A.
Pengertian Oksidentalisme
Oksidentalisme
dijelaskan dalam “ The World University Encyclopedia” berasal dari kata
occident secara etimologi berarti Barat, dan secara geografis adalah belahan
bumi bagian Barat.
Berpijak dari
makna etimologi diatas, oksidentalisme yang terdiri dari kata “occident” (
barat ) dan “ism” ( paham atau aliran ) menujuk pada suatu pengertian faham
atau aliran yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia
Barat: baik budaya, ilmu, dan aspek –aspek lainnya.
Hanafi
mengatakan bahwa oksidentalisme adalah kebalikan dari orientalisme. Jika object
kajian orientalisme adalah Timur, dan lebih khusus lagi adalah Islam, maka
dalam oksidentalisme yang menjadi object kajiannya adalah Barat. Ini, berarti,
Hanafi melakukan pembalikan paradigma subject – subject dalam orientalisme,
yaitu Timur sebagai subject dan Barat sebagai object.
Mukti Ali
(1992) mengartikan oksidentalisme adalah teori – teori dan ilmu – ilmu tentang
agama, kebudayaan, dan peradaban Barat.
Selanjutnya
Menurut Nurcholis Madjid (2000) oksidentalisme adalah pengetahuan akademik
tentang budaya, bahasa, dan bangsa-bangsa Barat.
B.
Kelahiran
Oksidentalisme
Pada abad 17
sampai dengan abad 18 M, adalah masa kemunduran bagi dunia islam. Hilangnya
rasionalisme dan mengentalnya sufisme dalam kehidupan masyarakat merupakan
fenomena yang menggenjala dan sekaligus sebagai pertanda bagi kemunduran Islam.
Sebaliknya, dunia Barat sedang mencapai prestasi di bidang sains dan teknologi.
Raihan prestasi yang dicapai mendorong Barat untuk memperluas wilayah
pendudukan di berbagai negara yang menjanjikan perekonomian.
Sebagai upaya
untuk mengejar ketertinggalan dan melepaskan cengkraman koloni Barat, dunia
Islam ,terutama Mesir dan Turki mempelajari kemajuan – kemajuan Barat dibidang
sains dan teknologi. Untuk itu, beberapa delegasi dan pelajar dikirim ke Barat
untuk belajar (Nasr,1994). Sekitar 2 abad
Barat dalam berbagai hal, belum bisa mengantarkan dunia Islam kepada
kemajuan yang diharapkan. Sementara studi tentang pemikiran atau filsafat Barat
masih premature dan belum menemukan esensi dari kajian tersebut. Ketidakpuasan
dari kajian tersebut dapat dilihat dari 2 faktor, yaitu Kajian yang masih sarat
dengan bias dan subjektifitas. Dan Kajian yang ada tidak lebih dari sekedar
promosi peradaban orang lain yang kering dari kritisisme.
Kondisi kajian
serupa dan hegemoni Barat memotivasi para pemikir Islam untuk melakukan kajian
terhadap kebaratan secara kritis.Pada mulanya kajian ini ditujukan kepada
orientalisme. Seperti kajian al Tibawi terhadap karya – karya orientalis dimana
ia menyimpulkan bahwa kajian keislaman yang dilakukan Barat dilatarbelakangi
oleh motivasi missionaries Kristen dan politik ( new crusades ).
Setelah
dilakukan kajian ulang terhadap orientalisme, ia tidak lagi menjadi subject
studi yang menarik.Dampak lainnya para pengkaji ketimuran merasa tidak senang
disebut Orientalis,tetapi lebih senang disebut Egyptolog atau Islamolog.
Dalam
perspektif ini, Oksidentalisme menemukan momen kelahirannya . Oksidentalisme
merupakan ilmu masa depan yang berusaha merubah diskursus Arab – Islam
kontemporer dalam mempelajari Barat. Pemikiran Hanafi tersebut dikarenakan
beberapa hal yang melatarbelakangi, yaitu :
1.
Terjadinya
hubungan yang tidak seimbang antara Barat dan Timur.
2.
Selama 200
tahun umat Islam ada dala keterbelakangan dan selalu bersikap taklid terhadap
Barat.
3.
Transformasi
pemikiran dari Barat ka dunia Islam selama ini hanya dilakukan dengan
penerjemahan karya – karya Barat.
Oksidentalisme
dibangun bukan untuk menguasai tetapi hanya ingin bebas untuk kemudian bisa duduk dalam level yang sama
antara Barat dan Tinur.
C.
Akar Sejarah
oksidentalisme
Menurut Hanafi
oksidentalisme yang dibangunya mempunyai akar sejarah dalam khasanah keilmuan
Islam. karena hubungan antara dunia
Islam dan Barat tidak hanya terjadi pada abad modern, melainkan telah dimulai
sejak 12 abad yang silam. Hal itu terjadi ketika ulama’ berhadapan khususnya
dengan filsafat Yunani.
Studi
oksidentalisme terjadi ketika Islam berada pada puncak kejayaanya dan sebagai
pusat peradaban dunia. Pada awalnya, umat Islam lebih bersikap pasif dalam
mengkaji budaya dan pemikiran yunani. Kajian dalam fase ini, ditekankan hanya
untuk mengetahui pemikiran-pemikiran tersebut kemudian dialihbahasakan secara
tekstual kedalam bahasa Arab, tanpa melakukan kajian lebih kritis lagi. Ada
beberapa faktor yang melatar belakangi dilakukanya penerjemahan secara
tekstual, antara lain; untuk menjaga keaslian bahasa, keterbatasan bahasa Arab
dalam memahami tema-tema baru yang tidak dijumpai sebelumnya, dan bangun logika
yang belum dimilki oleh umat Islam ketika itu. Karenanya, fase ini disebut
dengan dengan masa terjemahan tekstual.
Menginjak fase selanjutnya, umat Islam tidak lagi
menerjemahkan pemikiran Yunani secara tekstual, tetapi secara kontekstual.
Artinya upaya tranformasi pemikiran Yunani kedalam Islam lebih ditekankan pada
makna yang dikandungnya. banyaknya kosa kata Arab tentang istilah-istalah asing
yang dikenalnya, dan semakin pahamnya ulama Islam tentang filsafat Yunani
memungkinkan bagi mereka untuk mentransfer pemikiran Yunani secara kontekstual.
Pada fase ini istilah-istilah asing diupayakan untuk diganti dengan
istilah-istilah Arab, sehingga bahasa Arab semakin kaya akan istilah-istilah
filsafat.
Setelah melalui
dua tahap di atas, para ulama Islam dalam mengkaji mulai memberi komentar dan
penjelasan terhadap teks-teks yang ada. Ini berarti meningkat setingkat
tataranya, dari penerjemah menjadi komentator (syarikh).
Fase
selanjutnya ulama Islam melakukan kajian filsafat secara tematik, yaitu
mengkaji beberapa subjek yang dianggap penting untuk disusun dalam suatu
karaya, tahapan ini disebut fase peringkasan (talkhish).
D.
Tokoh-tokoh
Oksidentalisme
Tokoh – Tokoh oksidentalisme yang merupakan para pemikir dan
pembaharu islam, yaitu (Daya, 2008) :
1.
Jamaluddin
al-Afghani.
Jamaluddin
Al-Afghani adalah pahlawan besar dan salah seorang putra terbaik Islam.
Kebesaran dan kiprahnya membahana hingga ke seluruh penjuru dunia. Sepak
terjangnya dalam menggerakkan kesadaran umat Islam dan gerakan revolusionernya
yang membangkitkan dunia Islam, menjadikan dirinya orang yang paling dicari
oleh pemerintahan kolonial ketika itu, Inggris. Tapi, komitmen dan konsistennya
yang sangat tinggi terhadap nasib umat Islam, membuat Al-Afghani tak pernah
kenal lelah apalagi menyerah.
2.
Dr. Muhammad
Abduh.
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Lahir didesa
Mahallat Nashr di kabupaten al-Buhairah, Mesir tahun 1849 M. Dan beliau wafat
pada tahun 1905 M.
3.
Sheikh Muhammad
Rasyid Ridha.
Muhammad
Rasyid Ridha, lahir di Qalmun, sebuah desa sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon
pada 27 Jumadil Awal 1282 H.; Beliau adalah bangsawan Arab yang memiliki garis
keturunan langsung dari Sayyidina Husen, putera Ali bin Abu Thalib dan Fatimah
puteri Rasulullah Saw.
4.
Dr. Muhammad
Imarah.
Muhammad
Imarah atau Amarah lahir di Desa Sharwah-Qalain Propinsi Kafr Al-Syaikh Mesir,
seorang intelektual kelas kakap di Tanah Arab. Responnya yang cukup antusias
pada dunia akademis, terutama dalam menyikapi tren pemikiran Islam, telah
mengibarkan namanya dalam dunia pendidikan dan pemikiran Islam kontemporer.
5.
Dr. Hasan
Hanafi.
Dilahirkan
di Cairo, Mesir pada 14 Februari 1934 M. Hasan Hanafi, pemikir muslim modernis
dari Mesir, adalah salah satu tokoh yang akrab dengan simbol-simbol pembaruan
dan revolusioner, seperti Islam kiri, oksidentalisme, Tema-tema tersebut ia
kemas dalam rangkaian proyek besar; pembaruan pemikiran Islam, dan upaya
membangkitkan umat dari ketertinggalan dan kolonialisme modern.
6.
Nurcholish
Madjid.M.A.
Lahir
di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren.
Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan
Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso,
Jombang; KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di
Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab,
1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984).
7.
Adian Husaini,
M.A.,
Lahir
Bojonegoro, 17 Desember 1965 adalah ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia,
sekretaris jenderal Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan
Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina-Majelis Ulama Indonesia
(KISP-MUI), Anggota Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia
(MUI), dan anggota pengurus Majlis Tabligh Muhammadiyah.
E.
Urgensi
Oksidentalisme Terhadap Pembaruan Islam
1.
Pembaruan Islam
dalam perspektif Hanafi
Istilah pembaruan Islam dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa
Arab tajdid dan dalam bahasa inggris sering diterjemahkan dengan modernism.
Tajdid secara bahasa biasa dipahami ”memperbarui”.
Dalam perkembangan selanjutnya pengertian tentang pembaruan
mengalami perkembangan dan perubahan. Berikut ini akan dikedepankan tiga model
pembaruan dalam sejarah pemikiran Islam yang masing-masing mempunyai konsep
yang berada.
pertama, pembaruan dipahami sebagai upaya untuk menghidupkan
kembali (revitalisasi) tradisi di masa Rasulullah dan masa sahabat (Al-Maududi,
1985). Ini berarti pembaruan dilakukan atas dasar otoritas ajaran (shalat) dan
nilai-nilai tradisional.
Kedua, pembaruan diartikan sebagai upaya untuk memperbarui
pemahaman terhadap agama yang lama yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman. Upaya ini dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur baru tanpa merusak
bangunan dan inti dari pemahaman yang lama.
Ketiga, pembaruan diartikan sebagai upaya untuk menyesuaikan paham
keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan Ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Munculnya ide pembaruan tersebut
dlatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain: pertama, keinginan untuk
menstranfer keinginan prestasi Eropa ke dunia Islam. Kedua, masuknya berbagai
paham yang berkembang di Barat ke dunia
Islam. Ketiga, adanya respon dari pemikir Islam terhadap perubahan-perubahan
yang terjadi akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
ketiga konsep pembaruan
diatas sama-sama mengacu pada upaya tercapainya kemajuan pada dunia Islam serta
sama-sama berpijak pada Islam. Adapun perbedaan makna pembaruan dikarenakan
adanya sudut pandang yang beragam dalam melihat persoalan umat Islam pada satu
sisi dan pada sisi yang lain dikarenakan pendekatan yang berbeda dalam memahami
Islam, diantaranya ada yang menggunakan pendekatan tekstual dan ada yang
menggunakan pendekatan kontekstual serta adapula yang menggunakan pendekatan
tekstual dan kontekstual secara bersamaan.
Pembaruan dari tema pertama dapat diartikan menafsirkan kembali
khasanah pemikiran klasik yang tidak sesuai dengan tuntutan realitas kontemporer umat Islam.
pengertian pembaruan untuk tema yang kedua adalah melakukan kajian terhadap
barat dalam berbagai hal dari sudut pandang timur. Adapaun untuk tema ketiga,
pembaruan dapat diartikan sebagai upaya penafsiran kembali terhadap realita –
menyatunya tradisi Islam dan tradisi barat – umat Islam dewasa ini. Demikian
pembaruan dalam perspektif Hanafi dapat disarikan sebagai upaya rekontruksi
terhadap tradisi Islam dan tradisi Barat yang telah menyatu dan menjadi konstruk
kehidupan yang sedang berlangsung.
2.
Urgensi
oksidentalisme terhadap pembaruan islam
Oksidentalisme bagian tak terpisahkan dari proyek pembaruan Islam,
karenanya perwujudan oksidentalisme sebagai disiplin ilmu yang melakukan kajian
terhadap barat secara akademis dan kritis, merupakan suatu keniscayaan. Suatu
proyek pembaruan Islam yang menafikan perlunya sikap kritis dalam melihat
modernitas Barat dalam bentuk apapun, berarti ia tidak utuh dan komprehensif,
dan karenaya ia akan mengalami kegagalan. Karena itu pokok pembahasan ini punya
relevansi dalam rangka melihat urgensitas pemikiran Hanafi tentang
oksidentalisme terhadap pembaruan Islam.
a.
Oksidentalisme
vs westernisme
Westernisasi
sebagai adalah upaya yang dilakukan pihak barat untuk meleburkan bangsa-bangsa
non-Barat, lebih khusus lagi dunia Islam kedalam peradapan Barat.
Westernisasi
secara etimologi dapat dimaknai sebagai alienasi, yaitu berubahnya ego menjadi
orang lain. Menurut Hanafi, Oksidentalisme dapat dijadikan filter untuk
mengahadapi serangan westernisasi yang sudah meluas wilayah jangkauanya, tidak
saja terbatas dalam kehidupan seni dan budaya, melainkan ia sudah masuk dalam
tatacara kehidupan sehari-hari.
b.
Oksidentalisme
vs Eurosentrisme
Gerakan
westernisasi yang dilakukan sejak masa imperialisme hingga sekarang merupakan
ambisi Barat Untuk menjadikan dirinya sebagai pusat peradaban dunia. Ambisi
realisasi itu mengakibatkan rasa superior barat yang tetap berkeinginan untuk
tetap mempertahankan dominasi atas bangsa-bangsa non-Barat.
Dalam
konteks ini, oksidentalisme dalam kajianya tentang kebaratan dapat dijadikan
sebagai tameng bagi masuknya dunia Barat. Bahkan lebih dari itu, proyek
oksidentalisme adalah bertujuan untuk mengembalikan budaya Barat kepada
batas-batas daerah jangkaunya yang wajar, karena selama ini budaya Barat telah
keluar dari batasan teritorialnya, baik itu lewat usaha kolonialisme, sarana
informasi yang canggih, maupun pusat-pusat penerangan dan riset yang terbesar
dikenyakan Negeri.
c.
Oksidentalisme:
antitesis Orientalisme
Oksidentalisme dalam diskursus pengetahuan
ilmu masih relatif baru, dibanding dengan orientalisme yang telah hadir tiga
abad lalu. Oleh karena itu, cukup beralasan jika dikatan bahwa kelahiran
oksidentalisme sebagai antitesa orientalisme dan dibangun atas dasar logika
analog baik secara ontologis maupun aksiologis. Hal ini sebagai tergambar dari
penjelasan Hanafi, jika orientalisme melihat ego (timur) melalui the other,
maka oksidentalisme melihat the other dari kacamata ego.
Urgensi lain
dari oksidentalisme adalah untuk menghilangkan rasa Inferior umat Islam pada
satu sisi dan pada superior Barat disisi lain. Umat Islam selama empat abad
menjadi objek studi Barat, karenanya lahir rasa inferior, sementara Barat
sebagai subjek studi telah melahirkan rasa superior. Bermula dari rasa rendah
diri umat Islam dihadapan Barat, mereka dalam melakaukan pembaruan senantiasa
menggunakan paradigma Barat. Dengan kata lain transformasi pemikiran Barat ke
dunia Islam tidak dilakukan secara selektif dan kritis.
DAFTAR PUSTAKA
A.Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama
di Indonesia, (Bamdung,Mizan,1992)
Daya, Prof. Dr. Burhanuddin,Pergumulan Timur Menyikapi Barat:
Dasar- Dasar Oksidentalisme,(Yogyakarta:SUKA Press, 2008)
Kastolani, Dari Orientalisme ke
Oksidentalisme,(Salatiga, STAIN Salatiga Press, 2009 )
Munir Pemmican, The World University
Encyclopedia, Vol.VIII, ( Washington, DC, 1965 )
Seyyed Hoesen Nasr, Menjelajah Dunia
Modern, (Bandung :Mizan,1994)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar