Seorang pengamat pendidikan dari
India, Anthony De Mello pernah berkata bahwa andaikata semua anak dibebaskan
untuk memilih kegiatan yang disukainya, tentu tak aka nada anak yang mau
bersekolah. Menurut praktisi pendidikan, dengan metode cerita tersebut, tidak
ada yang paling dibenci oleh anak-anak selain sekolah formal, dengan segala
atribut kerapian dan pekerjaan rumahnya.
Kendati bersifat satire, namun
pernyataan De Mello tersebut merupakan catatan kritis dan warning, bahwa masih banyak sekolah formal yang justru membuat si
anak merasa enggan melakoninya. Alih-alih bergembira karena bersekolah (yang
seharusnya merupakan tempat fun untuk
belajar dan mengembangkan diri), si anak justru teraliensi ketika bersekolah. Itulah
yang membuat si anak sering malas untuk bersekolah.
Padahal, memanusiakan manusia,
merupakan agenda utama pendidikan dan tujuan paling dasar dari perbuatan
mendidik. Kata mendidik berasal dari kata educare
(latin) yang berarti keluar dari. Jadi,
proses pendidikan mengandung makna adanya subjek dewasa membantu bagi yang
belum dewasa untuk keluar dari kemelut ketidak dewasaan. Proses ini akan
berhasil jika pendidik mempunyai pengetahuan mengenai citra dan pemuliaan
manusia. Sayangnya pendidikan saat ini tidak sedikit yang lebih mencerminkan
pendidikan “Gaya Bank”, yang menurut Paulo Freire system ini memiliki beberapa ciri,
yaitu: guru mengjar, murid diajar.
Guru mengetahui segala sesuatu, murid
tidak tahu apa-apa. Guru bercerita, murid mendengarkan. Guru menentukan
peraturan, murid diatur. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid
menyetujui. Guru berbuat. Murid membayangkandirinya berbuat melalui perbuatan
gurunya. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan jabatannya yang
ia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid. Guru adalah subjek dalam proses
belajar, murid adalah objek belaka. Konsep pendidikan Gaya Bank memandang
manusia sebagai mahluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang
diatur.
Anak didik tidak membutuhkan
pengajaran sebanyak kebutuhan akan kasih saying dan pengertian. Untuk menjadi
manusia yang baik secara alamiah, mereperlu kebebasan dan restu. Namun,
ternyata dunia ini menderita akibat begitu banyak kutukan, artinya begitu
banyak kebencian. Kebencian orang tua menghasilkan anak “bermasalah”; kebencian
masyarakat membiakkan kriminalitas. Penyelamatan datang dari cinta.
Menurut Hammacheek, guru-guru yang
efektif tampaknya adalah guru-guru yang “manusiawi”. Mereka mempeunyai rasa
humor, adil, menarik, lebih demokratis dibandingkan otoriter, dan mereka harus
mampu berhubungan dengan mudah dan wajar dengan para siswa, baik secara
perorangan mauoun kelompok. Ruang kelas tampak seperti perusahaan kecil dengan
pengertian bahwa mereka lebih terbuka, spontanitas, mampu menyesuaikan diri
kepada perubahan, dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan siswa mereka.
Dikutip dari:
Aprinalistria, S.Psi., S.Fil., 2007, Sekolah, Bukan segalanya (pendidikan kritis
ala totto-chan), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar