Selasa, 20 Desember 2016

DI BALIK KATA "AKU MALAS SEKOLAH"

Image result for cartoon kelas tidak kondusifImage result for cartoon kelas tidak kondusif



Seorang pengamat pendidikan dari India, Anthony De Mello pernah berkata bahwa andaikata semua anak dibebaskan untuk memilih kegiatan yang disukainya, tentu tak aka nada anak yang mau bersekolah. Menurut praktisi pendidikan, dengan metode cerita tersebut, tidak ada yang paling dibenci oleh anak-anak selain sekolah formal, dengan segala atribut kerapian dan pekerjaan rumahnya.
Kendati bersifat satire, namun pernyataan De Mello tersebut merupakan catatan kritis dan warning, bahwa masih banyak sekolah formal yang justru membuat si anak merasa enggan melakoninya. Alih-alih bergembira karena bersekolah (yang seharusnya merupakan tempat fun untuk belajar dan mengembangkan diri), si anak justru teraliensi ketika bersekolah. Itulah yang membuat si anak sering malas untuk bersekolah.
Padahal, memanusiakan manusia, merupakan agenda utama pendidikan dan tujuan paling dasar dari perbuatan mendidik. Kata mendidik berasal dari kata educare (latin) yang berarti keluar dari. Jadi, proses pendidikan mengandung makna adanya subjek dewasa membantu bagi yang belum dewasa untuk keluar dari kemelut ketidak dewasaan. Proses ini akan berhasil jika pendidik mempunyai pengetahuan mengenai citra dan pemuliaan manusia. Sayangnya pendidikan saat ini tidak sedikit yang lebih mencerminkan pendidikan “Gaya Bank”, yang menurut Paulo Freire system ini memiliki beberapa ciri, yaitu: guru mengjar, murid diajar.
Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa. Guru bercerita, murid mendengarkan. Guru menentukan peraturan, murid diatur. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui. Guru berbuat. Murid membayangkandirinya berbuat melalui perbuatan gurunya. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan jabatannya yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid. Guru adalah subjek dalam proses belajar, murid adalah objek belaka. Konsep pendidikan Gaya Bank memandang manusia sebagai mahluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang diatur.
Anak didik tidak membutuhkan pengajaran sebanyak kebutuhan akan kasih saying dan pengertian. Untuk menjadi manusia yang baik secara alamiah, mereperlu kebebasan dan restu. Namun, ternyata dunia ini menderita akibat begitu banyak kutukan, artinya begitu banyak kebencian. Kebencian orang tua menghasilkan anak “bermasalah”; kebencian masyarakat membiakkan kriminalitas. Penyelamatan datang dari cinta.
Menurut Hammacheek, guru-guru yang efektif tampaknya adalah guru-guru yang “manusiawi”. Mereka mempeunyai rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis dibandingkan otoriter, dan mereka harus mampu berhubungan dengan mudah dan wajar dengan para siswa, baik secara perorangan mauoun kelompok. Ruang kelas tampak seperti perusahaan kecil dengan pengertian bahwa mereka lebih terbuka, spontanitas, mampu menyesuaikan diri kepada perubahan, dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan siswa mereka.
Dikutip dari:
Aprinalistria, S.Psi., S.Fil., 2007, Sekolah, Bukan segalanya (pendidikan kritis ala totto-chan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembelajaran dalam perjalanan pendidikan guru penggerak

Pendidikan Guru Penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatih...