Senin, 19 Desember 2016

Macam dan Syarat Ijtihad



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Mengingat pentingnya dalam syari’at islam yang disampaikan dalam Al-Qur’an dan Assunah maka memerlukan penelaahan dan pengkajian ilmiah secara komprehensif yang sungguh-sungguh serta berkesinambungan. Sehingga syari’at islam dapat dipahami secara utuh.
Akhir-akhir ini, sebagian cendekiawan islam merasa berhak dan mau berijtihad, tanpa melihat kesulitan proses ijtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan masalah mau atau tidak mau, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang tidak mampu untuk berijtihad mengundang bahaya bagi umat, sebab untuk melakukan ijtihad tidaklah mudah apalagi hanya berdasarkan keinginannya semata, tetapi seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bisa membawa ke derajat mujtahid sehimgga hasil ijtihadnya mampu menjadi solusi untuk permasalahan umat.
Oleh karena itu, makalah ini akan membahas tentang ijtihad, macam-macam dan syaratnya, dengan harapan untuk dapat memberikan gambaran dan pengetahuan dasar tentang macam dan syarat ijtihad, sehingga dapat memberikan pemahaman kepada umat dalam hal tersebut.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan masalah yang diangkat dalam makalah ini yaitu :
1.      Apa pengertian ijtihad ?
2.      Apa saja macam-macam ijtihad ?
3.      Apa saja bentuk-bentuk ijtihad ?
4.      Bagaimana syarat-syarat ijtihad ?
C.    Tujuan Penulisan
Dengan perumusan masalah yang telah disampaikan tersebut, maka dalam penulisan makalah ini mempunyai tujuan untuk :
1.      Mengetahui pengertian ijtihad
2.      Mengetahui macam-macam ijtihad
3.      Mengetahui bentuk-bentuk ijtihad
4.      Memahami syarat-syarat ijtihad

 
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijtihad
Menurut bahasa, kata Ijtihad berasal dari bentuk fi’il madi yakni Ijtihada, bentuk fi’il mudhori’ yaitu yajtahidu, dan bentuk masdar yakni Ijtihadan yang artinya telah bersungguh-sungguh , mencurahkan tenaga, menggunakan pikiran, dan bekerja semaksimal mungkin.Secara terminologi (istilah) pengertian Ijtihad adalah suatu pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohani untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.
Ijtihad dipandang sebagai sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan hadis, serta turut memegang fungsi penting dalam penetapan hukum Islam. Telah banyak contoh hukum yang dirumuskan dari hasil ijtihad ini. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad.[1]
Ide ijtihad ini mempunyai dasar pada ayat al-qur’an yang menyatakan:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِين
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami. Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS Al Ankabut: 69)[2].
Ijtihad memiliki garis besar seperti berikut:
1.         ( Pekerjaan) pengarahan daya pikir sekuat-kusatnya.
2.         (Pelaku) ahli fiqih, ahli hukum agama islam yang memenuhi persyaratan yang disebut mujtahid.
3.         (Lapangan) suatu masalah yang tidak terdapat nash sorihnya dalam Al-Qur’an.
4.         (Tujuan) mendapat/menemukan hukum tentang suatu masalah.
5.         (Sifat hukum) dzanny, bukan qot’ie (dugaan kuat, bukan kepastian).
6.         (Dasar/sumber) Al-Qur’an dan hadist
7.         (Sistem/kaedah) menurut jalan pikiran, logika dan metode tertentu dan teratur dalam ilmu ushul fiqih, dibantu dengan qowa’idul ahkam, al-qowaidul fiqhiyah (kaedah-kaedah fiqih dan sebagainya)[3].
Berdasarkan garis besar ijtihad diatas maka ijtihad dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan pengambilan keputusan hukum dengan daya pikir yang dilakukan oleh ahli hukum agama dalam masalah-masalah yang tidak terdapat nashnya baik dalam Al-Qur’an maupun As Sunnah dengan berdasar pada petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan A Sunnah dengan cara dan metode tertentu.
B.     Macam-Macam Ijtihad
Ijtihad menurut tingkatan-tingkatannya secara berurutan dari yang tertinggi sampai yang paling rendah adalah :
1.      Ijtihad Muthlaq/Mustaqil,
Yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma- norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari tingkatanini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab Empat.
2.      Ijtihad Muntasib,
Yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah- kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut.
Contohnya, dari mazhab Syafi’i seperti Muzany dan Buwaithy. Darimadzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama/mujtahid muthalaq/mustaqil.
3.      Ijtihad mazhab atau fatwa,
yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu’/fiqih yang telah dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya, men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan mana yang lemah.
Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari madzhab Syafi’i.
4.      Ijtihad di bidang tarjih,
Yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi’i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi’i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan.[4]
Mengenai perbedan pengelompokan ketiga dan keempat ini tidaklah harus diperdebatkan, apakah antara kelompok ketiga dan keempat ini menjadi satu kelompok atau tidak, karena memang hanya sedikit sekali perbedaanya sehngga menjadi sulit untuk membedakannya. Namun selanjutnya dalam makalah ini tetap kami bedakan. Karena kami memang melihat bahwa ada perbedaan, yaitu pada kelompok keempat dengan mentarjih satu lingkingan mazhab tertentu maupun lintas lingkungan mazhab, namun pada kelompok ketiga hanya pada satu lingkungan mazhab saja.

C.    Bentuk-Bentuk Ijtihad
Beberapa bentuk Ijtihad yang dikenal dalam syari’at Islam adalah sebagai berikut[5] :
1.      Ijma’
Ijma’ artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat. Contohnya adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2.      Qiyâs
Qiyas artinya menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya. Beberapa definisi qiyâs (analogi):
a.       menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara keduanya.
b.      hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.
c.       Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau [Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
Contohnya adalah pada surat Al isra ayat 23 dikatakan bahwa perkataan ‘ah’, ‘cis’, atau ‘hus’ kepada orang tua tidak diperbolehkan karena dianggap meremehkan atau menghina, apalagi sampai memukul karena sama-sama menyakiti hati orang tua.
3.       Istihsân
Beberapa definisi Istihsân antara lain:
a.       Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
b.      Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya.
c.       Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
d.      Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
e.       Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.
Contohnya, menurut aturan syarak, kita dilarang mengadakan jual beli yang barangnya belum ada saat terjadi akad. Akan tetapi menurut Istihsan, syarak memberikan rukhsah (kemudahan atau keringanan) bahwa jual beli diperbolehkan dengan system pembayaran di awal, sedangkan barangnya dikirim kemudian.
4.      Maslahah murshalah
Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan. Contohnya, dalam Al Quran maupun Hadist tidak terdapat dalil yang memerintahkan untuk membukukan ayat-ayat Al Quran. Akan tetapi, hal ini dilakukan oleh umat Islam demi kemaslahatan umat
5.      Sududz Dzariah
Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentinagn umat.
6.      Istishab
Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya. Contohnya, seseorang yang ragu-ragu apakah ia sudah berwudhu atau belum. Di saat seperti ini, ia harus berpegang atau yakin kepada keadaan sebelum berwudhu sehingga ia harus berwudhu kembali karena shalat tidak sah bila tidak berwudhu.
7.      Urf
Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis. Contohnya dalah dalam hal jual beli. Si pembeli menyerahkan uang sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya tanpa mengadakan ijab kabul karena harga telah dimaklumi bersama antara penjual dan pembeli.

D.    Syarat-Syarat Ijtihad
Untuk menghindari kesalahan dalam berijtihad dibutuhkan kejujuran intelektual, ikhlas dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang seluk beluk masalah ijtihad. Untuk melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bisa membawa ke derajat mujtahid.
Adapun syarat-syarat ijtihad yang hampir selalu disebut-sebut oleh umumnya para ulama ushul, yaitu[6] :
1.      Berpengetahuan luas tentang Al-Qur’an dan Ulumul-Qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an) serta segala yang terkait, teristimewa dalam masalah hukum.
2.      Memiliki ilmu yang cukup dalam mengenai hadits, terutama soal hukum dan mengetahui sumber hukum, sejarah, maksud hubungan hadits2 itu dengan hukum-hukum Al-Qur’an.
3.      Menguasai masalah-masalah atau tema tema pokok yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma’ Sahabat dan ulama Salaf (2 generasi setelah para sahabat Rasulullah SAW).
4.      Mempunyai wawasan luas tentang Qiyas dan dapat menggunakannya untuk Istimbath (menggali dan menarik kesimpulan) hukum.
5.      Menguasai ilmu Ushuluddin (Dasar-dasar ilmu agama), Ilmu Manthiq (ilmu logika), Bahasa Arab dari segala seginya (Nahwu, Sharaf, Balaghah dsb), dengan cukup sempurna.
6.      Punya pengetahuan luas tentang Nasikh-Mansukh (yang menghapus dan yang dihapus) dalam Al-Qur’an, Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya Al-Qur’an) dan tertib turunnya ayat.
7.      Mengetahui secara mendalam Asbabul Wurud (sebab-sebab turun) hadits, ilmu riwayat hadits, dan sejarah para perawi hadits, dan dapat membedakan berbagai macam hadits.
8.      Menguasai kaidah-kaidah Ushul Fiqh (Dasar-dasar pemahaman hukum).
9.      Berpengetahuan lengkap mengenai lima aliran pemikiran dan mempunyai pemahaman kesadaran yang menyeluruh atas realita masa kini, yakni mekanisme, ilmu dan teknologi, cara-cara kerja dari sistem politik dan ekonomi modern, serta kesadaran akan hubungan dan pengaruh mereka terhadap masyarakat budaya dan lingkungan.
10.  Harus bersifat adil dan taqwa, hidup dalam kesalehan dan kedisiplinan, serta mengenal manusia dan alam sekitarnya.
Syarat-syarat ijtihad yang telah diungkap oleh mayoritas ulama ushul tersebut diatas adalah suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan  menjadi keharusan untuk  dipenuhi oleh orang yang akan berijtihad.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ijtihad adalah suatu pekerjaan yang mempergunakan segala kesanggupan daya rohani untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun suatu pendapat dari suatu masalah hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits. Ide ijtihad ini mempunyai dasar pada ayat al-qur’an yang menyatakan:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِين
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami. Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS Al Ankabut: 69)
Masalah ijtihad sebenarnya bukan masalah mau atau tidak mau, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu. Untuk melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
B.     Saran
Demikian makalah Ijtihad dalam mata kuliah Ushul Fiqih, yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua, Amin.



DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra Group. 1994),
Achmad, Hukum Islam ( Jember: Fakultas Hukum UNEJ, 1999)
Amir Mu’allim Yusdani, Ijtihad dan legislasi, (Yogyakarta: UII PRESS. 2004
Anwar, Junaidi. Pendidikan Agama Islam Lentera Kehidupan (Jakarta: Yudistira, 2007)
Ash-shiddiq, Hasbi, Pengantar Hukum Islam jilid I, (Yokyakarta: PT Bulan Bintang, 2000)
Mukti Ali,  Ijtihad dalam Pandangan Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990)


[1] Prof.Dr.A. Mukti Ali,  Ijtihad dalam Pandangan Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990) hlm 24.
[2] Amir Mu’allim Yusdani, Ijtihad dan legislasi, (Yogyakarta: UII PRESS. 2004), hlm12.
[3] Marbaie, Achmad, Hukum Islam, (Jember: Fakultas Hukum UNEJ, 1999) hlm 48
[4] Anwar, Junaidi. Pendidikan Agama Islam Lentera Kehidupan, (Jakarta: Yudistira, 2007) hlm 80
[5] Ash-shiddiq, Hasbi, Pengantar Hukum Islam jilid I (Yokyakarta: PT Bulan Bintang, 1980) hlm 97
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Toha Putra Group. 1994) hlm 340

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembelajaran dalam perjalanan pendidikan guru penggerak

Pendidikan Guru Penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatih...