihad mulai menampakkan kelesuan, melemahnya kebebasan berfikir, bekunya
semangat dan terjadi dekadensi antusiasme keilmuan di bidang agama. Tidak hanya
berhenti sampai di situ, pada masa ini benih-benih fanatisme bermazhab mulai
menyebar, perdebatan kusir antar pengikut mazhab yang semakin memuncak ditambah
lagi dengan merebaknya para hakim yang tidak memiliki kompetensi di bidangnya.
Pada masa ini, Aktivitas keilmuan tak lebih dari sekedar kodifikasi terhadap
pemikiran-pemikiran mujtahid terdahulu atau hanya sebatas melakukan resume dan
komentar terhadap ulama-ulama pendahulu. Dari sinilah kemudian muncul seruan
agar kaum muslimin konsisten untuk selalu berpegang teguh pada
pendapat-pendapat mujtahid terdahulu sebagai salah satu langkah untuk
melestarikan kemurnian fiqih. Mereka juga mendeklarasikan bahwa pintu ijtihad
telah tertutup.
Dalam karya
ushulnya, az-Zuhaili menilai bahwa tindakan menutup pintu ijtihad merupakan
salah satu bentuk kebijakan yang bermuatan politis-temporal, atau sebagai
langkah antisipatif terhadap munculnya produk-produk ijtihad yang ditelorkan
oleh orang-orang yang bukan ahlinya. Dengan demikian ketika muatan-muatan
maupun faktor-faktor itu telah tiada maka seharusnya kembali pada hukum semula,
yaitu terbukanya pintu ijtihad. Menurutnya, klaim tertutupnya pintu ijtihad
adalah klaim kosong yang berlangsung secara turun menurun dan tidak
berlandaskan argumentasi syara’ maupun akal.
Terkait
problem stagnasi ijtihad ini, Josep Schaht dalam An Introduction To
Islamic Law, sebagaimana dikutip Abdus salam menyatakan bahwa alasan
penutupan pintu ijtihad ini kemungkinan merupakan akibat tekanan-tekanan
eksternal dan bukan karena faktor internal.
Sebagaimana
dikutip az-Zuhaili, Sekelompok ulama Syiah mengatakan“Tertutupnya pintu
ijtihad pada abad ke empat Hijriyah serta pembatasan ruang aktivitas ijtihad
merupakan salah satu kesalahan besar. Sekitar lebih dari tiga abad sebelumnya,
pinyu ijtihad terbuka lebar bagi ahlinya hingga memunculkan kekayaan
intelektual dalam berbagai macam ilmu baik fiqih maupun ushulnya.” Berdasarkan
hal tersebut, maka tak ada alasan untuk menutup pintu ijtihad.
Terbukanya
pintu ijtihad ini diperkuat dengan penjelasan as-Suyuthi dalam karyanya “Ar-Radd
ila man akhlada ilal ardl”. Dalam karyanya tersebut ia menyebutkan pendapat
seluruh mujtahid atas kewajiban mengerahkan segenap kemampuan untuk
menganalisis permasalahan-permasalahan agama dengan melakukan penggalian hukum
dari sumbernya serta mencela perilaku taqlid.
Senada
dengan as-Suyuthi, Syahrastni dalam karyanya “Al-Milal wa an-Nihal” menegaskan bahwa semua manusia berdosa
tatkala tidak ada satupun dari mereka yang mendalami ilmu yang menghantarkannya
pada derajat mujtahid. Ia mengemukakan argumen bahwa peristiwa-peristiwa yang
berkaitan dengan ibadah akan selalu berlangsung dan tidak mengenal batas,
sementara tidak setiap peristiwa-peristiwa tersebut telah termaktub hukumnya
dalam nash, dengan demikian ijtihad menjadi sebuah keharusan yang tak dapat
dielakkan.
Fatwa
tertutupnya pintu itihad ini dilontarkan oleh beberapa ulama, di antaranya
adalah al-Imam Ibnu HaJar al-Haitamy, al-Imam al-Sya'rani, al-Imam al-Manawi
dan yang lainnya. Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak
bebarapa ratus tahun yang lalu berdasarkan kesepakatan para ulama dari berbagai
madzhab. Imam al-Manawi dalam komentarnya atas kitab al-Jami' al-Shoghir
mengatakan bahwa al-Allamah al-Shihab Ibnu Hajar al-Haitamy berkata: "Ketika
al-Imam al-Suyuthi mendakwakkan ijtihad, maka orang-orang yang semasa dengan
beliau bangkit untuk menulis dan menanyakan kepada beliau beberapa pertanyaan
tentang beberapa masalah yang diglobalkan oleh para murid imam madzhab menjadi
dua versi. Mereka meminta Imam Suyuthi, jika beliau merupakan mujtahid yang
paling rendah yakni mujtahid fatwa untuk mentarjih dari beberapa versi pendapat
tersebut mana pendapat yang lebih unggul berdasarkan dalil dan kaidah-kaidah
yang telah ditetapkan oleh para mujtahid. Maka Imam suyuthi mengembalikan
pertanyan-pertanyaan itu tanpa menulis sesuatu. Beliau mengemukakan alasan
bahwa dirinya mempunyai kesibukan yang menghalangi beliau untuk meneliti
masalah-masalah itu." Selanjutnya Ibnu Hajar berkata: "Renungkanlah
kesulitan ijtihad pada tingkatan ini yakni ijtihad fatwa yang merupakan tingkat
ijtihad yang paling rendah, sehingga jelaslah bagimu bahwa orang yang
mendakwakkan ijtihad lebih-lebih ijtihad mutlak sebenarnya pada hakekatnya
mereka sedang dalam kebingungan dan kerancauan dalam cara berfikirnya. Bahkan
Ibnu Sholah dan para pengikutnya mengatakan bahwa Ijtihad telah tertutup sejak
tiga ratus tahun yang lalu." Jadi kalau kita hitung-hitung, pintu ijtihad
telah tertutup sejak sekitar abad ke-3 H, karena Imam Ibnu Sholah hidup pada
abad ke-6 H. Imam Ibnu Sholah juga mengutip pernyataan dari sebagian ulama
ushul bahwasanya setelah masa Imam Syafi'i sudah tidak terdapat lagi seorang
Mujtahid Mutstaqil. Lebih lanjut Ibnu Hajar mengatakan bahwa ketika para imam
terjadi pertentangan yang panjang mengenai kedudukan Imam Haramain dan
Hujjataul Islam al-Ghazali apakah keduanya lebih utama dikatakan sebagai
Ashahbul Wujuh? Lalu bagaimana dengan selain mereka berdua? Para imam yang
berkomentar tentang Imam al-Ruyani (pengarang kitab al-Bahr) mengatakan
bahwasanya beliau bukanlah termasuk dalam kategori Ashhabul Wujuh, padahal
beliau mengatakan seandainya teks-teks tulisan kitab Imam Syafi'i hilang maka
sungguh akan aku diktekan dari dadaku. Dan ketika mereka sebagai para pembesar
madzhab Syafi'i tidak layak untuk menempati derajat ijtihad al-madzhab, maka
bagaimana diperkenankan bagi orang yang tidak faham sebagian besar istilah
mereka mendakwakan diri lebih tinggi dari ijtihad al-madzhab (yakni ijtihad
mutlak). Maha suci Engkau ya Allah, ini adalah kebohongan yang besar.
Di dalam
kitab al-Anwar, Imam Rafi'I al-Syafi'I (w. 623) mengatakan bahwa para ulama
sepertinya telah sepakat bahwa pada hari ini tidak ada seorang mujtahid. Ibnu
Abi al-Dam setelah menguraikan syarat-syarat ijtihad mengatakan bahwa
syarat-syarat ini jarang sekali ditemukan pada seorang ulama di zaman kita ini,
bahkan sudah tidak ditemukan lagi pada zaman ini seorang mujtahid mutlak,
bahkan mujtahid madzhab sekalipun. Imam al-Qafal ketika menjelaskan tentang masalah
fatwa menyatakan bahwa orang yang telah memenuhi persyaratn ijtihad sudah tidak
ditemukan lagi pada zamanya.
Akan
tetapi nampaknya klaim yang mengatakan bahwa tertutupnya pintu ijtihad telah
disepakati oleh para ulama dari berbagai madzhab perlu untuk kita teliti.
Buktinya para ulama dari Madzhab Hanbali menyatakan bahwa suatu zaman tidak
boleh sepi dari seorang mujtahid baik itu mutlak maupuan muqoyyad. Hal itu
sebagaimana sabda Rasulullah SAW: "Sekelompok
umatku tidak akan pernah berhenti menampakkan kebenaran sehingga datang urusan
Allah SWT (hari kiamat)." (H.R.
Muslim). Mereka juga
mengatakan bahwa ijtihad merupakan fardhu kifayah sehingga ketiadaanya
menyebabkan kaum muslimin untuk sepakat pada sesuatu yang bathil. Bahkan
mengenai hal itu, Ibnul Qayyim mengatakan bahwa mereka (para mujtahid) adalah
orang-orang yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Sesungguhnya Allah SWT akan mengutus bagi umat ini setiap seratus
tahun orang untuk memperbaharui urusan agama mereka." (H.R.
Abu Dawud dan yang lainnya).
Mereka adalah orang-orang yang telah diungkapkan oleh Sayidina Ali RA bahwa
dunia ini tidak akan sepi dari orang yang menegakkan hujjah Allah SWT. Para
ulama dari madzhab Hanbali menyatakan bahwa pintu ijtihad dengan berbagai
tingkatannya masih terbuka.
1.
Pintu ijtihad tidak pernah tertutup
Ada yang mengatakan bahwa pintu
ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-2 atau ke-3 H. jika kita
mengatakan bahwa semua pintu ijtihad dengan berbagai macam tingkatan telah
tertutup sejak masa itu, maka hal itu tidak bisa diterima. Sejarah telah
membuktikan bahwa setiap masa tidak akan pernah sepi dari mujaddid. Para ulama
mengatakan bahwa mujaddid-mujaddid itu adalah para mujtahid. Kita ketahui pada
abad pertama muncul Umar bin Abdul Azis, sebagaimana pernyataan al-Imam
al-Dzahabi, beliau telah mencapai tingkatan ijtihad. Kemudian pada abad ke-2
muncul Imam Syafi'i, lalu disusul Ibnu Suraij pada abad ke-3, beliau termasuk
pembesar mujtahid dan termasuk dalam kelompok Ashhab al-Wujuh, sedangkan pada
abad ke-4 terdapat Imam Abu Thayib Sahl bin Muhammad al-Sha'aluki atau Syeikh
Abu Hamid sebagai imam penduduk Irak. Keduanya termasuk mujtahid dan
Ashhabal-Wujuh. Selanjutnya pada abad ke-5 terdapat Imam al-Ghazali,
sebagaimana fatwa Ibnu Sholah, beliau termasuk mujtahid. Lalu pada abad ke-6
terdapat Imam Rafi'i, pada abad ke-7 Syeikh Ibnu Daqiq al-'Id, abad ke-8 Imam
al-Bulqini. Kemudian pada generasi selanjutnya muncul Imam Suyuthi beliau
mendakwakan diri telah mencapai tingkat mujtahid, beliau berkata: "Telah sempurna
pada diriku kriteria untuk berijtihad dengan berkat pertolongan Allah SWT,
seandainya aku menghendaki untuk menulis satu karya tentang suatu masalah yang
disertai dengan komentar-komentar, dalil-dali baik secara naqli maupun qiyas
dan perbedaan pendapat di antara madzhab, maka sungguh aku akan mampu untuk
melakukannya berkat anugerah Allah SWT."
2.
Jalan tengah
Dari kedua pendapat
yang telah dikemukakan di atas sebenarnya kita bisa mengambil jalan tengah dari
keduanya. Ulama yang memfatwakan bahwa ijtihad telah tertutup dan sudah tidak
ada lagi mujtahid pada zaman ini yang dimaksud mereka adalah ijtihad dan
mujtahid muthlak baik yang mutstaqil maupun ghairu mutstaqil. Sedangkan para
ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad masih terbuka dan setiap masa tidak
boleh sepi dari seorang mujtahid adalah mujtahid yang tingkatannya berada di
bawah mujtahid mutlak. Hal itu dapat kita tinjau dari beberapa hal:
a.
Para Ulama yang
dianggap sebagai mujtahid mutlak oleh kelompok kedua (yang berpendapat bahwa
pintu ijtihad dengan segala macamnya masih terbuka) telah menyatakan sendiri
bahwa mujtahid mutlak pada zaman mereka sudah tidak ada lagi. Hal itu
sebagaimana pernyataan Imam al-Ghazali sendiri bahwa pada zaman beliau sudah
tidak terdapat seorang mujtahid mutlak. Dalam kitabnya al-Wasith beliau
berkata: "Syarat-syarat ini yakni syarat ijtihad (ijtihad mutlak) yang
layak disandang oleh seorang Qadli sungguh sulit ditemukan pada zaman kita
sekarang ini." Selain Imam Ghazali, Imam Rafi'i dan Nawawi juga menyatakan
hal yang sama bahwa para ulama sepertinya telah sepakat bahwa pada masa ini
sudah tidak ada lagi seorang mujtahid (mujtahid mutlak).
b.
Imam Suyuthi sendiri
yang mengklaim dirinya sebagai mujtahid mutlak ternyata tidak bisa memenuhi
persyaratan mujtahid mutlak yang beliau ajukan sendiri. Mengenai syarat ijtihad
Imam Suyuthi mengajukan sekitar lima belas syarat yang harus dipenuhi. Pada
syarat kedua belas beliau menyebutkan bahwa syarat bagi seorang mujtahid mutlak
haruslah menguasai ilmu hisab. Sedangkan beliau sendiri mengakui bahwa beliau
tidak menguasai ilmu hisab. Hal itu sebagaimana penuturan beliau sendiri:
"Ilmu hisab (ilmu hitung) adalah ilmu yang sangat sulit bagiku dan paling
jauh dari penalaranku."
Dari uraian di atas
dapat kita fahami, betapa sulit dan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi
oleh seorang mujtahid sehingga ia diperbolehkan untuk berijtihad. Sehingga
setiap orang tidak dibenarkan untuk mengkliam dirinya telah berijtihad
sedangkan ia sendiri tidak mnguasai alat-alat yang digunakan sebagai media
untuk menggali hukum dari al-Kitab dan al-Sunnah. Namun kalau kita renungkan,
harusnya ijtihad di zaman sekarang lebih mudah jika dibandingkan pada zaman
Imam Syafi'i atau imam-imam yang lain. Di zaman kita sekarang semua disiplin
ilmu yang digunakan untuk berijtihad telah terbukukan, sehingga seharusnya hal
itu memudahkan bagi kita. Bandingkan dengan zaman Imam Syafi'I, dimana
kitab-kitab hadits maupun kitab-kitab lain yang memuat disiplin ilmu untuk
berijtihad masih sangat langka atau mungkin belum tertulis. Pada zaman
imam-imam terdahulu ketika ingin mencari hadits maka harus membuka satu
persatu, lembar per lembar beberapa kitab hadits.[6] Sedangkan di zaman kita
sekarang untuk mencari dan meneliti suatu hadits merupakan sesuatu yang sangat
mudah, kita tinggal mengetik redaksi hadits tersebut lalu tinggal enter, maka
hadits yang kita inginkan akan segera tampil.
Pertanyaannya, mengapa
di zaman sekarang tidak lagi bermunculan para imam sekaliber al-Syafi'i,
al-Ghazali, al-Nawawi ataupun al-Suyuthi? Hal itu tiada lain karena Allah SWT
telah melemahkan daya fikir umat ini sebagai peringatan akan berakhirnya zaman
dan semakin dekatnya hari kiamat. Karena itu semua termasuk dari tanda-tanda
kiamat yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: "Termasuk tanda-tanda
kiamat adalah hilangnya ilmu dan tetapnya kebodohan." (H.R. Muslim).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan makalah yang telah kami tulis, dalam bab ini kami memberikan
kesimpulan secara garis besarnya sesuai pokok pemikiran dalam setiap
pembahasannya, sehingga kita lebih mudah menangkap informasi yang telah kami
tuliskan dalam bab terdahulu.
Ijtihad
menempati posisi sentral dalam Islam. Keberlangsungan sebuah syari’at sangat
bergantung kepadanya. Keberadaan ijtihad senantiasa dibutuhkan dalam setiap
sisi kehidupan umat. Namun, yang penting untuk direnungkan adalah bahwa
aktifitas ijtihad adalah aktifitas yang sangat mungkin, bahkan mudah untuk
dilakukan, namun harus melalui proses yang benar dan terprogram, melalui
mekanisme yang sistematis tidak asal ijtihad. Ijtihad haruslah dilakukan oleh
orang-orang yang memang kompeten. Orang awam yang tidak memiliki kualifikasi
ijtihad dilarang melakukannya. Ia cukup melakukan taqlid saja kepada para
mujtahid terdahulu.
Ijtihad pada saat ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu ijtihad tarjihi
intiqa’i (selektif) dan ijtihad ibda’i insya’i (kreatif)
Ijtihad tarjihi intiqa’i ialah memilih satu pendapat dari
beberapa pendapat terkuat yang terdapat pada warisan fikih islam yang telah
penuh dengan fatwa dan keputusan hukum. Sikap Ini bukan berarati mengambil atau
mempedomani salah satu mazhab fikih yang menurut kebiasan kita paling
cocok untuk kemudian diterapkan sebagai way of life nya tanpa mau mengkaji secara seksama dasar-dasar
pemikiran orang yang diikutinya (taklid a’ma)
Ijtihad ibda’i insya’i adalah usaha pengambilan sebuah
kesimpulan hukum baru dari persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu
baik itu permasalahan lama ataupun mengenai permasalahan kekinian atau dalam
ungkapan lain ijtihad insyai adalah meliputi sebagian persoalan klasik yaitu
dengan cara seorang mujtahid kontemporer untuk memiliki pandangan baru yang
berbeda dan belum pernah diketengahkan oleh para ulama salaf.
Ada
yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar abad ke-2 atau
ke-3 H. jika kita mengatakan bahwa semua pintu ijtihad dengan berbagai macam
tingkatan telah tertutup sejak masa itu, maka hal itu tidak bisa diterima.
Sejarah telah membuktikan bahwa setiap masa tidak akan pernah sepi dari
mujaddid. Para ulama mengatakan bahwa mujaddid-mujaddid itu adalah para
mujtahid.
Menyikapi perbedaan tentang tertutup dan
terbukanya ijtihad sebenarnya
kita bisa mengambil jalan tengah dari keduanya. Ulama yang memfatwakan bahwa
ijtihad telah tertutup dan sudah tidak ada lagi mujtahid pada zaman ini yang
dimaksud mereka adalah ijtihad dan mujtahid muthlak baik yang mutstaqil maupun
ghairu mutstaqil. Sedangkan para ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad
masih terbuka dan setiap masa tidak boleh sepi dari seorang mujtahid adalah
mujtahid yang tingkatannya berada di bawah mujtahid mutlak.
B. Saran
Demikian penulisan
makalah yang sangat sederhana ini telah kami selesaikan, semoga bisa memberikan
manfaat dan berkontribusi dalam penyebaran ilmu pengetahuan. Namun demikian
kami menyadari bahwa apa yang kami sampaikan masih banyak kesalahan maupun
kekurangannya. Untuk itu bagi para pembaca, kami harapkan saran maupun
masukannya untuk perbaikan penulisan ini maupun untuk penulisan-penulisan yang
akan datang, terimakasih
DAFTAR
PUSTAKA
Abdus
Salam, Pembaruan Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: Lesfi, 2003
Abu Zahrah,Ushul
al Fiqh,Kairo,Dar al Araby,tt
Muhammad
Khudhori al-Tsubuty,
Artikel dengan judul Terbukanya Pintu Ijtihad, /2009/02/01/
Yusuf
Qardhawi, Ijtihad kontemporer,Surabaya: Risalah Gusti, 2000
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar