Kamis, 23 Juni 2016

Oksidentalisme



A.    Pengertian  Oksidentalisme
Oksidentalisme dijelaskan dalam “ The World University Encyclopedia” berasal dari kata occident secara etimologi berarti Barat, dan secara geografis adalah belahan bumi bagian Barat.
Berpijak dari makna etimologi diatas, oksidentalisme yang terdiri dari kata “occident” ( barat ) dan “ism” ( paham atau aliran ) menujuk pada suatu pengertian faham atau aliran yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia Barat: baik budaya, ilmu, dan aspek –aspek lainnya.
Hanafi mengatakan bahwa oksidentalisme adalah kebalikan dari orientalisme. Jika object kajian orientalisme adalah Timur, dan lebih khusus lagi adalah Islam, maka dalam oksidentalisme yang menjadi object kajiannya adalah Barat. Ini, berarti, Hanafi melakukan pembalikan paradigma subject – subject dalam orientalisme, yaitu Timur sebagai subject dan Barat sebagai object.
Mukti Ali (1992) mengartikan oksidentalisme adalah teori – teori dan ilmu – ilmu tentang agama, kebudayaan, dan peradaban Barat.
Selanjutnya Menurut Nurcholis Madjid (2000) oksidentalisme adalah pengetahuan akademik tentang budaya, bahasa, dan bangsa-bangsa Barat.
B.     Kelahiran Oksidentalisme
Pada abad 17 sampai dengan abad 18 M, adalah masa kemunduran bagi dunia islam. Hilangnya rasionalisme dan mengentalnya sufisme dalam kehidupan masyarakat merupakan fenomena yang menggenjala dan sekaligus sebagai pertanda bagi kemunduran Islam. Sebaliknya, dunia Barat sedang mencapai prestasi di bidang sains dan teknologi. Raihan prestasi yang dicapai mendorong Barat untuk memperluas wilayah pendudukan di berbagai negara yang menjanjikan perekonomian.
Sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan dan melepaskan cengkraman koloni Barat, dunia Islam ,terutama Mesir dan Turki mempelajari kemajuan – kemajuan Barat dibidang sains dan teknologi. Untuk itu, beberapa delegasi dan pelajar dikirim ke Barat untuk belajar (Nasr,1994). Sekitar 2 abad  Barat dalam berbagai hal, belum bisa mengantarkan dunia Islam kepada kemajuan yang diharapkan. Sementara studi tentang pemikiran atau filsafat Barat masih premature dan belum menemukan esensi dari kajian tersebut. Ketidakpuasan dari kajian tersebut dapat dilihat dari 2 faktor, yaitu Kajian yang masih sarat dengan bias dan subjektifitas. Dan Kajian yang ada tidak lebih dari sekedar promosi peradaban orang lain yang kering dari kritisisme.
Kondisi kajian serupa dan hegemoni Barat memotivasi para pemikir Islam untuk melakukan kajian terhadap kebaratan secara kritis.Pada mulanya kajian ini ditujukan kepada orientalisme. Seperti kajian al Tibawi terhadap karya – karya orientalis dimana ia menyimpulkan bahwa kajian keislaman yang dilakukan Barat dilatarbelakangi oleh motivasi missionaries Kristen dan politik ( new crusades ).
Setelah dilakukan kajian ulang terhadap orientalisme, ia tidak lagi menjadi subject studi yang menarik.Dampak lainnya para pengkaji ketimuran merasa tidak senang disebut Orientalis,tetapi lebih senang disebut Egyptolog atau Islamolog.
Dalam perspektif ini, Oksidentalisme menemukan momen kelahirannya . Oksidentalisme merupakan ilmu masa depan yang berusaha merubah diskursus Arab – Islam kontemporer dalam mempelajari Barat. Pemikiran Hanafi tersebut dikarenakan beberapa hal yang melatarbelakangi, yaitu :
1.      Terjadinya hubungan yang tidak seimbang antara Barat dan Timur.
2.      Selama 200 tahun umat Islam ada dala keterbelakangan dan selalu bersikap taklid terhadap Barat.
3.      Transformasi pemikiran dari Barat ka dunia Islam selama ini hanya dilakukan dengan penerjemahan karya – karya Barat.
Oksidentalisme dibangun bukan untuk menguasai tetapi hanya ingin bebas untuk   kemudian bisa duduk dalam level yang sama antara Barat dan Tinur.
C.    Akar Sejarah oksidentalisme
Menurut Hanafi oksidentalisme yang dibangunya mempunyai akar sejarah dalam khasanah keilmuan Islam. karena  hubungan antara dunia Islam dan Barat tidak hanya terjadi pada abad modern, melainkan telah dimulai sejak 12 abad yang silam. Hal itu terjadi ketika ulama’ berhadapan khususnya dengan filsafat Yunani.
Studi oksidentalisme terjadi ketika Islam berada pada puncak kejayaanya dan sebagai pusat peradaban dunia. Pada awalnya, umat Islam lebih bersikap pasif dalam mengkaji budaya dan pemikiran yunani. Kajian dalam fase ini, ditekankan hanya untuk mengetahui pemikiran-pemikiran tersebut kemudian dialihbahasakan secara tekstual kedalam bahasa Arab, tanpa melakukan kajian lebih kritis lagi. Ada beberapa faktor yang melatar belakangi dilakukanya penerjemahan secara tekstual, antara lain; untuk menjaga keaslian bahasa, keterbatasan bahasa Arab dalam memahami tema-tema baru yang tidak dijumpai sebelumnya, dan bangun logika yang belum dimilki oleh umat Islam ketika itu. Karenanya, fase ini disebut dengan dengan masa terjemahan tekstual.
Menginjak  fase selanjutnya, umat Islam tidak lagi menerjemahkan pemikiran Yunani secara tekstual, tetapi secara kontekstual. Artinya upaya tranformasi pemikiran Yunani kedalam Islam lebih ditekankan pada makna yang dikandungnya. banyaknya kosa kata Arab tentang istilah-istalah asing yang dikenalnya, dan semakin pahamnya ulama Islam tentang filsafat Yunani memungkinkan bagi mereka untuk mentransfer pemikiran Yunani secara kontekstual. Pada fase ini istilah-istilah asing diupayakan untuk diganti dengan istilah-istilah Arab, sehingga bahasa Arab semakin kaya akan istilah-istilah filsafat.
Setelah melalui dua tahap di atas, para ulama Islam dalam mengkaji mulai memberi komentar dan penjelasan terhadap teks-teks yang ada. Ini berarti meningkat setingkat tataranya, dari penerjemah menjadi komentator (syarikh).
Fase selanjutnya ulama Islam melakukan kajian filsafat secara tematik, yaitu mengkaji beberapa subjek yang dianggap penting untuk disusun dalam suatu karaya, tahapan ini disebut fase peringkasan (talkhish).
D.    Tokoh-tokoh Oksidentalisme
Tokoh – Tokoh oksidentalisme yang merupakan para pemikir dan pembaharu islam, yaitu (Daya, 2008) :
1.      Jamaluddin al-Afghani.
Jamaluddin Al-Afghani adalah pahlawan besar dan salah seorang putra terbaik Islam. Kebesaran dan kiprahnya membahana hingga ke seluruh penjuru dunia. Sepak terjangnya dalam menggerakkan kesadaran umat Islam dan gerakan revolusionernya yang membangkitkan dunia Islam, menjadikan dirinya orang yang paling dicari oleh pemerintahan kolonial ketika itu, Inggris. Tapi, komitmen dan konsistennya yang sangat tinggi terhadap nasib umat Islam, membuat Al-Afghani tak pernah kenal lelah apalagi menyerah.
2.      Dr. Muhammad Abduh.
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Lahir didesa Mahallat Nashr di kabupaten al-Buhairah, Mesir tahun 1849 M. Dan beliau wafat pada tahun 1905 M.
3.      Sheikh Muhammad Rasyid Ridha.
Muhammad Rasyid Ridha, lahir di Qalmun, sebuah desa sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon pada 27 Jumadil Awal 1282 H.; Beliau adalah bangsawan Arab yang memiliki garis keturunan langsung dari Sayyidina Husen, putera Ali bin Abu Thalib dan Fatimah puteri Rasulullah Saw.
4.      Dr. Muhammad Imarah.
Muhammad Imarah atau Amarah lahir di Desa Sharwah-Qalain Propinsi Kafr Al-Syaikh Mesir, seorang intelektual kelas kakap di Tanah Arab. Responnya yang cukup antusias pada dunia akademis, terutama dalam menyikapi tren pemikiran Islam, telah mengibarkan namanya dalam dunia pendidikan dan pemikiran Islam kontemporer.
5.      Dr. Hasan Hanafi.
Dilahirkan di Cairo, Mesir pada 14 Februari 1934 M. Hasan Hanafi, pemikir muslim modernis dari Mesir, adalah salah satu tokoh yang akrab dengan simbol-simbol pembaruan dan revolusioner, seperti Islam kiri, oksidentalisme, Tema-tema tersebut ia kemas dalam rangkaian proyek besar; pembaruan pemikiran Islam, dan upaya membangkitkan umat dari ketertinggalan dan kolonialisme modern.
6.      Nurcholish Madjid.M.A.
Lahir di Jombang, 17 Maret 1939 (26 Muharram 1358), dari keluarga kalangan pesantren. Pendidikan yang ditempuh: Sekolah Rakyat di Mojoanyar dan Bareng (pagi) dan Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar (sore); Pesantren Darul 'Ulum di Rejoso, Jombang; KMI (Kulliyatul Mu'allimin al-Islamiyah) Pesantren Darus Salam di Gontor, Ponorogo; IAIN Syarif Hidayatullah di Jakarta (Sarjana Sastra Arab, 1968), dan Universitas Chicago, Illinois, AS (Ph.D., Islamic Thought, 1984).
7.      Adian Husaini, M.A.,
Lahir Bojonegoro, 17 Desember 1965 adalah ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, sekretaris jenderal Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Komite Indonesia untuk Solidaritas Palestina-Majelis Ulama Indonesia (KISP-MUI), Anggota Komisi Kerukunan Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan anggota pengurus Majlis Tabligh Muhammadiyah.
E.     Urgensi Oksidentalisme Terhadap Pembaruan Islam
1.      Pembaruan Islam dalam perspektif  Hanafi
Istilah pembaruan Islam dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa Arab tajdid dan dalam bahasa inggris sering diterjemahkan dengan modernism. Tajdid secara bahasa biasa dipahami ”memperbarui”.
Dalam perkembangan selanjutnya pengertian tentang pembaruan mengalami perkembangan dan perubahan. Berikut ini akan dikedepankan tiga model pembaruan dalam sejarah pemikiran Islam yang masing-masing mempunyai konsep yang berada.
pertama, pembaruan dipahami sebagai upaya untuk menghidupkan kembali (revitalisasi) tradisi di masa Rasulullah dan masa sahabat (Al-Maududi, 1985). Ini berarti pembaruan dilakukan atas dasar otoritas ajaran (shalat) dan nilai-nilai tradisional.
Kedua, pembaruan diartikan sebagai upaya untuk memperbarui pemahaman terhadap agama yang lama yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Upaya ini dilakukan dengan memasukkan unsur-unsur baru tanpa merusak bangunan dan inti dari pemahaman yang lama.
Ketiga, pembaruan diartikan sebagai upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Munculnya ide pembaruan tersebut dlatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain: pertama, keinginan untuk menstranfer keinginan prestasi Eropa ke dunia Islam. Kedua, masuknya berbagai paham yang berkembang di Barat  ke dunia Islam. Ketiga, adanya respon dari pemikir Islam terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
ketiga  konsep pembaruan diatas sama-sama mengacu pada upaya tercapainya kemajuan pada dunia Islam serta sama-sama berpijak pada Islam. Adapun perbedaan makna pembaruan dikarenakan adanya sudut pandang yang beragam dalam melihat persoalan umat Islam pada satu sisi dan pada sisi yang lain dikarenakan pendekatan yang berbeda dalam memahami Islam, diantaranya ada yang menggunakan pendekatan tekstual dan ada yang menggunakan pendekatan kontekstual serta adapula yang menggunakan pendekatan tekstual dan kontekstual secara bersamaan.
Pembaruan dari tema pertama dapat diartikan menafsirkan kembali khasanah pemikiran klasik yang tidak sesuai dengan  tuntutan realitas kontemporer umat Islam. pengertian pembaruan untuk tema yang kedua adalah melakukan kajian terhadap barat dalam berbagai hal dari sudut pandang timur. Adapaun untuk tema ketiga, pembaruan dapat diartikan sebagai upaya penafsiran kembali terhadap realita – menyatunya tradisi Islam dan tradisi barat – umat Islam dewasa ini. Demikian pembaruan dalam perspektif Hanafi dapat disarikan sebagai upaya rekontruksi terhadap tradisi Islam dan tradisi Barat yang telah menyatu dan menjadi konstruk kehidupan yang sedang berlangsung.
2.      Urgensi oksidentalisme terhadap pembaruan islam
Oksidentalisme bagian tak terpisahkan dari proyek pembaruan Islam, karenanya perwujudan oksidentalisme sebagai disiplin ilmu yang melakukan kajian terhadap barat secara akademis dan kritis, merupakan suatu keniscayaan. Suatu proyek pembaruan Islam yang menafikan perlunya sikap kritis dalam melihat modernitas Barat dalam bentuk apapun, berarti ia tidak utuh dan komprehensif, dan karenaya ia akan mengalami kegagalan. Karena itu pokok pembahasan ini punya relevansi dalam rangka melihat urgensitas pemikiran Hanafi tentang oksidentalisme terhadap pembaruan Islam.
a.       Oksidentalisme vs westernisme
Westernisasi sebagai adalah upaya yang dilakukan pihak barat untuk meleburkan bangsa-bangsa non-Barat, lebih khusus lagi dunia Islam kedalam peradapan Barat.
Westernisasi secara etimologi dapat dimaknai sebagai alienasi, yaitu berubahnya ego menjadi orang lain. Menurut Hanafi, Oksidentalisme dapat dijadikan filter untuk mengahadapi serangan westernisasi yang sudah meluas wilayah jangkauanya, tidak saja terbatas dalam kehidupan seni dan budaya, melainkan ia sudah masuk dalam tatacara kehidupan sehari-hari.
b.      Oksidentalisme vs Eurosentrisme
Gerakan westernisasi yang dilakukan sejak masa imperialisme hingga sekarang merupakan ambisi Barat Untuk menjadikan dirinya sebagai pusat peradaban dunia. Ambisi realisasi itu mengakibatkan rasa superior barat yang tetap berkeinginan untuk tetap mempertahankan dominasi atas bangsa-bangsa non-Barat.
Dalam konteks ini, oksidentalisme dalam kajianya tentang kebaratan dapat dijadikan sebagai tameng bagi masuknya dunia Barat. Bahkan lebih dari itu, proyek oksidentalisme adalah bertujuan untuk mengembalikan budaya Barat kepada batas-batas daerah jangkaunya yang wajar, karena selama ini budaya Barat telah keluar dari batasan teritorialnya, baik itu lewat usaha kolonialisme, sarana informasi yang canggih, maupun pusat-pusat penerangan dan riset yang terbesar dikenyakan Negeri.
c.       Oksidentalisme: antitesis Orientalisme
 Oksidentalisme dalam diskursus pengetahuan ilmu masih relatif baru, dibanding dengan orientalisme yang telah hadir tiga abad lalu. Oleh karena itu, cukup beralasan jika dikatan bahwa kelahiran oksidentalisme sebagai antitesa orientalisme dan dibangun atas dasar logika analog baik secara ontologis maupun aksiologis. Hal ini sebagai tergambar dari penjelasan Hanafi, jika orientalisme melihat ego (timur) melalui the other, maka oksidentalisme melihat the other dari kacamata ego.
Urgensi lain dari oksidentalisme adalah untuk menghilangkan rasa Inferior umat Islam pada satu sisi dan pada superior Barat disisi lain. Umat Islam selama empat abad menjadi objek studi Barat, karenanya lahir rasa inferior, sementara Barat sebagai subjek studi telah melahirkan rasa superior. Bermula dari rasa rendah diri umat Islam dihadapan Barat, mereka dalam melakaukan pembaruan senantiasa menggunakan paradigma Barat. Dengan kata lain transformasi pemikiran Barat ke dunia Islam tidak dilakukan secara selektif dan kritis.


DAFTAR PUSTAKA
A.Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, (Bamdung,Mizan,1992)
Daya, Prof. Dr. Burhanuddin,Pergumulan Timur Menyikapi Barat: Dasar- Dasar Oksidentalisme,(Yogyakarta:SUKA Press, 2008)
Kastolani, Dari Orientalisme ke Oksidentalisme,(Salatiga, STAIN Salatiga Press, 2009 )
Munir Pemmican, The World University Encyclopedia, Vol.VIII, ( Washington, DC, 1965 )
Seyyed Hoesen Nasr, Menjelajah Dunia Modern, (Bandung :Mizan,1994)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pembelajaran dalam perjalanan pendidikan guru penggerak

Pendidikan Guru Penggerak adalah program pendidikan kepemimpinan bagi guru untuk menjadi pemimpin pembelajaran. Program ini meliputi pelatih...